EMPAT PULUH TIGA

11.3K 1.1K 34
                                    

Trigger Warning!!!

Awas, baca part ini akan menyebabkan perut mual, kening berkerut dalam dan geli.

****

"Kamu di mana?" tanyaku to the point saat panggilan terteleponku tersambung pada dering ketiga.

Pria yang berada di seberang saluran itu tak langsung menjawab, ada hening beberapa detik sebelum dia menjawab dengan nada binggung, "Aku di hotel, baru aja sampai. Ada apa sayang?"

"Tolong jemput aku di bawah. Sekarang!"

"Hah?"

"Aku di lobby hotel tempat kamu menginap."

"Kamu serius?"

Aku mendecakkan lidah. Tiba - tiba merasa begitu kesal dengan responnya. "Buruan Arkan, aku capek. Ngantuk." Kemudian panggilan telepon kami berakhir setelah Arkan mengatakan akan menjemputku dalam kurun waktu lima menit dari sekarang.

Aku mendesah panjang. Ku sandarkan punggungku pada sandaran sofa. Ku lirik jam yang melingkar di tangan kananku yang menujukkan pukul satu dini hari. Kemudian pandanganku menyapu sekitar, menatap setiap ornamen yang khas dengan nuansa pulau Dewata dan beberapa manusia yang masih berlalu lalang di area lobby. Tepat ketika jarum jamku menunjukkan angka satu lebih lima menit Arkan muncul dengan mengenakan celana cargo warna coklat setinggi lutut dan kaos putih polos. Rambutnya masih setengah basah, tanda jika dia baru saja selesai mandi.

"Kok nggak ngabarin aku dulu kalau mau nyusul?" tanyanya saat berdiri di hadapanku.

Aku tidak langsung menjawab, ku dongakkan wajahku untuk menatapnya. Dia nampak begitu kelelahan. Ada kantung mata di bawah matanya. "Mendadak," jawabku sembari menyerahkan ranselku sebelum beranjak dari duduk dan berjalan mendahuluinya.

"Arda yang nyuruh kamu ke sini?" tanya Arkan setelah menempelkan keycard pada bawah tombol lift dan tak lama pintu lift tertutup. Hanya ada kami berdua yang ada di dalam sini.

Aku mengeleng pelan, mataku meliriknya sekilas. Bahu yang biasanya tegah kini terlihat lebih turun dari biasanya. Dan melihat bagaimana Arkan malam ini membuat rasa bersalah dalam diriku semakin mengerogoti. Mengingat bagaimana dia menyiapkan presentase untuk calon investor seorang diri dan yang ku lakukan justru memakinya habis - habisan.

Aku menarik napas panjang, melirik pada panel yang berada di atas pintu kemudian memeluk tubuhnya dengan begitu erat. "Maaf."

"Hey, kenapa?" tanya Arkan dengan suara panik. "Sayang, Andra."

Aku menggeleng lemah. "Nggak mau lepas," bisikku dengan suara serak. Menolak saat Arkan mencoba untuk melepaskan pelukanku. Tak ada lagi dorongan dari Arkan, pria itu justru melingkarkan lengannya di pundakku, memelukku dengan erat.

"Lepas dulu ya? Kita udah mau sampai di lantainku."

Aku menggeleng. Rasanya tidak rela jika harus kehilangan kehangatan dari pelukan Arkan yang sudah lima hari ini tak ku dapatkan.

Lift berhenti di lantai lima belas dan tak lama kemudian pintu lift terbuka. Masih dengan melingkarkan tangannya di pundakku, Arkan membawa kaki kami melangkah keluar dan berjalan beberapa meter dari arah lift.

"Bersih - bersih dulu ya?"

Sekali lagi aku menggeleng pelan. Tak ku lepaskan pelukannya, bahkan kini aku memeluknya dengan begitu erat. seolah Arkan akan menghilang jika ku longgarkan pelukanku. "Mau sama Arkan." Aku bahkan jijik pada nada bicaraku yang terdengar seperti tikus kecepit. Aku merasa sebagian tubuhku di kuasai oleh sosok Deandra yang lain. Deandra yang manja.

CURE | MOVE ON SERIES Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang