Sebelas.

4 1 0
                                    

"Yara! Bangun yuk udah jam 5," mimpi indahku seakan buyar saat suara eyang memasuki gendang telingaku. Kubuka mataku perlahan, kutengok jam di nakas sebelah tempat tidurku. Jam 5 pagi. Hari ini menjadi hari dimana aku masuk perguruan tinggi. Setahun sudah aku di Bandung. Meninggalkan luka lama yang tak terlupakan di Jakarta. Luka dari sang cinta pertama, bahkan sebelum memulai semuanya.

Perlahan aku turun dari kasurku. Menuju kamar mandi. Untungnya aku sedang 'halangan' jadi tak perlu khawatir soal solat subuh. Tak sampai 10 menit aku sudah menyelesaikan mandiku. Hawa dingin mulai terasa menusuk kulit. Mungkin efek dari air pagi yang dingin. Entahlah.

Rok hitam panjang dan kemeja putih sudah kukenakan dengan rapi. Kucek lagi isi tasku, dengan harapan tak ada keperluan ospekku yang tertinggal. Selesai dengan semua keperluanku, aku keluar kamar menuju meja makan. Tampak eyang yang sedang menyiapkan sarapan.

"Ini, sarapan dulu," ucap eyang. Aku mengangguk pelan. Lalu segera aku melahap sarapanku.

"Eyang, Yara berangkat ya, assalamualaikum," aku beranjak dan menyalami tangan eyang. Piringku sudah kosong, begitupun gelasku.

"Iya hati-hati ya, jangan ngebut," pesan eyang.

"Siap eyang," akupun bergegas menuju motor maticku. Dan melajukan motorku menuju kampus. Perjalanan menuju kampus tak begitu ramai karena ini masih menunjukkan pukul 6.15 pagi. Jelas aku tak mengambil resiko terlambat kan.

Suasana kampus tak jauh berbeda dengan suasana jalanan tadi. Tampak beberapa anak maba (mahasiswa baru) yang bergerombol. Setelah aku memarkirkan motorku. Akupun segera pergi menuju tempat maba jurusanku berkumpul. Tak banyak yang sudah datang. Akupun menghampiri mereka dan mulai berkenalan.

"Halo, pagi, aku Yara, ini jurusan ilmu komunikasi kan?" tanyaku. Mereka serentak mengangguk.

"Hai, salken ya Yara, aku Intan," sahut gadis berkerudung yang berdiri di sebelah kiriku.

"Aku Julia."

"Dimas, salken."

Dan mereka kamipun mulai berbincang-bincang mengenai jurusan kami. Ya sembari mengakrabkan diri, aku memandang sekelilingku. Dan tepat di bawah pohon mangga, duduk seorang pria dengan perawakan yang cukup familiar.

"Eh, Yar, ayo masuk dah mau mulai deh keknya," tiba-tiba Julia menarik tanganku masuk ke ruangan. Sekilas aku melihat wajah pria yang duduk di bawah pohon mangga itu. Meski tak terlalu jelas tapi aku tahu siapa dia. Sosok yang hampir setahun ini tak kunjung terlupakan.

Entah bagaimana takdir memainkan perannya. Memaksaku harus berhadapan kembali dengan sosoknya yang sudah lama ingin kulupakan. Takdir seakan melarangku untuk lupa akan dia. Ya Nuraga Tanggel Darmalaksana.

Sepanjang ospek berjalan. Otakku seakan tak berada di sini. Fokusku malah kembali ke masa laluku yang kelam. Inginku move on, tapi kenapa dia kembali. Bukan kembali tapi muncul di hadapanku. Karena di sini aku yang pergi bukan dia. Apa aku tidak diijinkan mencari penggantinya. Haruskah dia yang selalu ada di hatiku. Haruskah hati ini terluka lagi oleh orang yang sama. Sungguh dramatis diriku ini. Tapi semua itu memang pantas kudramatiskan. Bagaimana tidak, ketidakadilan takdir membuatku frustasi.

"Yar, daritadi kok ngelamun sih, ada apa?" suara Intan mengembalikan fokusku ke tempat aku berada kini.

"Eh gimana? Udah selesai ta?" tanyaku bingung.

"Tuh kan kamu gak merhatiin ya, udah selese dari 5 menit yang lalu, kenapa siih?" aku menggeleng pelan.

"Gak kok, gak papa, gak usah hirauin," jawabku.

"Permisi, boleh tanya?" suara yang familiar, aku menoleh pelan. "Kamu?.."

Tbc~
Wah wah, luka lama terbuka kembali. Apa akan terjadi CLBK atau menemukan yang baru. Tunggu aja deh.
Alfynjm.

DibisukanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang