06

1.9K 303 46
                                    

Fatamorgana itu sembilan puluh persen imajinasi, terbilang abstrak tapi masuk akal. Berkali-kali Karina lengah olehnya. Ratusan carik ia baca khidmat, sedang satu jiwa nampak gusar mengamat-amat. Eskpresinya ngeri melihat tumpukan kertas di tepi meja. Ini tahap pertama tutor Karina, skedulnya setengah jam membaca.

Ia menyiapkan semua keperluan, sekitar lima kamus dipamerkan. Satu per satu ia jelaskan materi pendukungnya, tapi Winter tak mau mendengar. Ia asyik bermain game di ponsel pintar, Tetris namanya.

"Bisa fokus dulu gak? Gimana mau pintar kalau gak belajar? Setidaknya baca satu kalimat dari buku ini."

Dongkol sekali hati Winter. Pikirnya ini tidak asik. Isinya saja tak menarik, tak ada gambar, tak ada warna. Semua full tulisan, ayat-ayatnya juga kuno dan memuakkan.

"Harus banget ya kita begini?"

"Kalau mau pintar, ya, harus begini."

Untung ada hiburan gratis, yakni figur Karina. Elok rupanya meski dilihat dari samping. Barangsiapa memandang wajahnya pasti lupa untuk berkedip, sama halnya dengan Winter yang kelepasan mengagumi wujud indah hingga tak sadar namanya telah dipanggil berulang kali.

"Minjeong!"

"H-huh? Apaan?"

Karina manarik napas penat, "Sini hape lo gue pegang, biar fokus belajarnya."

"Gak."

"Gue gak bakal copet hape lo."

"I don't trust you. Lo orang asing."

Anak kecil ini bikin susah saja. Mau tak mau harus bertingkah dewasa agar masalah cepat selesai. Karina meraih ponselnya, disodorkannya benda kotak pada Winter.

"Nih, hape gue lo pegang juga biar kita impas."

Merasa miliknya, Winter berusaha membuka lockscreen ponsel Karina.

"Jangan buka-buka."

"Terserah gue dong mau ngapain. Kan gue yang pegang."

"Hape lo gue buka juga nih ya?"

"Silahkan, gaada isinya juga." Tak acuhnya.

Mentalnya diuji. Tuyul memang nakal sekali sifatnya, jadi harus siap lapang dada.

Drrt!

Rahasia kecil diumbar ponsel pintar. Banyak sekali isinya sampai dunia tak cukup menampung. Tak ada kata mesra, melainkan pelajaran dan dosen bimbingan. Mereka yang terpaut dalam diam mana bisa menguak pesan romansa. Masalah disini adalah waktu yang tak tepat, yang pegang bukan pemilik aslinya.

"Sejak kapan mereka berhubungan?" Gumamnya.

Selipan terai keki padanya saat balon-balon pesan antar dua insan amat banyak. Ini pasti ulah ahli dayang.

"Lo deket sama Giselle?" Tanyanya memastikan.

"Biasa aja."

Winter tak membiarkan kepalanya diisi oleh hal tak penting. Ini cuma pesan antar dua orang yang baru kenal, tak ada yang perlu dipermasalahkan selama tak ada bahasan suka dan cinta.

Kenapa? Cemburu itu hal biasa, yang tak biasa kalau cemburu pada orang asing. Lho, Karina itu orang asing, kan?

Ah, udara disini tidak nyaman. Winter mau senang-senang. Orang ini bukan raja yang bisa memerintah dan mengatur rakyat jelata. Anggap saja begitu. Tapi rencananya tak mulus. Ada yang tertinggal. Tangannya kena hap oleh perusak suasana hati, ialah Karina orangnya.

"Mau kemana?" Tanyanya.

Ini dia tantangannya. Pilihannya adalah sepakat atau gelar tubir. Kalau sepakat itu artinya Winter menceritakan asal-usulnya rasa cemburu dalam diri tatkala isi percakapan Karina di ponsel sana, kekurangannya pasti dianggap gila. Gelar tubir lebih parah, bedanya hanya cara penyampaiannya saja.

My Crazy Roommate (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang