DUA PULUH SATU

18.6K 1.6K 21
                                    

Aku tidak tau kalau arti see you later yang Arkan maksud dalam pesannya tadi malam adalah ketika aku membuka mata keesokan harinya, hal pertama yang ku lihat adalah sosoknya yang sedang terlelap di sampingku. Wajah kami begitu dekat, mungkin jaraknya tidak lebih dari tujuh centi meter, membuatku cukup terkejut begitu membuka mata. Beruntung aku memiliki kontrol diri yang baik, jika tidak mungkin aku sudah berteriak dan membangunkan seluruh penghuni rumah.

Ketukan pelan di pintu mengalihkan perhatianku dari wajah damai Arkan. Aku beranjak bangun kemudian menyalakan saklar lampu, memberi tanda pada kak Desita bahwa aku sudah terjaga dari tidur.

"Jadi jalan pagi nggak? Mumpung nggak ujan," tanya kak Desita begitu aku membuka pintu kamar.

Aku mengangguk pelan, belum sepenuhnya terjaga. "Bentar ya kak, aku cuci muka dulu."

"Kakak tunggu di depan ya."

Sekali lagi aku mengangguk dan beranjak ke kamar mandi sekedar untuk mencuci muka dan mengosok gigi. Begitu selesai aku segera menemui kak Desita yang sudah siap, menungguku di teras.

Di luar langit masih nampak gelap begitu aku membuka pintu. Udaranya masih sangat bersih, membuatku segera memejamkan mata dan menghirup napas dalam – dalam. Menikmati alam yang masih bersahabat dengan manusia. Tenang dan segar, sebuah perpaduan yang hampir mustahil bisa ku dapatkan di Jakarta. Begitu menuruni tangga, aku melihat Range Rover milik Arkan terparkir di garasi mobil, bersanding dengan Honda Jazz hitam milik Kak Desita.

"Nyampe jam berapa tadi dia kak?" tanyaku setelah berjalan beberapa langkah dari rumah. Tanpa menyebutkan namanya pun aku yakin kak desita paham siapa 'dia' yang ku maksud.

"Sekitar setengah empatkalau nggak salah."

Aku mengangguk mengerti.

"Nyetir sendiri atau sama supir?" tanyaku kemudian.

"Sama si Arda."

Mendengar jawaban kak Desita membuatku menghela napas lega,lega bukan main lebih tepatnya. Setidaknya kalau bersama Arda, Arkan tidak akan terlalu kelelahan selama perjalanan Jakarta - Yogyakarta. Setidaknya dia ada waktu untuk istirahat selagi Arda memegang kemudi.

"Khawatir ya kamu?"

Aku tersenyum kecil sambil merapatkan cardigan coklat yang ku kenakan."Takut dia terlalu kecapean aja sih Kak. Dia suka nggak di rasa kalau kecapean. Tau – tau ngedrop dan harus hospitalize selama seminggu," kataku. "Mana sekarang dia harus take over semua kerjaan aku selama aku cuti."

"Makanya lain kali jangan di ulangi ya anak nakal? Pergi tanpa bisa di hubungi," kata kak Desita sambil mengacak rambutku. "Karena nggak hanya yang di sini yang khawatir. Pacar kamu juga sama khawatirnya." Aku mengangguk sembari tersenyum tipis, mengiyakan.

"Dia bahkan bisa begitu implusif ke Jogja dengan mobil hanya karena nggak ada penerbangan paling malam dari Jakarta."

Dan sekali lagi aku di rundung oleh rasa bersalah atas tindakanku semalam.

***

"Kamu bikin sendiri Ndra?" tanya Arda merujuk pada sarapan yang sudah dia habiskan tanpa sisa. Punggungnya menyadar pada bangku kayu dengan kedua tangan terlipat di depan dada sementara fokus mata tertuju pada langit Jogja yang nampak begitu cerah pagi ini.

"Apa yang bisa di harapkan dari orang yang nggak berteman sama dapur Da?" dengan retoris aku balik bertanya.

Pria itu terkekeh pelan. "Pantesan enak,"katanya kemudian menoleh padaku. "Ku pikir skill memasakmu udah ada peningkatan. Misalnya nggak gosong lagi waktu bikin telur ceplok."

CURE | MOVE ON SERIES Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang