Sembilan.

2 2 0
                                    

"Maaf, kami tidak bisa menyelamatkannya, Bapak Julian Gunawan dan Ibu Saras Amartyasari meninggal pada Selasa, 9 Juni 2020, tepatnya 16.45 WIB," seakan waktu berhenti. Membiarkan aku terjebak dengan rasa sakit yang menyesakkan. Apa Tuhan sedang mengujiku? Apa aku tampak sekuat itu sampai Tuhan mendatangkan masalah ini secara beruntun? Aku juga manusia lemah. Aku juga bisa depresi. Aku bukan robot yang tak memiliki hati. Hatiku bukan dari besi yang bisa dihantam kapanpun. Hatiku benar-benar hancur.

Kakiku lemas, semua tulangku seakan kehilangan kekuatannya. Mataku menatap kosong kedepan. Dan sedetik kemudian, air mata mulai jatuh satu demi satu.

"Yara, lo harus percaya kalo di sini ada gue, lo gak sendiri, Yar," suara Kyra memasuki gendang telingaku. Sepasang tangan merengkuh tubuhku erat. Hangat menjalar ke tubuhku tapi tak bisa menghilangkan kehancuran hatiku.

"Yara yang gue tau itu kuat, karena dia tau, dia punya sahabat yang bakal selalu ada di sisinya," suara Kyra terdengar lagi.

"Ky.. raa.., bunda... sama ay.. yah per.. gi. Ak.. hiks, ku sendiri.. Huaaaaaaa," tangisku pecah, aku cuma mau nangis. Tolong Tuhan hilangkan perasaan sesak ini.

"Yaraa.. hiks ini Kyra, Yara gak sendiri... hiks."

"Tap.. tapi, huaaaaa, ayaah.. sama.. bun.. da.. hiks," apa dengan tangis semua ini akan hilang. Apa pelampiasan ini akan membantuku. Pelukan dan usapan pelan Kyra seakan tak mempan menyembuhkan kehancuran hatiku.

"HUAAAAAA, AYAAAAAH BUNDAAAAA, HUAA."

Lama kelamaan, rasa lelah menyerang. Dan gelap mengambil alih tubuhku.

"YARA!!" mataku mulai terbuka. Setelah beberapa saat gelap menyerang, dan kini cahaya terang tanpa permisi memasuki retinaku.

"Gimana? Ada yang sakit?" tanya Kyra. Aku mengangguk pelan.

"Habis ini kita ke rumah lo ya, kita bakal ngremasin jasad orang tua lo bareng, tenang, gue bakal terus di sebelah lo," lagi-lagi aku mengangguk pelan. Mau seberduka apapun aku, tapi mengurus jasad orang tua itu kewajibanku.

Beberapa jam berlalu. Orang tuaku sudah dikebumikan. Dan kini aku sedang duduk sendiri di ruang tamu. Kemana Kyra? Kyra lagi ngurus beberapa pelayat. Aku cukup lemah hanya untuk menerima para pelayat.

"Yara," suara pelan yang merdu terdengar di telingaku. Aku menoleh pelan, dan ternyata itu eyang uti.

"Yara ikut Eyang ya ke Bandung. Bareng Eyang sama Tante Anna," ucap Eyang. Otakku masih mencerna kalimat eyang.

"Yara pindah maksutnya?" tanyaku pelan. Eyang uti mengangguk.

"Di sini Eyang gak bisa jagain Yara, kalo di Bandung, Eyang bisa jagain Yara, ikut ya?" bujuk eyang. Aku berpikir sejenak.

"Yara bakal ngomong dulu ke Kyra ya Eyang?" tanyaku, memastikan. Eyang mengangguk paham. Melihat Kyra yang belum pulang sejak kabar ayah sama bunda gak ada. Eyang sepertinya paham bagaimana aku dan Kyra berhubungan. Selayaknya saudara kandung.

"Yar, kenapa sih? Masih murung aja," tanya Kyra. Pas sekali aku harus bilang.

"Kyr, aku diajak pindah ke Bandung," ucapku lirih dan pelan. Kyra terdiam sejenak, seakan mencerna ucapanku.

"Oh ya bagus, lo ada yang ngurusin, gue bakal dukung apapun keputusan lo, mau lo ke ujung dunia, lo tetep sahabat, saudara gue," ucapan Kyra, meski disertai tawa canda, tapi ketulusannya tak diragukan lagi.

"Kyra gak marah kan?" pertanyaan retorik, yakin. Padahal Kyra sudah bilang kalau dia dukung apapun keputusanku. Tapi, masih kurang.

"Ngapain gue marah, gak ada alasan gue buat marah," aku nunduk. Mulai memainkan ujung bajuku.

"Yara mau nyatain perasaan Yara ke Raga," sekalimat yang entah muncul dari mana.

"Yar, gue gak akan maksa lagi, jangan maksain diri," ucapan Kyra seakan menamparku, bahwa sebenarnya aku sudah tak memiliki kesempatan.

"Cuma ngungkapin, gak minta dibales."

Tbc~
Kasian Yara, aku bisa nangis, meski gak sehisteris itu sih nangisnya. Semoga kesedihan Yara berakhir di sini dan nanti tak akan lagi ada kesedihan yang hinggap. Semoga.
Alfynjm.

DibisukanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang