LIMA PULUH SATU

12.5K 1.2K 40
                                    

***

Ketika aku sudah memutuskan untuk untuk sepenuhnya mempercayai Arkan, artinya aku benar – benar menyerahkan seluruh hati dan hidupku pada pria itu. Tak ada lagi batasan yang aku berikan, tak ada lagi jarak tak kasat mata di antara kami, tak ada lagi tembok tinggi yang ku bangun, semuanya melebur ketika hati dan akalku sudah sepakat untuk mempercayai Arkan.

Seperti sekarang, saat semua cerita tentang ayah keluar dari mulut dan hatiku tanpa aku perlu repot – repot untuk menyaringnya. Hati dan logikaku tidak perlu repot – repot bersitegang untuk memilah mana yang harus ku ceritakan dan mana yang bisa ku simpan sendiri. Seperti yang biasa kulakukan.

Kali ini, dalam dekapan Arkan membuatku lebih berani untuk jujur dengan diriku sendiri. Semua cerita manis, pahit dan getirnya tentang ayah kusampaikan dengan apa adanya.

"Kamu hebat sekali sayang. Pasti nggak mudah untuk nanggung semuanya sendiri," kata Arkan sembari memberikan kecupan – kecupan kecil di pucuk kepalaku. Sementara tangannya mengusap punggungku dengan lembut. "You did well, terima kasih sudah bertahan sampai sejauh ini."

Pelukanku pada tubuhnya mengerat dengan wajah yang semakin terbenam di ceruk lehernya. Menghirup feromon Arkan yang selalu memberiku ketenangan. Tangisku sudah reda, hanya meninggalkan sesunggukan kecil hingga rasanya tenggorokanku panas, seperti terbakar.

"Sekarang aku harus gimana, sayang?" tanyaku, suaraku serak karena terlalu banyak menangis. "Satu sisi aku puas melihat keadaannya sekarang. Rasanya setimpal sama apa yang udah dia lakukan selama ini ke kami tapi di sisi yang lain aku tau kondisinya nggak baik – baik saja. Badannya kurus banget, kayak orang sakit – sakitan. Perasaan ini benar – benar menganggu."

"Kamu mau aku jujur?"

Kepalaku mendonggak kemudian mengangguk kecil.

"Ikuti kata hati kecil kamu," kata Arkan, sorot matanya seperti mengunci mataku. "Sisihkan dulu logika dan rasa dendam kamu ke ayah. Dan tanya sama hati kecil kamu, dia maunya seperti apa. Setelah itu kamu renungkan baik – baik. Apakah hati kecil kamu itu akan membuat kamu merasa nyaman."

Aku terdiam sejenak untuk berpikir, merenungkan baik – baik saran yang Arkan berikan.

"Kalau kamu masih ragu, nggak ada salahnya cerita sama Desita. Karena di sini yang menjadi korban bukan hanya kamu, Desita juga. Ada baiknya kalau kalian bicarakan berdua."

Aku mengangguk mengerti. "Thank you Ar,"

Dekapanya pada tubuhku terlepas. Tangannya menangkup wajahku dengan sorot mata lekat tapi terasa lembut di saat yang sama. "Sama – sama sayang. Jangan ragu untuk menceritakan apapun ke aku ya? Aku akan selalu ada buat kamu," katanya dengan lembut. Beberapa detik setelahnya bibir kami menyatu dalam panggutan lembut, saling mencecap rasa bibir masing – masing dengan mendamba tanpa gairah. Aku selalu suka bagaimana Arkan menciumku, ciumannya selalu terasa penuh dengan pemujaan dan kehati – hati seolah aku ini adalah benda rapuh yang mudah terpecah belah. Namun semuanya tidak berlangsung lama saat lidah kami saling bertemu di dalam mulutku. Ciuman kami berubah liar dengan tangannya yang mulai menjelajahi tubuh polosku yang berada di bawah selimut.

"Another round?" tanyaku dengan kerlingan nakal saat sudah berada di atasnya. Arkan terengah, pandanganya tak lepas dari wajahku sementara kedua tangannya mengusap pinggangku dengan seduktif. Aku tersenyum senang, karena bukan hanya diriku saja yang menginginkan hal ini.

"Ride me," bisiknya sebelum membantuku menempatkan diri.

Seketika kepalaku mendongak tak kala miliknya sudah terbenam secara sempurna dalam diriku. Mataku terpejam, menikmati sensasi penuh yang ku rasakan.

CURE | MOVE ON SERIES Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang