Dua Belas.

10 1 0
                                    

"Permisi, boleh tanya?" suara yang familiar, aku menoleh pelan. "Kamu?.."

"Hai," aku tersenyum kecut. Dugaanku benar bahwa yang kulihat itu sosok Raga. Si mantan gebetan. Entah keberuntungan atau kesialan yang sedang menghampiriku kali ini. Yang jelas takdir sedang mempermainkanku. Perasaanku campur aduk macam gado-gado.

"Kita ketemu lagi, gimana kabarmu?" tanyanya. Aku menatapnya sebentar.

"Baik, kamu?" tanyaku balik.

"Temen SMA lo, Ra?" tanya Intan.

"Iya, tapi dia ngilang pas kelas 11," yang menjawab Raga. Ada kesan menyindir, tapi aku tidak tau bener apa ga.

"Ha? Ngilang?" Julia mulai kepo.

"Aku pindah, bukan ngilang," celetukku agak ketus. Sebal juga dia sok tau begitu. Untung gebetan. Eh mantan gebetan.

"Tapi gak ngabari tuh," bisa-bisanya aku suka sama orang yang senyebelin ini. Ternyata begini orangnya.

"Ya situ siapa, penting banget aku kabari," jawabku sebal. Dia kenapa jadi rese sih.

"Heh, udah-udah, kok jadi berantem," lerai Intan.

"Kita ga berantem."
"Ga berantem kok."

"Cieeeee bareng jawabnya, ih cocwit deh," Julia heboh. Napa sih kok jadi gini. Si Raga juga kek biasa saja menanggapi temanku yang rese ini.

"Udah ah, eh kenalin, Intan, ini Julia, salken ya," ucap Intan, sembari senyum manis. Yang entah kenapa memunculkan rasa tak suka. Rasa tak rela bahwa ada orang yang bisa dekat sama gebetan, sedangkan kita mau mendekat saja susah banget.

"Salken juga, gue Raga, temen SMA dia," jawab Raga sambil nunjuk-nunjuk aku. Tidak sopan memang manusia satu ini. Untung mantan gebetan.

"Emang kita temen?" sahutku ketus. Raga melihatku cukup lama.

"Ya udah kita ulang aja, kenalin gue Nuraga Tanggel Darmalaksana," kulihat uluran tangan Raga yang masih abaikan.

"Tahu kok," aku rasa ini sudah kelewat nyebelin. Tapi hal ini yang menjadi bentengku menahan segala debaran konyol ini. Kenapa sampai sekarang masih tersimpan sih rasa yang telah lama ingin kulupakan. Bersamaan dengan bahuku yang didorong seseorang. Saat kulihat, ternyata Julia.

"Ra, kok lo nyebelin sih, astaga temen gueee," keluhnya. Oke oke gugupku sudah kelewatan. Akhirnya kuraih tangan Raga. Jantungku, ingin meleleh saja rasanya. Hei. Fokus Ra, move on lah.

"Maafin, kenalin aku Yara," suaraku terdengar pelan. Takut terlihat jelas rasa debaran ini. Karena aku berharap ia melupakan penembakan konyol sebelum lulus SMA kala itu.

"Gak papa, btw gue harus pergi, ada kelas setelah ini, bye," pamit Raga. Lagi-lagi rasa tak rela memenuhi rongga jantungku. Berharap Raga bertahan di sini lebih lama.

"Oke, semangat kelasnya," sahut Intan. Mataku masih terkunci pada sosok Raga. Sampai ia tenggelam di kerumunan para mahasiswa yang hendak ke kelasnya.

"Yar! Kok ngelamun," aku terkejut melihat Intan menepuk pipiku.

"Ha?" tanyaku tak paham dengan situasi yang sedang terjadi.

"Lo tu dipanggilin lo daritadi tapi malah ngelamun," sahut Julia. Aku hanya menggaruk kepala bagian belakang tanpa terasa gatal. Tanganku ditarik oleh Intan dan Julia.

"Lama deh lo," sahut Julia. Kami berjalan menuju kelas beriringan. Meski pikiranku masih terngiang akan Raga, ohh tolonglah, aku mau move on.

"Eh bentar, mau ke kamar mandi dulu, kebelet, hehe," Intan nyengir malu. Dasar ni manusia, pake narik narik segala.

"Ya udah cepetan tapi," jawab Julia sedikit ketus. Aku hanya diam tanpa memberi respon lebih. Ayo Yara, bisa buat move on, pasti bisa. Semangaat.

Tbc~
Waw, gila selama itu ak ga up lagi. Maaf banget emang kek gini anaknya. Harap maklum dan enjoy sama ceritanya.
-Alfynjm

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 21, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

DibisukanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang