"Winter?"
Gadis itu termenung pilu. Pertama kalinya ia menghiraukan Karina sebab amarah sedang mengendalikannya. Karina paham akan kondisi gadis itu, ia sedang tak ingin di ganggu. Mau mengingatkan saja kalau waktu sudah terlalu larut untuk berpikir, apalagi duduk sendirian di pinggir gedung. Kalau jatuh, siapa mau tanggung jawab?
Gadis ini menutup diri, bisa dilihat dari pertahanannya. Kalau sudah sejauh ini berarti masalahnya cukup besar. Gelagatnya seperti orang depresi, wajahnya juga tak menunujukkan rasa gembira. Instruksi hening apalagi yang ia berikan pada Karina?
Ia sibuk melihat bintang, entah ia benar-benar tertarik pada cahaya itu atau ia hanya menjadikannya sebagai pelarian atas perasaan yang sebenarnya. Kemungkinan untuk bercerita kecil, dia perlu ditawar baru mau cerita. Terkadang rasanya seperti memaksa sebab privasi manusia tak hanya untuk satu orang saja, malah sebenarnya itu bukan untuk siapa-siapa.
Tapi sampai kapan? Sampai kapan mau berlari dan mengingkari realita yang sudah duduk rapi di depan mata?
"Cerita dong."
Karina tidak mau merayu terlalu banyak karena tak ada yang lebih menyebalkan selain rasa bersalah di akhir cerita. Keberhasilannya dalam melangkah pun merupakan dorongan dari tanggung jawab yang ia pikul di punggungnya. Seandainya tak mau cerita, tak apa. Hatinya tetap terbuka, tapi ingat, itu tak bertahan lama.
"Gue gak mau ngobrol sama lo," ujar Winter.
"Ini lagi ngobrol."
"Ya, habis ini."
Winter tahu ini tak benar karena ada rasa sakit di hatinya. Ia berusaha menimbun perasaannya sendiri tapi tak bisa, itu selalu kembali dan kembali. Kalau sudah seperti itu, tak ada lagi yang bisa disalahkan selain diri sendiri. Lagi-lagi berperang dengan diri sendiri, apa tidak lelah?
"Nanti gue ngobrol sama siapa dong?" Tanya Karina.
"Lo kan punya Giselle."
"Ngapain gue ke Giselle kalau gue punya lo?"
Winter terkekeh sinis. Lontaran itu menghunusnya dalam-dalam. Dasar pembohong. Pembohong selalu berucap bohong.
"Gue bukan punya lo, begitupun juga sebaliknya," balas Winter.
Banyak yang bilang sikapnya palsu. Biarkan saja, biarkan mereka mengungkapkan pendapatnya walau tak semuanya sesuai kenyataan. Adalah bohong kalau Karina tak sakit hati, tapi ini yang disebut berkorban. Jangan masukkan ke dalam hati, selesai dengar langsung buang jauh-jauh karena kalau sudah menyangkut mustahil rasanya untuk mencabut.
"Kenapa lo selalu menghindar dari partner lo sendiri? Gue sebagai tutor berhak tau dan lo gak boleh menutup diri," jelas Karina.
"Apa yang lo mau tahu dari gue?"
"Apapun itu."
"Jadi ini sifat asli lo, seenaknya masuk ke kehidupan orang lain tanpa menghargai privasi dan bertindak seolah-olah lo paham atas segala aspek hidup gue?"
Keduanya punya kesamaan, sama-sama takut melangkah, hanya saja Karina bukan tipe pendendam. Ia membalas ujaran itu dengan senyum tipis.
"Kalau lo bilang gue menutup diri, iya, gue memang menutup diri. Gue gak pernah dan gak akan pernah membuka diri pada orang asing," ujarnya tegas.
Jadi ini yang namanya egois. Sudah baik ada wadah untuk cerita, tapi wadahnya dipecahkan. Pikirnya masih ada wadah lain yang jauh lebih bagus, jauh lebih paham atas masalah yang dimilikinya, bukan karena dorongan tanggung jawab dari kepala rektor.
"Sampai kapan lo mau anggap gue orang asing?" Tanya Karina.
"Bukan gue penentunya."
"Lalu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
My Crazy Roommate (HIATUS)
FanfictionKarina harus sekamar dengan penguasa kampus yang luar biasa gilanya. Entah berapa kali ia mengajukan surat pindah kamar, namun permohonannya selalu ditolak. Tidak hanya kesabaran Karina yang diuji tapi seluruh aspek hidupnya otomatis menjadi milik s...