Dua Puluh Tujuh

2.6K 135 3
                                    

Keesokan harinya aku belum punya waktu untuk menanyakan perihal tentang si Wini Wini itu pada Gita, aku sudah sangat sibuk meeting dengan tim dan pertemuan dengan klien. Aku sebenarnya tidak berharap banyak akan dapat informasi banyak dari Gita tentang perempuan bernama Wini, tapi setidaknya Gita akan memberikan sedikit informasi atau bantu aku mengorek informasi pada Mas Rama.

Apa setiap wanita punya kekuatan mengenali musuhnya hanya dengan melihat sekilas saja?. Lihat saja yang terjadi padaku, baru pertemuan pertama dengan Wini tapi sudah ada nada sarkas dariku setiap kali ingin menyebutkan nama perempuan itu. Tapi memang tidak butuh otak seencer Einstein dan secemerlang otak Anang Hermansyah dalam menciptakan lagu, untuk tahu ada sesuatu yang terjadi kemarin di rumahnya Dallas.

Dalam urusan cinta, tidak sesulit perhitungan matematika yang harus dikali, ditambah, di kurang, di pangkat, di akar kuadrat, dibagi lagi, di kali lagi untuk tahu kalau aku hanya sedang cemburu buta. Tapi juga tidak semudah pelajaran Bapak Budi, Ibu Budi, untuk menjadikannya sederhana  daripada terus bercokol dalam hati.

Mungkin kedengarannya aneh, bukankah lebih gampang dan akurat kalau aku bertanya langsung pada Dallas, tapi tingkah laku dan tatapan Dallas kemarin seolah menyiratkan 'aku sedang tidak ingin menggosipkan wanita lain pada pacarku'. See,, serumit itulah kami para perempuan.

Tapi nyatanya aku sudah sangat sibuk, hingga waktu makan siang pun aku belum sampai ke kantor, aku terjebak pada pertemuan dengan klien sepanjang hari, setelah makan siang pun aku akan bertemu Adit bertemu lagi dengan klien yang lain. Jadi pikiranku tentang perempuan si Wini The Pooh itu sedikit teralihkan oleh pekerjaan.

Aku baru bisa mengisi perut sekitar jam dua belas lewat, aku janjian dengan Adit di Starbucks untuk kembali bertemu dengan klien sekitar sejam lagi, tapi mana mungkin perut karungku ini hanya diisi dengan kue dan kopi untuk makan siang, aku bisa tiba tiba terserang gizi buruk. Akhirnya aku mengirimkan pesan pada Adit bahwa aku akan menunggunya di gerai makanan cepat saji, aku butuh nasi, kalau tidak bisa bisa saat persentase nanti aku bakal melantur berlomba nada dengan bunyi perutku.

"Sya, maaf ya jalanan macet banget, jam makan siang". Adit baru tiba dan langsung menarik kursi duduk di depanku.

"Gak masalah, makananku juga baru aja datang". Aku mengacungkan nasi yang dibungkus kertas padanya. "Oh yah, kamu udah makan kan Dit, sorry tadi aku lupa pesenin kamu".

"Gak apa apa, aku tadi langsung makan, tadinya aku mau ngajak makan siang bareng, tapi Pak Purnomo ngajak aku langsung makan setelah meeting tadi". Pak Purnomo adalah salah satu klien yang sedang ditangani oleh Adit, perusahaan Pak Purnomo sudah jadi klien tetap perusahaan kami.

"Oh ya Sya, tadi klien kita Bu Heidi bilang kalau dia bakal telat sekitar sejaman karena ada urusan, jadi kita masih punya waktu buat duduk ngelurusin kaki".

Aku menggantungkan tangan di udara saat baru saja hendak menyuap. "Gila, kalo tau gitu gue makan padang Dit, malah makan ginian karena gue pikir waktunya mepet".

"Sory, aku gak sempet ngabarin kamu, Bu Heidi juga baru nelpon aku pas lagi jalan kesini". Adit kembali menyodorkan makananku yang sempat kudorong menjauh karena kesal, nasi padang yang disiram kuah daging dan rendang terbayang bayang di otakku, kalau saja aku tau masih punya waktu hampir dua jam, aku bisa santai melahap nasi hangat campur kuah dengan tangan.

"Kalau kamu mau, kita masih bisa ko mampir ke warung padang setelah ini". Adit tersenyum jail padaku, aku tau arti senyuman yang seolah bilang 'udah jangan malu malu, kalau masih mau makan nasi padang ayo'.

"Gak segitunya juga, aku emang gak bisa hidup tanpa nasi, tapi bukan berarti kaya gitu juga kali". Aku menarik mata ke atas dan melanjutkan makan, dan Adit hanya tertawa.

Namanya DallasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang