Chenle memandang berkali-kali tiket pesawat di tangannya. Entah sudah menghabiskan berapa menit laki-laki itu hanya diam sembari memandang ke arah tiket pesawat dari Seoul menuju Semarang dan tas punggung yang menjadi temannya akhir-akhir ini untuk menyiapkan perlengkapan yang akan dibawanya menuju Semarang.
Sebenarnya dirinya kurang yakin untuk langsung terbang menuju Semarang seorang diri. Namun, tekadnya sudah bulat untuk melakukan semua itu. Berbekal pengetahuan yang didapatkannya melalui Nara, Chenle menghembuskan nafasnya sekali lagi sebelum memilih untuk mengistirahatkan pikirannya. Kedua bola matanya masih asyik menikmati langit-langit kamarnya. Dua tahun belakangan ini dilaluinya dengan gusar. Kata orang, setelah badai akan muncul pelangi. Tetapi, nyatanya itu tidak berlaku padanya. Setelah badai dirinya dilanda oleh kekeringan. Pikirannya penuh dengan beragam pertanyaan mengenai sosok yang sudah membuatnya uring-uringan.
“Apa kau masih mengingatku? Mengingat semua kenangan yang pernah kita lalui bersama?” Chenle memejamkan matanya sejenak.
“Apakah ini yang terbaik untuk kita berdua?”
“Aku harap tidak adalah jawabannya.” Perlahan rasa kantuk mulai menyerangnya. Helaan nafas teratur mulai terdengar. Seseorang di sana memandang dari celah kecil pintu kamar Chenle.“Apakah semuanya sudah siap?” Seseorang tersebut tersenyum dibalik telepon yang masih menempel di telinganya.
...
“Hyung, apa menurutmu aku akan berhasil?” Renjun tersenyum mengulurkan tangannya untuk membelai rambut Chenle, anak laki-laki di depannya sudah dianggap menjadi adik baginya.
“Jika kau optimis, semuanya akan berjalan dengan baik-baik saja.” Chenle menganggukkan kepalanya.
“Mengenai kesempatan, kau masih memilikinya. Untuk masalah hati, selesaikan dengan baik-baik.” Chenle sekali lagi mengangguk sebelum menepuk pundak Renjun setelah mendengar pengumuman bahwa pesawat yang akan dinaikinya akan segera berangkat.“Good luck.” Renjun tersenyum sembari melambaikan tangannya. Chenle melangkahkan kaki menuju pesawat yang akan membawanya menuju sang pujaan hati. Setiap langkah ia merapalkan doa agar selalu dimudahkan dalam takdirnya bersama dengan Nara. Entah itu akan berakhir dengan baik atau tidak sama sekali. Chenle sudah pasrah karena ia tahu Tuhan akan selalu memberikan yang terbaik untuk dirinya, Nara, dan semua yang sudah terjadi di hidupnya.
Perjalanan cukup jauh di tempuhnya. Chenle menggunakan tidurnya dengan baik di pesawat. Mencoba menetralkan pikirannya dari segala yang berkecamuk tak jelas ujungnya. Sekali lagi ia menghirup aroma khas oksigen Indonesia. Sang pelita malam menyambut kedatangannya. Hirup pikuk kendaraan menjadi pemandangannya saat ini. Manusia berlalu lalang untuk memenuhi tujuannya. Senyum tipis itu tersamarkan oleh angin. Membawa kedua netra itu untuk membaca tulisan besar di atas sana.
Welcome to Surabaya
...
Chenle mengecek berkali-kali barang bawaan yang akan digunakannya nanti di Semarang. Membenarkan letak masker yang menutupi mulutnya dan topi yang sudah terpasang manis di kepalanya. Seseorang mengetuk pintu coklat itu perlahan. Menampakkan senyum manis sang mama yang berada di sana membawakan satu bungkus roti dan susu untuk anak bungsunya.
“Kau harus sarapan dulu, Lele-ya.” Chenle tersenyum sembari membuka maskernya. Dia terlalu sibuk sehingga hampir melupakan sarapan. Laki-laki bersurai hitam itu meneguk susu dan memakan roti coklat pemberian sang mama. Mama Chenle mengelus surai milik anaknya. Tak disangka, anak bungsunya sudah sebesar ini. Mengingat dahulu saat kecil masih sangat mungil di gendongannya sekarang sudah memiliki tinggi yang sama dengan sang papa. Betapa cepatnya waktu membawa Chenle menjadi seperti saat ini. Chenle meletakkan bekas gelas susu yang baru saja diminumnya. Secara tiba-tiba, Mama Chenle memeluk putra yang berada di depannya. Chenle cukup terkejut namun, membalas pelukan tersebut.
“Mama yakin Chenle pasti bisa.” Chenle mengangguk merasakan usapan di punggungnya. Mama Chenle melepaskan pelukan keduanya. Tangannya mengulurkan tiket pesawat untuk Chenle. Dahi Chenle berkerut bingung.
“Nara menantimu.” Chenle menerima tiket pesawat yang diulurkan oleh mamanya. Dilihatnya tiket pesawat tersebut, memiliki tujuan berbeda dari tiket pesawat miliknya.“Mama yakin?” Chenle menatap penuh harap perempuan yang sudah melahirkannya. Perempuan tersebut menganggukkan kepalanya yakin.
“Sudah mama persiapkan semuanya di sana.” Benar-benar rasanya Chenle ingin menangis sekarang. Dirinya memang tidak terlalu terbuka dengan orang tuanya namun, sosok di depannya ini mengerti bagaimana kondisi yang dialami oleh anaknya.Chenle kembali memeluk perempuan di depannya. Menyalurkan rasa terima kasih yang tak mampu diucapkannya melalui kata-kata.
“Semangat.” Satu senyuman manis yang mampu memberikan Chenle kekuatan untuk memijak lantai kamarnya berdiri membenahi perlengkapan yang akan dibawanya sebelum bertolak ke bandara.
Hello guys~ Lama ya nggak update huhu~~ Ternyata mengembalikan mood buat nulis itu susah banget. Baru dapet malam ini sehingga langsung aku ketik di laptop.
Jaga kesehatan ya buat kalian~~ Apa ada yang dari Surabaya di sini? Mana suaranya?~~
![](https://img.wattpad.com/cover/253257981-288-k406954.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Langkah Sebuah Takdir 2 (Zhong Chenle)
FanficNara memilih untuk melangkah pada takdir yang berbeda dari pilihan Chenle. Apakah Chenle akan membiarkannya begitu saja? Bagaimana langkah takdir yang akan diambil oleh keduanya? Berjalan bersama pada satu tujuan atau memilih untuk berjalan dalam la...