Assalamualaikum

309 40 4
                                    

“Kenapa kau menghindarinya?” Chenle menoleh mendapati wajah penasaran laki-laki berusia 28 tahun itu. Chenle memilih untuk menyesap susu coklat hangat pemberian Tio sebagai pembuka sesi tanya jawab.
“Aku tidak menghindarinya, hanya memberi sedikit ruang.” Chenle mengulum bibirnya sejenak, meletakkan punggung yang mulai lelah itu di kursi balkon.


“Urusan cinta anak muda memang menyulitkan.” Tio sudah memiliki banyak pengalaman mengenai cinta dan segala macam jenisnya. Memang sedikit menantang, namun jika jatuh kau harus berusaha untuk berdiri sendiri.
“Jika kau sudah berada di sini, harusnya sudah tidak ada kata mundur.” Benar kata-kata dari Tio, bukankah seharusnya dirinya tidak boleh mundur. Dua tahun bukanlah waktu yang sebentar. Dibutuhkan keberanian untuk mencoba lagi setelah sekian lama menunggu waktu yang pas.


“Kalau bahasa gaulnya itu ya mas, digas aja.” Tio terkekeh mendengar ucapan tersebut dari bibir member boyband Korea Selatan tersebut.
“Aku restui kamu sama sepupuku.” Satu kalimat yang sukses membuat Chenle membulatkan matanya.
“Sepupu?” Tio menepuk pundak Chenle di sampingnya.
“Ternyata dunia sempit ya, cuman berputar di porosnya.” Chenle mengangguk kembali menenggak minuman di depannya hingga habis.


“Dia orangnya emang sesuai sama yang kamu ceritakan. Ya begitulah, penting dikasih kepastian.” Benar-benar perbincangan malam ini bersama dengan Tio membuatnya membuka pikiran. Tio banyak bercerita mengenai kehidupan yang ia alami mengenai cinta, hidup, bahkan sandiwara para manusia yang lelah hidup di bumi.
“Coba temui dia besok.”


...



“Satu Blueberry Waffle dan Cappuccino Hazelnut.” Pelayan di depan Chenle mengangguk sebelum mengucapkan kembali pesanannya.
“Satu Blue…” Oksigen dihasilkan oleh pohon untuk dihirup oleh manusia. Seingat Chenle tanaman di sekitar Cafe Pumpkin jumlahnya masih banyak. Tidak terjamah oleh tangan-tangan jahat manusia. Namun, sorot mata di depannya seolah menyedot semua oksigen yang berada di dunia.


“Lama tidak bertemu.” Laki-laki dengan hoodie berwarna ungu itu tak lupa menyematkan sebuah senyuman tipis di bibirnya.
“Assalamualaikum.” Salam dari laki-laki di depannya membuat perempuan dengan hijab berwarna merah itu tersadar dari lamunannya.
“Waalaikumussalam.” Senyum di bibir Chenle semakin merekah. Tangan seputih susu itu mengulurkan beberapa lembar rupiah untuk membayar pesanannya.


Dua tahun tidak dapat merubah sosok di depannya. Masih dengan sorot mata yang sama, harum khas pelembut pakaian, dan senyum yang ditunggunya sejak dua tahun tidak menginjakkan kakinya di Indonesia. Chenle membalikkan badannya untuk berjalan menuju meja di samping jendela kecil cafe. Di sana banyak pemandangan menyenangkan termasuk sebuah taman dengan senyum riang anak-anak. Ada beberapa pelanggan di sana. Berpasangan menikmati sore atau sendiri menikmati kesepian.


Chenle berkali-kali menghirup aroma pewangi ruangan yang disediakan oleh pemilik cafe. Khas chocolate creamy tanpa tambahan kayu manis. Sosok perempuan di sana masih menatap tak percaya pada tubuh Chenle yang masih asyik mendengungkan beberapa lirik lagu dari boyband NCT 127. Kacamata bulat bertengger manis di hidungnya, jemarinya sibuk mengetuk sisi meja menyesuaikan irama dari desisan yang ditimbulkan oleh bibirnya.


Tidak membutuhkan waktu lama, tangan dari sosok yang dirindukannya itu mengulurkan pesanannya.
“Terima kasih.” Chenle mendongak menatap wajah manis perempuan itu dalam jarak dekat sembari tersenyum. Bukan Chenle tidak merindukannya, namun laki-laki itu berusaha untuk tidak menerjang perempuan itu untuk masuk ke dalam dekapannya. Nampak sekali dari kepalan tangan kirinya yang ia sembunyikan di samping tubuhnya.


“Bahasa Indonesiamu sangat bagus,” ucap perempuan tersebut sebelum melangkah kembali menuju meja kasir. Chenle tersenyum di tempatnya. Sebuah pujian yang mampu menghidupkan banyak kupu-kupu di dalam perutnya. Rasa manis di dalam blueberry-nya tidak dapat mengalahkan lesung pipi yang tercetak sangat dalam di sana. Mungkin cappucino hazelnut akan menjadi menu favoritnya mulai sekarang.


“Chenle.” Sebuah suara muncul dari arah dapur cafe. Sosok pelayan perempuan kemarin menghampirinya dengan semangat.
“Kita belum berkenalan kemarin.” Perempuan berkuncir dua itu mengulurkan tangannya.
“Aku Rania.” Chenle tersenyum sebelum menjabat tangan di depannya.
“Chenle.” Oh, ternyata dua tahun tidak cukup bagi sosok perempuan di sana. Menatap senyuman yang sudah lama tidak dilihatnya secara langsung, kini senyuman itu terpampang manis untuk sahabatnya.


“Kau ingin menemui Nara?” Chenle mengedikkan bahunya sebelum mengangguk.
“Sudah lama aku tidak melihatnya.” Rania menaikkan alisnya secara bergantian.
“Kalian pasti saling merindukan.”
“Apakah ia juga merindukanku?” Rania mengangguk mantap membuat harapan yang ada di batin Chenle semakin meningkat secara drastis.


“Dia sering sekali menyebutmu di dalam mimpi, di setiap harapannya, atau mungkin di setiap doanya. Aku rasa perasaan itu belum hilang.” Rania mencoba untuk meyakinkan sosok di depannya yang nampak kurang percaya diri untuk bertemu dengan Nara.
“Kau begitu yakin sekali.”
“Kau mau ku beritahu sesuatu?” Chenle mengernyitkan dahinya sebelum mendekat ke arah Rania.


“Wajahmu berada di setiap sudut kamarnya.” 


“Benarkah?” Rania menganggukkan kepalanya berkali-kali. Chenle melirik Nara di sana. Perempuan itu masih asyik dengan pesanan dari pelanggan yang mulai memasuki cafe.
“Rasanya menyenangkan jika kita berdua masih saling merindukan.”
“Aku doakan yang terbaik untuk kalian berdua.”


...



“Bagaimana kabarmu?” Basa-basi itu mulai muncul ketika Nara sudah duduk manis di depan Chenle. Perempuan itu sudah melepas apron yang semula menutupi tubuh bagian depannya.
“Aku baik, kamu sendiri gimana?”
“Aku juga baik.”
“Syukurlah.” Nara tidak berani untuk menatap wajah laki-laki di depannya yang masih setia menatap wajah manisnya.


“Bohong jika aku tidak merindukanmu.” Nara mengangguk, ia mengerti. Bahkan, dirinya juga merindukan sosok di sampingnya ini. Sudah lama sekali tidak mengobrol berdua seperti ini.
“Aku juga.” Chenle kembali melayangkan senyumannya.
“Kau tidak berubah.” Nara masih setia melirik pemandangan di sekitarnya. Cafe sudah tutup dua puluh menit yang lalu. Ini semua adalah ide dari Rania. Perempuan tersebut dengan tidak santainya mendorong tubuh Nara untuk duduk di kursi yang semula didudukinya.


“Kau juga. Selamat atas comebackmu.” Chenle tertawa melihat wajah Nara di depannya.
“Thanks, kau masih mengikuti kami.”
“Aku masih NCTZen.” Chenle menyesap lemon tea yang dipesannya terakhir kali.


“Maaf.” Satu kata yang mampu membuat atensi Nara beralih untuk berpusat pada sosok di depannya.
“Maaf tidak bisa menemanimu saat kau berada di masa sulit.” Nara tersenyum tipis.
“Tidak apa-apa, aku yang memilih pergi.”
“Aku menghargai keputusanmu.” Chenle mengalihkan pemandangannya menuju minuman yang baru saja dihabiskannya.


“Jadi, apa alasanmu kembali?” Pertanyaan yang terlontar dari bibir Nara sukses membuat Chenle kini mengunci sorot mata penuh penasaran itu.
“Sangat basi jika aku mengatakan bahwa aku mencintaimu. Namun, memang benar adanya. Aku masih mencintaimu, tak peduli bagaimana perasaanmu kepadaku.”


Tahan, tahan, dan tahan. Air mata itu terus mendesak untuk keluar membasahi pipi manisnya. Nara mengepalkan kedua tangannya erat di atas meja. Mencoba untuk menguasai dirinya sendiri sebelum terisak di depan sosok di depannya.


“Maaf.”


Kata yang sulit diucapkan namun membuat senyum Chenle kembali terpahat di sana.


“I’m fine.”


I’m not fine.





Yuhuuuu aku comeback. Sebenernya mau update tadi siang. Tapi ternyata kuliahku tiba-tiba ngadain zoom semua, ya sudah tertunda sampai malam ini. Ehe, jaga kesehatan ya, jangan makan pedes-pedes berlebih, sama banyak minum air putih~~

Langkah Sebuah Takdir 2 (Zhong Chenle)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang