EMPAT PULUH DUA

11.3K 1.1K 31
                                    

Satu minggu setelah kepergian Khandra, terasa sangat sulit untukku. Terkadang aku mendapati diriku melamun dan berakhir dengan menangis dalam diam untuk alasan yang aku sendiri tidak mengerti. Selain itu aku juga mengalami insomnia berat. Sehari barangkali aku hanya bisa tidur kurang dari tiga jam. Pikiranku terus berkelana tak tentu arah. Banyak memikirkan seandainya dan seandainya. Aku bahkan sudah lupa bagaimana rasanya tidur dengan lelap.

Dua minggu setelah kepergian Khandra, rasanya masih sulit. Aku mengalami gejolak emosi yang sangat fluktuatif. Aku bisa menjadi sangat emosional untuk hal – hal yang sangat sepele, semisal Arkan yang lupa menaruh handuk basah ke tempatnya. Atau terkadang aku bisa menangis seperti orang bodoh ketika menunggu kepulangan Arkan dari kantor. Atau aku bisa merasa luar biasa kesal ketika aku gagal mengeluarkan mobil dari garasi. Ada saat – saat di mana aku sangat merindukan Khandra. Membuatku menangis semalaman saking rindunya. Perubahan emosi ini membuatku sangat kelelahan dan insomniaku semakin memburuk.

Tiga minggu setelah kepergian Khandra, aku mencoba untuk menata kembali hidupku yang sempat berantakan. Aku kembali ke kantor, mengambil alih semua pekerjaan yang tadinya ku serahkan pada Arkan. Namun nyatanya kembali ke kantor tidaklah mudah untukku. Aku harus menghadapi berbagai macam tatapan mengasihani dari orang – orang. Bahkan dari orang – orang yang dulunya tidak pernah memedulikanku. Dan aku membenci bagaimana cara mereka memandangku. Seolah – olah aku adalah manusia paling menyedihkan yang ada di bumi.

Satu bulan setelah kepergian Khandra, entah kenapa tapi aku sering merasa kesepian. Aku seperti tersesat di tengah keramaian kota. Apalagi ketika Arkan harus pergi ke luar kota selama beberapa hari untuk urusan pekerjaan. Aku bisa terjaga semalaman dan berakhir dengan menelan satu pill untuk membantuku tertidur. Sisi baiknya aku merasa kondisi emosiku sudah mulai membaik. Aku jarang mengalami mood swing yang mengerikan. Seperti saat awal – awal pasca melahirkan. Nampaknya kadar hormon dalam tubuhku sudah mulai seimbang.

Ketukan di pintu menyadarkanku dari lamunan, aku mendongakkan kepala setelah menyimpan foto Khandra ke dalam agenda. Ada Arda yang tengah berdiri di depan pintu ruanganku.

"Temenin makan yuk?"

"Aku nggak laper."

"Aku nggak ngajak makan. Aku minta di temenin makan."

"Delivery aja, biasanya juga delivery."

Dia mendengus sebelum melangkah masuk ke dalam ruanganku. "Lagi bosen aku. Pengen nyari hawa baru," katanya sambil menarik bangku yang ada di depanku dan mendudukan tubuhnya di sana. "Aku tungguin sampai kamu beranjak."

"Aku lagi males keluar, Arda. Mau di kantor aja nyelesein BOQ buat tender lusa," kataku, mengalihkan perhatianku pada laptop. "Lagian aku udah minta tolong sama Siti buat beliin nasi padang di tempat biasa."

"Kamu nggak bosen apa, seminggu ini rutinitas kamu cuma kantor apartemen kantor apartemen doang. Di kantorpun cuma di ruangan aja."

Aku hanya meliriknya sekilas tanpa berniat menimpali. Perhatianku kembali pada laptop. Tak berapa lama mejaku di ketuk pelan. Aku mendesah panjang.

"Minta temenin Sarah aja sana. Pasti dia dengan senang hati mau nemenin kamu makan."

Dia menggeleng sebagai jawaban. Menolak usulanku. "Dari pada sama Sarah mending aku makan sendiri Ndra," katanya sebelum melanjutkan. "Bentar aja. Nggak sampe sejam. Ke restoran deket – deket sini aja."

"Aku lagi bener – bener males keluar Arda."

"Please Ndra."

Aku mendesah panjang sebelum akhirnya beranjak dari duduk. "Nggak sampe sejam," kataku sebelum keluar dari ruanganku sementara Arda yang berjalan di belakangku menyamakan langkah kemudian merangkul pundakku. Membuat beberapa pasang mata menatap kami dengan kening berkerut.

CURE | MOVE ON SERIES Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang