09

1.7K 279 40
                                    

Lima belas menit Winter mondar-mandir mengelilingi ruang kamar, dirinya belum bisa menerima kenyataan bahwa ia dan Karina harus menetap di kediaman ibunya selama satu minggu. Rasanya seperti jatuh ke dalam lubang tak berujung.

Murkanya pada Karina serta merta gentas, ia tak lagi menggubris rasa nyeri di pipi kanan. Perkara ini menyangkut hidup dan mati, Winter harus bekerja sama menyusun kronologi yang rapi bersama Karina.

"Baiklah, tekad gue sudah bulat!" Gadis mungil berhenti, berbalik menghadap Karina dengan kobaran api menyala, "Mulai hari ini kita pacaran."

Jantung Karina hampir lepas, ia tak pernah mengira Winter akan melontarkan pernyataan seperti itu. Otaknya mengalami kesalahan teknis, Karina tak bisa membalas apa-apa. Ia pikir keputusan ini edan. Bagaimana mungkin seseorang bisa menjalin hubungan tanpa melewati tahap pendekatan?

"Gue gak—"

"Dengerin dulu penjelasan gue," ujar Winter sambil menempelkan jari telunjuknya pada mulut Karina. "Kamar ini mau di rombak sama nyokap gue dan kita harus menetap di rumahnya selama seminggu. Sedikit disclaimer, nyokap gue itu seorang maniak."

"Terus?"

"Kalo dia udah tertarik sama seseorang, dia bakal ngejodohin orang itu ke gue. Masalahnya adalah dia bisa menggila kalo dia tahu kita gak punya hubungan apa-apa. Jujur, gue gak kuat ceritain segila apa jiwa maniak dia."

"Jadi itu sebabnya kita harus pacaran?"

"Iya. Lo mau kan?"

"Enggak."

Menelan pil pahit, Winter sendiri pun tak ingin mengambil keputusan seperti ini. Baginya ini adalah pilihan terbaik, lebih baik menjalin hubungan dengan maniak belajar daripada berurusan dengan ibu-ibu maniak cinta.

"Sigh, terus lo mau gimana?"

"Kita temenan aja."

"Gak bisa, Karina. Ini menyangkut hidup dan mati kita berdua. Dia bakal mati-matian ngejar lo buat jadi pasangan gue dan gue gak mau hal itu terjadi pada kita, ngerti?"

Winter berlutut di hadapan Karina dengan tatapan gundah. Gadis itu ingin menangis, terlihat jejak air mata di pipinya. Air matanya deras, Karina yang tak kuasa melihat seseorang menangis pun langsung kalang kabut. Ia tak ingin membuat anak orang menangis tapi ia juga belum siap mengiyakan rencana Winter.

Tangisan itu semakin besar hingga napas Winter tersengal. Ia menutup wajah dan meraung-raung pedih. Rasa bersalah segera menjalar di seluruh tubuh Karina. Ia belum pernah melihat seseorang menangis sepedih ini, segera dirinya memeluk tubuh kecil Winter dan menepuk-nepuk punggungnya berharap tangisan mereda.

"Gak usah nangis."

"Gue bakal ngelakuin apa aja biar lo setuju."

Semakin besar tangisan Winter. Siapa yang tidak panik melihat anak kecil menangis? Karina berpikir cepat, ia harus memutuskan jawaban yang tepat untuk rencana Winter. Satu jawaban salah dan semuanya menjadi berantakan.

"Y-yaudah, gue mau jadi pacar lo!"

Tangisnya berhenti, Winter menghapus semua air mata yang membasahi wajahnya. Ia melompat bahagia, belum pernah ia merasakan kebahagiaan sebesar ini. Ia tertawa jahat seperti penyihir pipiyot dalam film nirmala. Terlalu cepat perbahan emosinya hingga Karina nampak kebingungan.

"Bukannya barusan lo lagi nangis?"

Winter tersenyum manis. Senyuman itu langka, baru pertama kali ia menujukkannya pada Karina, "Gue cuma mempraktekkan eskpresi psikologi yang pernah gue baca," kekeh Winter.

My Crazy Roommate (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang