Tujuh.

7 2 0
                                    

Tidak ada tanda-tanda hujan akan berhenti. Aku sebenarnya membawa payung dan jas hujan. Tapi entah kenapa aku seperti tidak tertarik mengeluarkan keduanya. Kulihat rintik hujan ini dengan tatapan kosong. Anak-anak sudah banyak yang berlalu dan menerobos hujan dengan payung mereka atau jas hujan.

"Yara kan?" ada suara yang memanggilku, membuatku menoleh ke belakang. Ternyata teman sekelasku, Gina.

"Iya," jawabku singkat.

"Kenapa belum pulang? Gak bawa payung? Ato jas hujan? Mau bareng aku sampe parkiran? Eh kamu bawa motor?" pertanyaan beruntun itu keluar dari mulut Gina.

"Gak papa, aku bawa payung kok tenang, duluan aja," sahutku.

"Yakin?" tanya Gina memastikan. Aku hanya mengangguk mantab. "Ya udah, aku duluan, hati-hati ya," pamit Gina. Dia pun berjalan menerobos hujan dengan payungnya. Aku masih bergeming. Hanya menatap air hujan yang turun semakin deras.

Air hujan itu seakan memanggilku. Membuatku menghampiri hujan itu. Ya, aku menerobos hujan tanpa payung dan jas hujan. Aku berjalan pelan, menikmati air yang terus mengguyurku. Tanpa kusadari air mataku jatuh. Semakin lama semakin banyak, tapi tertutup oleh air hujan yang juga mengguyur wajahku. Air mata seakan bersembunyi dibalik derasnya air hujan.

"Nok, kenapa hujan-hujan? Gak bawa payung?" suara Pak Wawan, terdengar di telingaku. Aku menoleh pelan. "Kamu gak bawa payung? Kalo gak bawa tunggu di sini dulu, ato mau Bapak anter?" tanya Pak Wawan lagi.

"Nggak Pak, gak papa, dekat kok, permisi Pak," sahutku sembari menggelengkan kepala. Aku kembali berjalan seakan menghindari hujan. Padahal aku tidak berniat meneduh. Aku terus berjalan dengan air mata yang terus mengalir bersama air hujan. Aku menyadari ada beberapa pasang mata yang menatapku heran, tapi aku tidak memedulikannya. Menganggap hanya aku yang ada di jalan itu.

"Dek, kenapa hujan-hujan? Nanti sakit. Mau Bapak barengi gak?" ada seorang bapak-bapak yang memanggilku. Menghindari dianggap tidak sopan, aku berhenti sejenak dan menggeleng bermaksud menolak. Aku pun melanjutkan jalanku lagi. Sampailah di sebuah pertigaan. Ada lampu merah di sana, karena lampu sedang hijau dan kendaraan sedang melaju, aku pun berhenti. Entah kenapa kepalaku mulai sakit, badanku menggigil, dan semakin lama mataku semakin kabur. Sampai akhirnya badanku mulai limbung, dan semua menggelap.

Semua terasa gelap terasa berat. Sampai akhirnya mataku mulai terbuka, cahaya silau langsung menembus mataku. Butuh beberapa detik sebelum pandanganku jelas. Kusapu pandanganku ke seluruh ruangan. Kosong, hanya aku manusia yang ada di ruangan ini.

"Dek Yara, kamu gak papa? Ada yang sakit?" suara bunda terdengar tepat setelah suara pintu terbuka. Aku menggeleng pelan.

"Kok Yara bisa di sini?" tanyaku

"Lagian, kamu juga sih, kenapa juga pake hujan-hujanan segala. Sakit kan jadinya," jawab bunda dengan nada kesalnya. Aku hanya diam mendengar ucapan bunda. Aku masih bisa mengingat semuanya, tidak amnesia dengan dramatisnya. Lagipula aku tidak kecelakaan, jadi tidak mungkin terjadi amnesia. Konyol.

Aku ingat betul kenapa aku memilih menerobos hujan layaknya orang bodoh. Aku ingat betul rasa sakit yang kurasakan saat melihat "itu" semua. Dan terasa lebih sakit saat diingat lagi. Bagaimana cinta pertamaku kandas begitu saja tanpa sebuah perjuangan.

Penyesalan memang selalu datang di akhir. Kalau di awal pendaftaran namanya. Oke skip. Lebih ke penyesalanku yang tidak berani mengungkapkannya lebih dulu, sebelum waktu menjawabnya. Ya waktu yang menjawab bukan dia. Nyatanya aku kini tengah dijawab oleh waktu, waktu yang perlahan memberitahuku bahwa dia sudah ada yang memiliki. Hiks.

Tbc~
Akhirnya setelah sekian lama ak up lagi, maap yee ni manusia satu emng masih labil nih, suka gak jelas gitu mau up kapan. Dahlah penting enjoy aja.
-Alfynjm.

DibisukanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang