11

1.6K 257 28
                                    

Rentengan cangkrim duet insan perkara kopulasi alegoris mitra sekutu kian memanas. Agenda empat hari bertempo berdarmawisata bukannya digunakan untuk menoleransi penat, melainkan bernala-nala tentang konspirasi cemplang yang sama anehnya dengan keberadaan alien di dunia fana ini.

"Lo yakin?"

"Seribu persen yakin."

Dua kalimat tanya jawab yang  kokoknya tak bertahan lebih dari 30 menit. Keduanya bersitegang bersenjata prinsip masing-masing. Saling mengerat lidah atas konspirasi lalu membangunnya kembali, tak ada yang bisa mengganggu mereka sebab seluruh akses rumah tertutup rapat, menjadikan dugaan ini terlalu berbahaya bagi kalangan awam yang tak tahu apa-apa. Sayangnya, mereka terlalu sibuk mengurusi hidup orang lain tanpa memikirkan jawaban yang berada tepat di depan mata. Bergerak membentuk loophole, Itu saja kegiatan mereka selama di vila. Invitasi juga tak mendapat balasan, jadilah rumah itu melindungi dua kepala acar yang belum bisa menerima keadaan bahwa Karina menginap di rumah Winter.

"Lo yakin?"

"Seribu persen ya..."

Ia tak mampu melanjutkan kalimatnya. Keyakinanya rapuh, bahkan mulutnya tak mampu memastikan ide yang berkembang pesat di benaknya. Ningning melirik ponselnya, berharap suatu keajaiban muncul pada invitasi itu namun nyatanya tak ada. Ia melempar ponselnya jauh-jauh.

"Kok bisa ya Karina suka sama Winter?"

"Namanya juga cinta, Ning. Kalau sudah klop di hati, mau orangnya kelainan jiwa sekalipun juga pasti tetap suka."

"Terus nasib kita bagaimana?"

"Kita pacaran juga, dong. Kita buktikan siapa yang lebih romantis," ujar Giselle yakin.

Ningning meringis geli. Menjadi pacar Giselle tak pernah ia cantumkan dalam wishlist  hidupnya. Gadis elegan itu lebih cocok menjadi ibu asuhnya di asrama.

"Konspirasi kita ini berhenti, Selle?" Satu lagi pertanyaan tidak yakin.

Giselle menggapai kacamata bacanya, "Berdasarkan penelitian lapangan yang kita lakukan dan dua puluh... tujuh hipotesis yang terbentuk, konspirasi kita ini..."

"Tidak valid."

⑅*❀⑅*❀⑅*❀⑅*❀⑅*❀⑅*❀⑅

Dengungan kencang menusuk telinga. Perempuan bersender di ujung gedung, membiarkan angin sepoi menerpa wajahnya. Kali ini ia berempati dengan langit yang tersenyum cerah, berbeda dengan hari-hari sebelumnya yang selalu gelap dan muram.

"Yu Jimin," gumamnya kecil.

Fisiknya, namanya, dan kegagapannya mengenai tempat tinggal baru menjalar di seluruh tubuhnya. Ia meringis ngeri lalu kembali tertawa kencang. Menghabiskan sisa napasnya hingga rongga dada terasa sesak. Baiklah ia menyetujui sebutan gila yang bertengger rapi di atas kepalanya. Pengagum rahasia.

"Satu kali berciuman. Satu kali menampar Kim Minjeong. Satu kali..."

Mengulang-ulang memori tentangnya adalah rutinitas yang takkan pernah ia lewatkan. Ia merasa sukacita, terlebih jika satu peristiwa baru masuk dalam daftar memorinya. Ah, betapa cantiknya gadis itu.

"Kim Minjeong."

Ukiran di bibirnya lajak hilang. Orang itu menduduki kursi rival terberatnya. Betapa mengerikan tingkah laku gadis mungil serba congah itu. Bagaimana caranya? Apa itu kebetulan? Dasar koruptor cinta. Apa tidak cukup mengambil hati seluruh gadis kampus?

⑅*❀⑅*❀⑅*❀⑅*❀⑅*❀⑅*❀⑅

Lima belas menit bersemedi dalam ruang tanpa suara. Pasutri mesra itu belum juga bertegur sapa sejak sang dominan tak bisa menahan konak yang menyerang tiba-tiba. Sedikit-sedikit ia mencuri pandang melihat Karina yang tengah asyik membaca berita dunia. Terlihat fokus dan tajam, Winter yakin takkan ada yang bisa memecah konsentrasi Karina, bahkan kiamat sekalipun.

Helaan napas beratnya mengandung derita ekslusif dimana hanya dirinya dan Tuhan saja yang tahu. Keraguan membuatnya terus mempertanyakan asal usul Karina, gadis menawan dengan ribuan sisi yang belum ia jilat sepenuhnya. Seperti membuka lipatan origami, Winter harus berhati-hati mengorek riwayat hidup Karina. Bagaimana ia bisa datang ke Kyunghee, apa yang membuat otaknya sepintar Einstein, dan masih banyak lagi.

"Belum capek ngeliatin gue?" tanya Karina tanpa mengalihkan pandang dari bukunya.

Winter mendengus, "Gue gak ngeliatin lo."

Karina menutup buku bacaannya. Kali ini ia menjatuhkan tatapan tajam pada Winter, sayatan nampak jelas dari kedua organ penglihatannya. Karina berusaha meredam amarah yang mulai membangkit. Ia lelah beradu pendapat melawan Winter yang terlalu keras kepala.

"Lo nggak merasa bersalah?"

"Nggak," balas Winter dingin. Iya, dia merasa bersalah.

"Lo nggak boleh terbawa suasana dan bertingkah seolah kita sepasang kekasih yang udah bertahun-tahun pacaran."

Tak ada balasan. Seandainya buku pegangan Karina bukan buku pinjaman, ia pasti sudah lemparan jauh ala atlet tolak peluru. Gadis di depannya ini betul-betul... menyebalkan. Bagaimana ia bisa bertahan melawan kemalangan atas dirinya sendiri?

"Yaudah, kita pacaran beneran aja."

Napas Karina tertahan. Apa ini mimpi?  Skenario yang sempat menjamur di kepala selama beberapa minggu kini meluncur begitu saja dari mulut Winter.

"Nggak pacaran aja berantem terus, apalagi pacaran beneran?"

"Tergantung."

"Tergantung?"

"Tergantung, lah. Pacaran itu bukan tentang bagaimana cara memuaskan satu sama lain tetapi bagaimana cara mengerti satu sama lain. Soal berantem atau enggaknya itu hal yang wajar, malah biasanya mereka memutuskan untuk 'break'  dari kisah cinta itu demi privasi masing-masing. Lalu setelah semuanya mereda, mereka akan kembali lagi dan memulai semuanya dari awal."

Situasi dimana Karina diam dan menerima omongan yang keluar dari mulut Winter, ia pikir pernyataan itu ada benarnya.

"Jadi?"

"Nggak tahu, deh. Pikir saja sendiri."

Dasar tidak peka. Ternyata benar rumor tentang gadis cantik, mayoritas tidak ada yang peka. Otaknya saja yang cerdas, tetapi kalau bahas perasaan malah amblas. Karina adalah manifestasi dari koma, kondisi dimana tubuh manusia hidup namun tak dapat bergerak. Sadar atau tidak itu tak ada yang tahu, tetapi nyawanya tetap ada disitu. Winter beranjak jauh dari hadapan Karina. Winter lelah berlama-lama dalam ruang tanpa cinta bersama gadis cantik yang mengalami koma cinta.

"Winter."

"Apa?"

"Tawaran tadi..."

Lucu sekali kerongkongan ini. Selalu tersendat di saat yang tak tepat. Karina menelan ludah kuat-kuat, tak bisa menyangkal bahwa dirinya gugup mengatakan hal ini.

"Itu beneran?"






TBC

Aku bersalah! Aku tidak bisa membagi waktu antara kuliah dan melanjutkan cerita ini :"( Maaf ya...  jangan marah sama aku. Aku gabakal cape-cape ngingetin untuk jaga kesehatan! Makan!

My Crazy Roommate (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang