Lima Puluh

1.8K 155 29
                                    

Kalau saja kemarin aku diberi keberanian untuk bertemu Dallas saat menjemput Wini di Bandara. Apa yang akan terjadi?, Apakah akan ada perang memperebutkan satu pria seperti yang banyak diunggah di media sosial akhir akhir ini?. Tidak.

Nyatanya aku tidak seberani itu untuk bisa memergoki langsung pacarku dengan wanita lain, aku adalah tipe orang yang selalu lari dari masalah daripada harus menghadapinya langsung. Aku tipe yang bertele tele dan banyak pertimangan.

Ini juga yang jadi alasan kenapa aku memberi  tahu Bang Thalla duluan, karena aku tidak berani menghadapi Ibu seorang diri. Kalau aku bisa berlindung di belakang punggung Kakakku atas dosa yang kulakukan,maka aku sedang melakukannya sekarang.

Aku berharap perjalananke rumah Ibu tidak secepat ini, aku berharap akan ada kemacetan yang membuat aku tertahan lebih lama untuk bisa sampai, makin mendekati rumah perasaanku makin tidak karuan. Aku tidak pernah siap menghadapi Ibu walaupun Bang Thalla dan Kak Jani sudah menemaniku.

Ibu sampai tercengang kala aku mengikuti Bang Thalla masuk kerumah dan mendapati Ibu sedang di dapur, dia pasti terheran heran dengan kunjungan anaknya pagi pagi sekali dengan aku ikut serta di dalamnya.

"Loh kalian datang barengan. Sya, kapan kamu pulang dari Bali?". Ibu menatapku sambil membalas ciuman tangan dari Bang Thalla dan Kak Jani.

"Dia pulang kemarin Bu,nginep di rumah aku". Bang Thalla mengambil inisiatif untuk menjawab karena aku hanya diam.

Aku terlalu sibuk merapalkan banyak kata di otakku semenjak di dalam mobil, tidak. Bahkan semenjak semalam aku terus menghafal dialog bak seorang aktris peran saat nanti akan menghadapi Ibu. Rasa rasanya aku sudah hafal semua apa yang akan aku katakan dan semua urutanya, tapi saat aku melihat wajah Ibu, otakku seketika menjadi kosong. Blank. 

"Tumben banget langsung kesana, yaudah pada duduk. Loh. Jan, Hawa mana?". Ibu baru sadar kalau Hawa tidak ikut bersama kami.

Kak Jani langsung mengupas pisang yang tadi sedang dikerjakan oleh Ibu. "Hawa main ke rumah Mamah, Bu.Mau diajak pergi katanya". Tentu saja itu bohong, dalam perjalanan kemari kami mampir ke rumah orangtuanya Kak Jani untuk menitipkan Hawa. Mau dibawa main kemana lagian anak umur satu tahun jauh dari Ibunya.

Ibu pun mengernyit bingung tapi tak urung tersenyum. Kami berempat duduk di meja makan. Ibu membuat adonan tepung di mangkuk, sepertinya Beliau akan membuat pisang goreng.

"Naya ke mana, Bu?". Bang Thalla beringsut bangkit dari kursi dan membuka laci tempat menyimpan kopi.

"Dia lari pagi sama teman temannya".

Kala aku mengangkat kepala dan menatap Ibu, Ibu juga sedang menatapku. Pandangan kami bertemu, tapi Ibu hanya diam tidak bersuara atau tersenyum seperti biasanya. Saat itu rasa sakit di dadaku naik dan membuat dadaku pedih. Kepala dan hidung ku sampai perih menahan supaya aku tidak menangis duluan sebelum sempat minta maaf pada Ibu.

Bang Thalla pasti melihat aku dan Ibu sedang saling berpandangan, karena saat itu dia menghampiri Ibu dan memeluk pundaknya dari belakang. Aku seketika bangkit dan berlutut di kakinya, bersimpuh bersujud di kedua kakinya. Aku menangis sejadi jadinya, tangis yang kukeluarkan dengan sangat keras selama dua puluh delapan hidupku. Aku tidak pernah merasa setidakbergunan ini selama hidupku.

Aku memang bukan anak pintar yang sering dapat piala, tapi aku juga bukan anak yang suka bikin onar dan mempermalukan orang tua. Kehidupanku biasa saja, tapi tidak pernah membuat malu orang tua.  Aku tidak pernah merengek menangis minta dibelikan boneka atau pakaian bagus.Aku juga sudah mandiri bahkan semenjak aku kuliah.

Tapi, sekarang rasanya semua itu percuma. Hanya dalam satu waktu aku menancapkan panah di hati Ibu. Ibu diam tanpa kata, tangannya juga masih memegang sendok yang dipakainya mengaduk adonan. Tidak ada suara yang keluar ataupun gerakan. Aku juga belum berani membuka  suara dan bangkit untuk menatap wajah terlukanya.

Namanya DallasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang