ENAM PULUH

9.4K 1K 75
                                    

***

"Sebenernya kita nggak perlu ke Solo loh, sayang. Kalau cuma ngurus permit warga, Dimas masih bisa handle. Rasanya nggak perlu aku yang turun langsung," kata Arkan saat aku tengah menikmati manisan mangga muda yang ku beli beberapa menit yang lalu.

Kepalaku menoleh sejenak sebelum memasukkan potongan lain ke dalam mulutku. "Kasian Dimas nya kalau musti bolak – balik Surabaya Solo cuma buat ngurusin kayak gitu," kataku. "Lagian lokasi kita juga yang paling dekat, nggak nyampe dua jam kalau naik kereta. Nggak papa lah kamu yang handle, itung – itung sekalian kita refresing. Udah lama juga aku nggak ke Solo."

Ada hening sejenak sebelum Arkan bertanya, "Yakin cuma itu alasannya?"

Aku mengangguk kecil. "Memangnya ada alasan lain?" tanyaku, menolehkan kepala, menatapnya.

Arkan tidak langsung menjawab, pria itu justru membalas tatapanku dengan sorot intens. "Menghindar dari Bunda dan Desita, misalnya."

Aku menghela napas panjang sebelum mengalihkan pandanganku ke sekitar. Menatap area tunggu stasiun yang hari ini nampak tidak begitu ramai. "Not gonna lie, memang itu salah satu alasannya tapi nggak sepenuhnya benar juga, aku cuma perlu waktu buat mikir." Sekali lagi aku mendesah panjang, kembali menatap Arkan. "Honestly, nggak gampang buat aku nerima semua ini di waktu yang bersamaan. Semuanya terlalu mendadak buat aku."

Arkan mengangguk, tangannya terulur, mengusap kepalaku.

"It's okay nggak papa, sayang. Seperti kata bunda tadi, take your time."

Aku tersenyum sebagai jawaban kemudian perhatianku teralihkan ketika kereta yang akan membawa kami ke solo telah sampai. "Ternyata hampir sama kayak KRL di Jakarta ya," kataku ketika mendudukkan tubuhku pada jajaran kursi yang tersedia.

Arkan terkekeh, kepalanya menggeleng kecil. "Namanya juga KRL sayang."

Hujan dengan intensitas ringan menyambut kedatangan kami di stasiun Balapan satu setengah jam kemudian. Kepalaku lantas mengedar, mengamati sekitar. Sementara Arkan yang berjalan di sebelahku tengah sibuk dengan ponselnya.

"Ayo, Dimas udah nunggu di luar," kata Arkan, memasukkan ponselnya ke saku celana.

Sebelah alisku terangkat. "Dimas bukannya di Surabaya?"

"Baru sampe juga katanya. Tadi sebelum telpon aku, Adnan telpon Dimas dulu."

Aku mengangguk mengerti. "Kamu duluan aja, aku mau ke toilet bentar. Nanti aku nyusul."

"Nggak papa, aku tungguin."

"Jangan, kasian kalau Dimas nunggu kelamaan."

"Yakin?" tanya Arkan, ada sorot mata tak yakin di matanya.

Kedua bola mataku memutar. "Aku bukan anak kecil. Dah sana di temuin dulu Dimas-nya. Aku nggak lama kok."

Pada akhirnya pria itu mengangguk kemudian beranjak pergi setelah mendaratkan sebuah ciuman di keningku.

***

Aku tidak bisa menahan senyumanku saat melihat apa yang sedang terjadi di depanku, tepatnya melihat bagaimana perubahan ekspresi di wajah Liana saat melihatku. Yang semula nampak tersenyum cerah dengan rona merah di kedua pipinya saat berbicara dengan Arkan kemudian berubah syock saat melihatku mendekat, apalagi saat Arkan melingkarkan lengannya di pundakku. Wajahnya berubah kecut dengan seulah senyum tipis yang sangat di paksakan.

"Siang bu," sapa Liana dan Dimas bersamaan.

Aku mengangguk sebagai jawaban. "Sorry ya bikin kalian nunggu."

CURE | MOVE ON SERIES Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang