Thank You, Surabaya

223 38 6
                                        

Sudah dua minggu berjalan dengan cepat. Nara masih di sini, di tempat yang sama, dengan perasaan yang sama pula. Perempuan itu memandang keluar jalanan café yang cukup ramai berlalu lalang manusia dari segala penjuru arah.

Matanya terus menelisik pintu berwarna emas yang berada sepuluh meter di posisinya saat ini. Menunggu dan menunggu adalah hobinya saat ini. Pikiran positif terus terngiang di benaknya, mencoba menghapus apapun yang membuatnya terpuruk. Nara hanya berusaha untuk menjadi dewasa. Dewasa dalam masalah percintaan.

Pikirannya tercabang menjadi dua. Satu, sosok yang sudah tidak menghubunginya lagi sejak dua minggu terakhir dan dua, percakapannya semalam dengan pamannya pemilik café. Perempuan itu terus melamun hingga tak menyadari suara bel café berbunyi. Seorang laki-laki dengan postur tubuh yang cukup tinggi menghalangi pandangannya menatap jalanan. Nara mendongak menatap seseorang di depannya. Alisnya mengkerut bingung melihatnya.

“Selamat datang.” Laki-laki itu menurunkan masker hitamnya. Nara membulatkan matanya sempurna menatap sosok yang tak kalah sempurna di hadapannya. Senyum manis nan dingin yang mampu meluluhkan banyak wanita maupun pria.

“Senang bertemu denganmu.” Lee Taeyong berdiri tepat di hadapannya. Surai merah mudanya begitu mencolok hingga jatuh beberapa helai dari beanie yang digunakannya. Tangannya memegang banyak barang. Koper di tangan kiri, jaket di tangan kanan, uang di selipan jari, dan kacamata yang diletakkan di depan hoodie yang dikenakan laki-laki itu.

“Ohh, apa yang kau lakukan di sini?” Nara cukup bingung menatap laki-laki di depannya. Apakah ia salah mendambakan seseorang. Ia mengingat kembali setiap doa yang dirapalkannya, nama Chenle tercatat di sana. Namun, mengapa Taeyong yang datang menemuinya. Bukankah Tuhan terlalu baik menggantikan posisi Chenle menjadi Taeyong. Nara menggelengkan kepalanya. Perempuan memakai hijab hijau itu merasa akhir-akhir ini otaknya penuh imajinasi aneh.

“Aku harus mengurus sesuatu.” Taeyong menggaruk telinga kanannya menggunakan uang yang terselip di tangannya. Entah karena memang terlalu gatal, ia menggaruknya berkali-kali.

“Kalian akan konser di Indonesia?” Taeyong menggeleng, dia sudah menetapkan tujuannya pergi ke Surabaya. Penuh dengan tekad dan kebohongan kepada semua member NCT. Ia masih ingat menceritakan idenya kepada sang manajer dan mendapatkan tatapan tajam nan silau. Taeyong mencoba beberapa kali membujuk sang manajer, lima kali dalam seminggu terakhir hingga usahanya berakhir memuaskan. Ia diperbolehkan. Tak menyangka idenya untuk pergi diam-diam dari member NCT berhasil. Ia berharap berhasil hingga misinya berakhir.

“Kau ingin minum apa?” Taeyong menatap satu per satu daftar menu yang ada di atasnya. Cukup membuatnya bingung untuk memilih salah satu. Setelah berkutat dengan pikirannya sendiri, akhirnya dia memutuskan untuk mencoba Bluecap Hazelnut dan Orange Chocoberry. Nara memberikan pesanannya kepada Allen yang sudah menunggu di dapur. Taeyong memilih menunggu di meja dekat dengan posisi Nara di kasir.

“Ini pertama kalinya aku melihatmu secara langsung.” Setelah berdiam diri cukup lama, Taeyong membuka suaranya terlebih dahulu. Nara mengangguk membenarkan hal itu.

“Kau terlihat tampan jika dilihat secara langsung.” Taeyong terkekeh, banyak orang yang mengatakan seperti itu kepadanya. Taeyong menatap Nara sejenak.

“Kau menyetujui permintaan pamanmu?” Nara mengernyitkan dahinya bingung. Bagaimana Taeyong tahu mengenai pamannya. Nara memilih untuk berjalan mendekati Taeyong. Dia memilih untuk duduk di depan kursi yang ditempati oleh leader NCT itu.

“Bagaimana kau tahu tentang itu?” Taeyong menetralkan tenggorokannya sebelum menatap keadaan sekitar. Cukup lengang. Tatapannya kembali kepada perempuan di depannya.

“Allen.” Nara mengangguk sebelum beranjak untuk memanggil Allen yang berada di dapur. Panjang umur, Allen sedang menuju meja mereka untuk mengantarkan pesanan Taeyong. Tak jauh berbeda dari Nara, Allen juga terkejut melihat keberadaan Taeyong di sana. Dirinya mengenal Taeyong lewat Doyoung.

“Allen kau bisa duduk di samping Nara. Aku ingin berbicara sesuatu.” Keadaan ketiganya tiba-tiba menjadi hening tak ada yang memulai percakapan. Nara dan Allen masih menunggu Taeyong untuk memulainya. Namun, sepertinya Taeyong masih berusaha untuk mencari kata yang tepat untuk menjelaskan apa yang dia inginkan.

“Nara.” Nara mengerjapkan matanya berkali-kali. Suara tajam Taeyong cukup membuat bulu kuduknya merinding.

“Allen.” Kini tatapan Taeyong beralih pada perempuan yang mengenakan hijab berwarna hijau sama dengan Nara. Allen pun sama, diam dan menunggu.

“Apa kau masih mencintai Chenle? Apa kau masih mencintai Doyoung?” Taeyong bertanya kepada dua perempuan di hadapannya yang dihadiahi oleh keterdiaman di antara mereka.

...

Semilir angin malam membawa dua perempuan yang saling mengaitkan tangan satu sama lain itu terbawa oleh nikmatnya memandang lampu kota pada malam hari dari rooftop café. Dua gelas Ice Frappuchino menemani keduanya menghitung satu per satu lampu yang menerangi dunia yang gelap ini. Dunia yang gelap, benar adanya. Begitu gelap hingga harus memilih siapa yang pantas untuk menjadi sandaran dalam mencari indahnya sang bulan.

“Indah banget, sayang buat dilewatin begitu aja.” Nara mengangguk membenarkan. Dirinya sangat menyukai pemandangan lampu kota di malam hari. Rasanya ia ingin mengelilingi kota menaiki Sehun untuk memandangi betapa indahnya cahaya yang berasal dari tenaga listrik itu.

“Apa ini bakal jadi yang terakhir buat kita?” Allen menoleh menatap Nara yang masih setia menikmati angin semilir yang menyebabkan hijab hijaunya sedikit tersingkap.

“Sangat sulit, bukan?” Nara menoleh ke kiri mendapati Allen yang kini juga menatapnya. Keduanya menghembuskan nafas berat. Pilihan yang diberikan benar-benar membuatnya merasa begitu berat. Nara sudah menghubungi orang tuanya dan Aldi, mendiskusikan mengenai kebaikan untuk ke depannya. Mereka hanya menyetujui apa yang membuat Nara merasa nyaman saja.

Allen tak memiliki pilihan lain, hanya sang mama yang membuatnya bisa berada di sini. Sulit untuk meninggalkan namun, dengan senyum teduh milik mamanya membuat semuanya seolah baik-baik saja dengan keputusan yang diambil oleh Allen.

“Jangan pernah pergi dari gue.” Allen menggenggam erat tangan yang mulai dingin itu. Nara lagi-lagi menoleh sembari memasang senyum manisnya.

“Jangan pernah pergi dari gue juga.” Allen terkekeh. Nara mengulangi kalimatnya. Keduanya memilih beranjak pergi menuju tempat parkir di depan café. Memasang helm dengan baik di kepala, tak lupa semangat untuk mengendarai berkeliling Surabaya menjadi pilihan yang tepat. Jalanan yang cukup padat tak menjadi peluntur senyum di antara keduanya.

Allen mengabsen satu per satu tempat yang pernah dikunjungi oleh mereka berdua selama beberapa tahun belakangan ini. Memori itu tidak pernah hilang dimakan oleh waktu, hanya saja jika kau berpikir untuk melupakannya maka itu akan hilang. Nara berhenti di pinggir pantai. Angin yang bertiup cukup kencang namun, menggairahkan. Keduanya berjalan menuju pasir putih yang tertiup secara kasar di bawah sana.

“Surabaya benar-benar indah.” Allen membenarkan ucapan perempuan di sampingnya. Pemandangan malam dari sudut pandang pantai lebih indah. Allen tak berhenti untuk mengabsen kedatangan cahaya bulan yang begitu menyinari malam hari ini. Malam ini, begitu indah sama seperti malam sebelumnya. Namun, sebuah dorongan rasa yang membuatnya terasa spesial untuk hari ini.

Terima kasih Surabaya. Kau mengukir begitu banyak kenangan indah, menjadi tempat bersandar terbaik ketika dua insan manusia yang takut akan gelapnya dunia menjejak pertama kali mencoba untuk bersinar kembali. Rasanya begitu menyedihkan mengucapkan selamat tinggal namun, kita akan berjumpa kembali di lain waktu ketika sang pundak kembali tegak dengan rasa percaya dirinya. Apakah Surabaya akan menjadi sandaran kembali atau kota dengan kenangan pahit dan manis di dalamnya? Kemana Nara dan Allen akan beranjak di kemudian hari?






Hallo semuanya~ Maaf ya aku baru update hehe :) Sebenarnya mau update minggu kemarin, tapi  sayangnya tugas numpuk bikin kepala pening jadi nggak keburu buat ngetik. Aku baca komentar-komentar kalian. Makasih banyak buat yang selalu support dan stay di cerita ini.

Jaga kesehatan selalu ya~ Semangat!

Langkah Sebuah Takdir 2 (Zhong Chenle)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang