Enam Puluh Empat

1.7K 112 0
                                    

Hari H yang disiapkan dalam waktu singkat seolah di sihir dengan tongkat ajaib datang juga. Sedari subuh aku sudah dibangunkan Ibu untuk sholat subuh berjamaah sebelum orang yang akan merias wajahku datang.

Aku sempat bertanya pada Ibu tentang acara yang disiapkan Dallas untuk pernikahan kami, tapi Ibu tidak banyak bicara, beliau hanya bilang kalau Dallas dan keluarganya sudah mengurus semuanya setelah bertanya beberapa hal yang mungkin aku inginkan, padahal Ibu saja tidak bertanya apa apa padaku. Karena Ibu pasti tau apa yang aku inginkan tanpa harus bertanya dulu sebenarnya.

Akhirnya aku manut saja dengan semuanya, saat tim make up yang aku kenali sebagai orang yang cukup terkenal karena jasanya dipakai banyak kalangan mulai merias diriku di depan cermin. Aku dipakaikan kebaya yang tempo hari aku fitting di tempat Tante Gadis.

Saat setelah hampir tiga jam aku dirias sana sini, aku mematut diri di depan cermin, ada rasa haru karena semuanya terasa mimpi. Aku pikir pernikahan kami akan biasa saja, tapi nyatanya ini jauh dari bayanganku. Rambutku yang disanggul rapi berhiaskan mahkota di atas kepala bersatu dengan kebaya yang menutupi tubuhku.

Kami sekeluarga menginap di Hotel tempatku akad hari ini, aku tidak banyak tanya pada Dallas dan bersikap ikut saja dengan apa yang sudah dia rencanakan. Aku juga belum bertemu lagi dengannya dari kemarin saat tiba di Hotel, Ibu dan Bunda bilang, setidaknya aku dan dia harus menjalani pingitan walau cuma sehari. 

Kak Jani masuk tidak lama kemudian bersama Ibu yang memakai baju warna gold senada. "Pengantin pangling banget, jangan kebanyakan ngaca ya!". Kata Kak Jani saat para perias undur diri meninggalkan kamarku. "Sebelum berangkat akad kamu makan dulu ya, Kakak udah siapin sop anget". Kak Jani mengusap pundaku dengan perasaan haru yang terpancar dari matanya, yang seketika membuat mataku ikut perih. Aku berusaha untuk tidak ingin cengeng hari ini, tapi sepertinya itu tidak mungkin.

Begitu Kak Jani meninggalkan aku dan Ibu berdua saja di kamar, Ibu duduk denganku di bibir ranjang sebelah meja rias.

"Ibu cantik banget, kapan Ibu bikin baju seragam kaya gini?". Aku sangat merasa bersalah pada Ibu, bahkan di hari spesialku, aku tidak tahu menahu tentang apa yang Ibu pakai hari ini.

"Ibu mah sebenarnya pakai apa saja, tapi Bunda Rani kekeh kita semua harus pakai seragam, katanya kapan lagi". Ibu sedikit terkekeh walaupun matanya berkata lain.

Aku menarik bibir getir, belum apa apa aku sudah ingin menangis. Betapa semua perjalanan ini adalah buah rasa kecewa yang ku torehkan pada Ibu, tapi saat ini semua terjadi, Ibu adalah orang pertama yang paling bahagia untukku.

Aku menundukan wajah sambil menautkan kedua tangan, terpikir olehku betapa kasih sayang Ibu telah mengantarkan aku sampai sejauh ini. Ibu yang berjuang seorang diri sepeninggal Bapak begitu kuat menghadapi beban hidup untuk anak anaknya. Aku ingin seperti Ibu dalam menyayangi keluargaku nanti.

Ibu yang aku kecewakan, tetapi tetap menjadi orang pertama yang menengadahkan tangannya mendoakanku, menangis paling pertama saat aku dalam kesulitan, orang yang bahagia paling pertama saat aku menjadi juara menulis puisi saat SD dulu.

Ibu bahkan sembunyi sembunyi di belakang Bang Thalla untuk membelikanku komik saat keuangan kami memburuk, Ibu bahkan orang yang mendorongku untuk bisa tetap bermain saat aku harus bergantian menjaga Naya saat Naya masih bayi.

Dan Ibu menjadi orang pertama yang hatinya hancur berkeping keping saat aku tidak bisa menjaga kepercayaannya, tapi sekarang rasa kecewanya dia tutupi dengan senyuman dan doa tulusnya untukku.

Ibu mengusap pundakku dan memelukku dengan suaranya yang bergetar. "Akhirnya kamu akan ada yang menjaga, Nak. Satu beban Ibu pada Bapak sudah terangkat, Ibu berjanji pada Bapak akan menjaga kalian sampai kalian semua menemukan kebahagiaan masing masing".

Namanya DallasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang