12. Apartment

207 9 2
                                    

Roda mobil berwarna hitam itu berputar cepat. Pria bermarga Na itu menancap gas hingga pedal membentuk sudut hampir seratus delapan puluh derajat. Tatapannya terlihat sangat tak bersahabat. Manik hazel itu menatap nyalang jalanan. Jemarinya yang menempel sempurna di pengemudi mengerat hingga menampilkan urat-uratnya.

Moonbi yang duduk di samping kursi pengemudi hanya memutar mata malas. Rahangnya terlihat mengeras, tetapi ia berusaha untuk tak mengeluarkan suara apapun. Ia tak takut dengan Jaemin. Hanya saja ia harus mengakui bahwa aura Jaemin malam ini sangatlah gelap.

Pria itu sama sekali belum membuka suara perihal lipstik yang tersisa di ujung bibirnya. Setelah mengusap bibirnya kasar dan melihat ibu jarinya yang berwarna merah, Jaemin justru mendengus dan menarik gadis itu ke parkiran.

Atensi Moonbi beralih kepada ponsel Jaemin yang berdering. Ia menoleh, melihat Jaemin yang tampaknya tak mau mengangkat telepon tersebut. Ia bahkan tak menyentuh ponselnya sama sekali.

Moonbi menghela napas kasar. Dering ponsel Jaemin mengusik rungunya. Ia mengakui bahwa ia benci suasana canggung dan mengerikan seperti ini, tetapi jikalau ada suara yang mengusik, Moonbi justru mendadak gelisah. Ia tak tahu mengapa hal itu bisa terjadi.

Kesal dengan telepon yang tak kunjung berhenti, Jaemin menggeram pelan. Rahangnya mengeras. Ia segera mengangkat panggilan tersebut yang terhubung ke tape mobilnya.

"Apa?!" Intonasi pria itu menaik. Napasnya sedikit terengah karena sedari tadi ia menahan emosinya yang kian memuncak.

"Jaemin ... Ini Mama."

Tatapan pria itu sontak melunak. Ia menetralkan napasnya sejenak sebelum berbicara.

"Kenapa, Ma?"

"Mama sama Papa udah sampe di rumah, Jaemin. Kamu sama adik kamu kemana?"

"Abis dari ulang tahun Jaehyun, Ma," jawabnya jujur.

"Biya sama kamu?"

"Iya."

"Ooh ... yaudah, cepet pulang, ya. Udah jam satu, Mama sama Papa juga bawa oleh-oleh buat kamu sama Biya."

"Iya, Ma."

"Bawa mobilnya jangan ngebut, awas aja kalau kamu bawa mobilnya ngebut."

"Iya, Ma."

"Yaudah, Mama tunggu di rumah, ya, Jaemin."

"Gak usah, Ma. Mama tidur duluan aja gapapa."

Jina tertawa kecil di sana. "Iya deh."

Pip. Jaemin langsung memutuskan telepon tersebut sepihak. Ia menghela napas jengah.

Moonbi menggigit bibirnya. Ia kembali teringat tentang ucapan Jaemin beberapa waktu lalu; tentang Papanya yang tahu bahwa ia adalah orang ketiga di rumah tangga Jina dan suaminya dulu.

Dirinya mendadak gusar. Moonbi tahu bahwa ia belum siap untuk bertemu dengan sang papa dan khawatir amarahnya akan meledak.

"Anterin gue ke rumah Haechan," ucap Moonbi setelah menimang-nimang beberapa saat.

Jaemin sontak meliriknya tajam. Alih-alih bicara, pria bermarga Na itu membungkam bibirnya rapat-rapat.

"Anterin gue ke rumah Haechan, Jaemin," ucap Moonbi mulai tak sabar.

Jaemin tetap diam.

"Jaemin!" bentaknya.

"Mau ngapain di rumah Haechan?" tanya pria itu sinis, "Lo ke rumah dia jam segini kayak cewek murahan, sadar lo?"

"The fuck." Moonbi menatap Jaemin marah. "Anterin gue ke rumah Haechan atau turunin gue di sini."

"You wish."

Step Brother | Na JaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang