Jangan Pergi

318 40 10
                                    

Nara memandang langit malam tanpa bintang di hadapannya sekarang. Masih teringat jelas di ingatannya mengenai pertemuannya dengan Chenle beberapa jam yang lalu. Egonya masih begitu besar ketika laki-laki itu berani mengatakan masih mencintainya. Entah apa yang menjadi ketakutannya mengenai apa yang dirasakannya sekarang.


Nara menghela nafas disela-sela mulutnya menyeduh teh panas yang diberikan oleh Rania. Rasanya sulit sekali ketika dihadapkan pada ingatan dua tahun lalu. Semuanya terekam jelas di dalam memori otaknya. Allen berjalan menemui Nara di balkon rumah sewa.
“Chenle?” Nara tidak bisa dibuat mengangguk saat nama tersebut diucapkan oleh perempuan di sampingnya.


“Masih trauma?” Nara kembali mengangguk. Allen dapat memahami bagaimana yang dirasakan oleh Nara sekarang karena dirinya juga merasakan hal yang sama namun, sampai sekarang Doyoung tidak pernah mengabarinya. Allen hanya bisa berpikir positif bahwa laki-laki itu mungkin sudah melupakannya.
“Turuti kata hati lo aja, jangan sampai salah melangkah.” Allen mengelus pundak sempit Nara sebelum kembali masuk ke dalam kamarnya.


Hati dan logika Nara sedang dalam mode akur. Mereka berdua mengatakan bahwa tidak ada tempat lagi bagi Chenle di kehidupannya. Namun, sorot mata perempuan itu ketika menatap salah satu member NCT Dream tidak bisa dibohongi. Seakan semua rasa tersampaikan seluruhnya hanya dalam dua bola mata yang masih berharap.


Sepertinya malam ini ia harus menyampaikan apa yang dirasakannya sekarang kepada Sang Pencipta. Mungkin setelah itu hatinya akan merasa tenang. Sang Pencipta pasti memiliki cara tersendiri dalam menghadirkan takdir di antara umat-Nya.

...


Senyum ceria itu nampak jelas ketika pelanggan mulai memasuki area cafe. Sifat ramah tamah dan sopan santun mengalir begitu saja di dalam kepribadiannya. Rania menepuk bahu milik Nara pelan.
“Udah mendingan?” Nara mengangguk sembari tersenyum. Memang, ketika kita sujud bersimpuh kepada-Nya dengan menceritakan segala apa yang dirasakan akan membuat hati menjadi lebih tenang dalam menghadapi setiap masalah yang terjadi.


Tadi malam ia terbangun, mengambil air wudhu, dan melakukan salat tahajud. Ini memang sudah menjadi kebiasaannya sejak sekolah menengah sehingga terbawa hingga sekarang. Dengan sepenuh hati perempuan itu sering menceritakan mengenai laki-laki yang sedang mengganggu pikirannya. Nara hanya bisa menyerahkan diri, karena ia tahu bahwa Sang Pencipta pasti memiliki pilihan yang terbaik untuk dirinya.


Sudah hampir memasuki jam tutup cafe namun seseorang yang ditunggunya tidak datang untuk menemui. Tidak membuat janji namun, sebuah harapan kecil jika hari ini ia ingin bertemu. Hanya melepas rindu, tak lebih dari itu. Nara mengerucutkan bibirnya ketika ia memilih untuk membersihkan cafe sebelum ditutup.


Suara lonceng di depan cafe membuatnya menoleh dengan bersemangat. Namun senyum itu luntur ketika mendapati wajah khas sepupunya berjalan mendekat.
“Nggak suka gue di sini?” Nara tersenyum tipis.
“Bukan gitu, mas.” Tio terkekeh sebelum menarik kursi untuk diduduki.
“Berharap yang datang Chenle?” Nara memutar bola matanya malas berbanding terbalik dengan dirinya yang mengiyakan dalam hati pertanyaan itu.


“Chenle mau balik.” Nara menghentikan kegiatannya mengelap meja di belakang Tio.
“Balik kemana?” Sebuah pikiran buruk mulai menghantui Nara. Chenle tidak mungkin kembali ke Seoul, bukan? Tanpa sengaja Nara meremat lap yang digunakannya untuk membersihkan bekas kopi yang melekat di meja.
“Rumah dia di Seoul, kan?” Tio menghirup aroma cafe secara berlebihan yang membuat kepalanya sedikit pusing. Nara mempertimbangkan kemungknan buruk yang terjadi. Ucapannya semalam tidak membuat laki-laki itu langsung pulang ke Seoul, bukan?


Nara berjalan mendekat ke arah Tio dengan tergesa-gesa.
“Alamat hotel Chenle?” Tio mengernyitkan dahinya bingung. Nara menggeram frustasi.
“Alamat hotelnya dimana?” Nara menghentakkan kakinya berkali-kali.
“Cepetan!” Raut wajah Nara benar-benar sudah berubah menjadi khawatir. Perempuan itu berusaha untuk menetralkan detak jantungnya yang bertalu sangat cepat.


“Hotel Neo lan…” belum selesai Tio menyebutkan letak dan posisi kamar Chenle, Nara sudah menghilang dari pandangan Tio. Laki-laki itu terkekeh sebelum mengambil ponselnya di saku celana untuk menghubungi seseorang di sana.
“Berhasil.” Dirinya tersenyum miring melihat rencana yang dijalaninya berhasil.

...


Nara berlari menuju hotel yang sudah disebutkan oleh Tio. Perempuan itu tidak terpikirkan untuk menaiki transportasi umum karena pikirannya benar-benar sudah kalut. Yang ditakutinya sekarang adalah ketika Chenle memilih untuk pergi. Entah sudah berapa kilometer ditempuhnya dengan jalan kaki. Dia tidak memperhatikan apapun selain lampu lalu lintas dan rute jalan menuju hotel. Dirinya terus bergumam meminta maaf pada Chenle karena terlambat dalam membuat keputusan.


Perempuan itu terengah-engah ketika sudah menapaki halaman depan hotel. Membenarkan sedikit jilbab yang digunakannya agar terlihat rapi. Membenahi sandal jepit biru yang mulai menunjukkan wajah lelahnya. Perempuan itu tak bisa menyembunyikan wajah terkejutnya saat mendapati Chenle berjalan keluar dari hotel membawa koper hitam di tangannya.


“Chenle.” Nara sedikit berlari mendekat ke arah Chenle. Masih berusaha untuk mengatur nafas. Chenle terkejut mendapati Nara di depannya. Perempuan itu benar-benar membuat kernyitan di dahinya bertambah banyak. Pertanyaan demi pertanyaan mulai menumpuk di kepalanya.
“Jangan pergi.” Dua kata yang membuat Chenle kembali tidak paham dengan maksud perempuan di depannya menatap memohon.


“Jangan pergi, please!” Chenle gelagapan saat melihat dua bola mata itu mengeluarkan air mata.
“Okay, aku akan jujur.” Nara menghapus ingus yang keluar dari hidungnya menggunakan lengan bajunya.
“Aku masih mencintaimu. Aku benar-benar masih mencintaimu.” Bocah perempuan itu masih sesenggukan di depan Chenle.


“Jangan pergi.” Wajah memelas milik Nara membuat Chenle ingin tertawa saat itu juga sebelum seorang wanita tua berjalan mengambil koper di tangan Chenle sembari mengucapkan terima kasih. Nara tercengang dengan kejadian di depannya.
“Siapa yang akan pergi?” Nara menatap bergantian Chenle dan wanita tua yang sudah berjalan menghampiri mobil hitam yang terparkir di halaman hotel. Chenle tertawa di sana. Nara memahami situasi yang terjadi di depannya. Perempuan itu mengendus sebal. Apa ini?


“Terima kasih sudah jujur dengan perasaanmu.” Rasanya Nara ingin menenggelamkan diri ke dalam lumpur-lumpur untuk mandi bersama dengan kuda nil. Nara ingin berbalik badan dan lari kembali menuju cafe. Chenle terkekeh dengan perempuan yang masih betah memandangi bougenville di sampingnya.
“Ngomong-ngomong aku ada di depanmu, bukan di sampingmu.” Nara menendang angin di sampingnya. Dirinya tidak bisa menyembunyikan rasa malu saat mengatakan perasaannya tadi.


Chenle berpindah menatap Nara di depannya. Mengambil alih pandangan Nara sehingga membuatnya terkejut. Chenle senang sekali saat menggoda perempuan di depannya.
“Ayo aku antar pulang, sudah mau maghrib. Nggak baik ada di luar saat menjelang maghrib.” Nara dibuat terdiam dengan ucapan Chenle. Perempuan itu tetap mengikuti langkah Chenle menuju tempatnya pulang.


“Tahu darimana?” Chenle menoleh sekilas.
“Banyak setan yang berkeliaran saat maghrib, takut khilaf.” Nara menghentikan langkahnya. Seketika tubuhnya merinding. Nara menatap takut punggung Chenle yang berjarak hanya satu meter darinya.


“Jangan-jangan dia yang kesurupan.”







Holaaa~~ Nara comeback ehe~
Barusan aku nonton Kun x Chenle dahlah vibes bapak sama anaknya kuat banget mereka. Jaga kesehatan ya kalian, banyak minum vitamin, dan jangan lupa istirahat yang cukup~

Ehh, aku masih penasaran sama satu hal. Kalian tahu cerita ini darimana? Sekian, bye bye~~

Langkah Sebuah Takdir 2 (Zhong Chenle)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang