Tiga Puluh Enam

1.9K 158 14
                                    

Tidak.

Aku terlalu pengecut untuk mati, malah aku ingin umurku panjang. Apalagi dengan sadar mengap mengap di dalam air, sesak kehabisan napas, tidak. Aku terlalu takut, aku tidak berani. Aku lebih baik mencari jalan keluar lain selain mati konyol, aku sudah dipastikan masuk neraka kalau seperti itu, apalagi dosaku sudah banyak.

Aku harus memastikannya, apakah benar di dalam perutku ada nyawa lain yang kubawa. Aku memutuskan untuk tidak masuk kerja, aku menelpon kantor untuk izin sakit,  aku juga menelpon Ani, memberikan pengarahan selama aku tidak masuk kerja, apalgi Gita juga sedang cuti.

Pagi pagi sekali aku sudah pergi dari rumah, aku berpakaian seperti orang akan pergi bekerja, walaupun Ibu terus melarangku untuk tidak kerja dulu karena melihat wajahku yang semakin lesu, aku tentu saja menolaknya, memang hari ini aku tidak bekerja, aku akan ke rumah sakit, memeriksakan perutku, benar tidaknya hasil tes semalam.

Ponselku berdering, nama Dallas muncul di layar, akhirnya dia muncul juga, aku pikir dia sudah lupa padaku. Tapi, aku tidak akan mengangkatnya, terlalu banyak yang berkecamuk dalam hati dan kepalaku sekarang.Kalau akan ada pertengkaran antara aku dan dia nanti, semoga bukan sekarang waktunya, aku terlalu lelah bahkan untuk mengeluarkan sedikit kalimat buatnya, semalam aku bahkan tidak tidur sama sekali.

Lihatlah, dengan satu panggilannya yang tak diangkat olehku, dia menyerah untuk melakukan panggilan selanjutnya, aku hanya bisa tersenyum miris, meratapi tumpang tindihnya masalah dalam hidupku.

Aku mengambil nomor antrian untuk dokter Obgyn yang siapapun praktek hari itu, aku tidak punya alasan untuk pilih pilih. Syukurlah karena masih pagi aku mendapat nomor antrian yang tidak terlalu lama, aku menunggu dengan perasaan tidak karuan di kursi depan ruang praktek. Aku menggoyang goyangkan kaki dengan tidak sabaran, tanganku gemetar, bagaimanapun aku mencoba mengepal ngepalkannya, tapi seolah tidak ada tenaga.

Satu pasangan masuk, mereka pasti pasangan suami istri yang bahagia, terlihat sekali dari wajah mereka yang tersenyum tiada henti sedari tadi, sehabis mereka giliranku masuk, aku menunggu dengan tidak sabaran. Semakin dekat waktu giliranku, ajaibnya waktu malah bergulir seperti keong, sangat lama. Aku tidak ingin kesedihan dan amarahku pecah di depan umum seperti ini.

"Bu Aransya Putri". Namaku disebut oleh Suster yang duduk di meja depan pintu masuk ruang praktek, aku menghampirinya dengan sekuat tenaga yang kupunya.

"Duduk dulu bu, di tensi dulu darahnya ya". Suster tadi mengarahkanku untuk membuka kancing pada lengan kemeja, tanganku dimasukan ke alat tensi otomatis yang langsung membaca angka angka yang entahlah apa itu.

"Darahnya rendah ya Bu, nanti dikasih resep buat tambah darahnya, usia Ibu berapa?".

"Dua delapan".

"Kehamilan pertama Bu?". Aku mengangguk.

"menstruasi terakhir kapan Bu?". Aku menggeleng, bahkan dari semalam pun aku tidak mengingatnya, atau aku menolak mengingatnya karena otakku terlalu cape.

"Sebelumnya pernah pakai obat KB atau yang lainnya Bu?". Aku menggeleng.

Aku persis seperti boneka kucing yang dipajang di toko China, mengangguk dan menggeleng tanpa suara.

"Mari Bu masuk". Aku mengikuti langkah suster yang membawaku ke dalam ruangan, Dokter Prisil yang kubaca namanya di pintu masuk tadi langsung menyambutku dengan senyumnya yang dibuat secerah mungkin, tapi tidak menular padaku yang malah ingin menangis.

"Silahkan Bu duduk dulu". Dokter Prisil membaca kertas yang tadi berisi data tentangku dari Suster, dia membacanya sambil mengangguk angguk.

"Jadi kapan terakhir kali menstruasinya Bu?".

Namanya DallasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang