Diskusi Malam

263 37 3
                                    

Duduk bertiga melingkar sembari memakan cemilan adalah hal yang paling menyenangkan setelah seharian bekerja. Itulah yang dilakukan Rania, Allen, dan Nara malam ini.

Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Namun, tidak ada satu pun yang berniat untuk terlelap dalam selimut. Ketiganya saling menatap satu sama lain sehingga membuat Nara jengah. Perempuan itu beranjak untuk mengambil es teh yang sudah dibuatnya setelah salat maghrib. Entah mengapa kesegaran es teh dapat membuatnya tenggelam untuk tidak memikirkan mengenai sosok idolanya.

Nara membawa teko besar dengan beberapa gelas untuk menjamu kedua temannya yang malas untuk bergerak walau hanya mengambil minum di dapur. Dirinya tidak ingin tersedak saat memakan roti coklat di tangannya hanya karena tidak ada minuman di depan mereka tadi.

“Apa Chenle pindah agama?” Satu pertanyaan yang sudah berputar ribuan kali di dalam otak Nara terlontar pada mulut manis Allen. Nara mengedikkan bahunya. Dirinya memang tidak tahu akan hal ini. Tentu saja, urusan agama dan kepercayaan seseorang adalah hal yang bersifat pribadi. Dirinya tidak mungkin bertanya kepada Chenle mengenai urusan pribadinya.

“Kenapa nggak lo tanya ke Mas Tio?” Sempat terpikirkan di benaknya tadi untuk bertanya kepada Tio namun, ia urungkan. Nara merasa tak enak mencampuri urusan agama orang lain. Perempuan itu hanya menggaruk kepalanya yang tak gatal.

“Coba lo pikir kenapa Chenle rela ketemu sama lo setelah dua tahun kalian nggak saling bertegur sapa?” Pertanyaan Allen sukses membuat Nara overthinking dengan memikirkan kemungkinan yang terjadi. Mulai dari Chenle yang masih mencintainya atau bahkan ia rela pindah agama hanya untuk dirinya.

Nara sebenarnya tidak ingin terlalu percaya diri dengan opsi kedua karena urusan agama adalah urusan pribadi masing-masing dengan Tuhan. Dirinya sudah rela jika Tuhan memang tidak menakdirkan dirinya dengan Chenle. Mereka berdua berbeda lantas bagaimana bisa bersatu. Tetapi bagaimana dengan rencana Tuhan? Semua makhluk-Nya tidak ada yang bisa mengelak.

“Bingung gue.” Allen dan Rania sontak mengulurkan telapak tangannya. Nara memandang bingung keduanya.
“Kalau bingung pegangan, biar nggak jatuh.” Nara memutar bola matanya malas. Kedua temannya ini memang susah untuk diajak koordinasi.

“Dia bilang masih cinta sama lo?” Nara mengangguk membenarkan. Chenle mengatakannya saat itu jika laki-laki idolanya masih mencintainya.

“Kenapa nggak berjuang berdua?” Allen menepuk paha milik Rania.
“Dia nggak mau kejadian waktu dua tahun yang lalu terulang lagi. Banyak fans yang marah cuman gara-gara satu foto.” Rania mengangguk membenarkan. Dirinya masih mengingat cerita dari Nara dan Allen mengenai kepindahan mereka di Surabaya.

“Apa lo mau jauhin lagi si Chenle?” Nara lagi-lagi bingung dengan keinginan akan hubungan antara dirinya dengan Chenle. Semuanya terasa rumit untuk dijadikan sebuah kesimpulan untuk kebaikan keduanya.

“Kasihan dia udah jauh-jauh datang dari Korea terus lo jauhin.” Nara membenarkan ucapan Allen. Tidak mungkin dia tidak menghargai perjuangan laki-laki bersurai hitam yang tiba-tiba muncul setelah dua tahun menghilang. Di garis bawahi jika dirinya yang memilih untuk menghilang.

“Kita lihat aja perjuangan dia sampai mana.” Ucapan final Nara sebelum memilih menghabiskan es teh di depannya dalam sekali teguk.

“Lo sendiri mau diperjuangin?” Nara mendengus. Siapa perempuan di dunia ini yang tidak menyukai diperjuangkan oleh seorang laki-laki. Apalagi dalam kondisi seperti ini, dia seorang idola dan sang perempuan sebagai fans. Tentunya banyak yang menginginkan berada di posisinya.

“Mau lah. Cuman gue takut kalau sampai hubungan gue sama Chenle tersebar lagi, trauma gue baca komentar dari fans. Padahal gue juga fans tapi, nggak sampai segitunya.” Allen memahami ucapan Nara, mereka berdua pernah di posisi yang sama. Mendapat banyak komentar hujatan hanya dalam sebuah foto yang diunggah oleh seseorang yang tidak mereka kenal.

Kejadian itu terus terbayang di benak keduanya, hanya dengan kata-kata mampu membuat sesak di dada. Bagaimana jika mereka bertemu secara langsung? Mungkin Nara dan Allen memilih untuk tidak hidup lagi di dunia yang kejam ini.

“Coba lo bicara sama Chenle mengenai rasa khawatir lo, mungkin dia punya jalan terbaik.” Nara tersenyum mendengar saran dari Rania. Mungkin berdiskusi dengan Chenle dapat meringankan rasa khawatirnya.

“Thanks.” Allen menyenggol lengan Nara pelan.
“Kayak sama siapa aja sih lo.” Ketiganya tertawa sebelum memilih untuk membereskan makanan dan minuman bekas diskusi malam ini. 






Lama aku nggak update huhu~ Aku masih berusaha nyari alur yang tepat buat book ini :)

Jaga kesehatan selalu ya kalian, sering olahraga, dan jangan begadang~

Aku mau promote hehe~

Langkah Sebuah Takdir 2 (Zhong Chenle)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang