Sesuatu yang Cantiknya Kayak Kamu

123 33 32
                                    

Seorang pria paruh baya duduk sambil membaca lembar kertas, kerut tampak jelas di dahi itu, membuat kacamata sedikit turun, tetapi kembali dia betulkan pada beberapa menit kemudian. Sosok berambut setengah uban tersebut menurunkan benda yang dipegang ke meja. Beralih netra balik kaca di sana tertuju pada sang Anak yang duduk berhadapan dengannya.

Terlihat gadis berambut gelombang menunduk, meremas piyama bermotif kucing yang dikenakan. Dia menggigit bibir bawah, mengalihkan pandangan ke segara arah, tetapi tidak berani mengangkat wajah untuk menatap sang Ayah.

"Jangan coba-coba bolos kelas ini, Aila!" larang pria paruh baya di sana dengan meninggikan suara, membuat Aila menutup mata erat dengan sedikit memundurkan kepala.

"Kamu seharusnya enggak boleh sampai enggak tuntas ujian, tapi apa ini? Nilai di bawah rata-rata ada tiga? Bikin malu aja," komentar sang Ayah dan menumpu kepala dengan tangan kanan.

"Baik, Ai paham, Ayah. Kalo gitu, permisi." Aila berdiri, sedikit membungkuk lalu berjalan menuju pintu.

"Kamu enggak akan bisa gantiin dia."

Perkataan sang Ayah membuat kaki mungil itu terhenti. Tangan Aila mengepal erat di sisi tubuh, bahunya tampak bergetar pelan. Usai menarik napas, dia berbalik, memandang pria hampir setengah abad yang masih duduk di belakang meja kerja tersebut.

"Apa setelah dia pergi Ai enggak ada artinya lagi?" Netra si cantik terlihat berair. Jika sekali kedip saja kristal bening pasti akan turun melewati pipi gembil itu.

Aila menunjuk diri sendiri dua kali, sangat kuat sampai kaki pun hampir mundur. "Ai ...," lirihnya dengan terus melihat sang Ayah. "Enggak pernah minta terlahir kayak gini."

Gadis pemilik dimple meremas bagian dada baju, mengulum bibir dan kembali menuju pintu, beranjak dari sana dengan langkah besar agar segera tidak melihat wajah sang Ayah.

Sementara itu di tempat lain, seorang pemuda tengah duduk, ingin menulis pada buku bersampul cokelat tua pada meja belajar yang berhadapan langsung dengan jendela. Tampak pada sampul depan benda itu nama sang pemilik; Altair Rigel Andesva.

Dia mulai menggores tinta pada lembar bagian tengah buku. Huruf hitam pekat pun mengisi kekosongan tersebut, membuat seulas senyum lebar terlukis pada wajah tampan bergingsul.

Ibu, saya ketemu dengan rasi saya di sini. Balik ke kota ini dan sekolah di tempat baru bukan hal buruk ternyata. Ibu ingat dia, 'kan? Yang pernah ketemu sama saya di rumah sakit waktu Ibu pergi tinggalin kami semua.

Ibu, dia masih sama. Rasi saya memang enggak begitu cantik, tapi anehnya waktu dia senyum, saya bisa lihat dia bergerak pelan. Seperti efek slow motion, lucu 'kan?

Ibu, maaf beberapa hari ini saya enggak tulis tentang rindu saya. Karena saya yakin Ibu juga akan sedih di sana kalo tau saya terus murung meski sudah tujuh tahun berlalu. Ibu, jangan khawatir, ya? Saya udah ketemu dengan rasi yang cukup luas untuk bisa jadi bintang paling terang, seperti yang Ibu mau, sesuai dengan nama saya.

Alta menutup buku kala mendengar dering ponsel di sebelah lengan kokoh itu. Dia melirik layar dengan ekor netra, tampak nama kontak yang tertera di sana; Rasi Saya yang Cantik Pake I 1000 Kali.

Usai menyambar benda pipih tersebut, Alta meletakkan benda itu ke telinga kiri. "Halo, ada apa, Aila?" sapanya dan menaikkan salah satu kaki ke kursi.

Sambil menunggu jawaban dari seberang sana, Alta mengetuk jari ke meja, bersenandung pelan, bahkan mengubah ketukan jadi sedikit lebih kuat, seperti pemain drum profesional dengan pena sebagai alat bantu.

Namun, aktivitas Alta terhenti saat terdengar suara aneh. Dia berkedip beberapa kali lalu melongo sebentar. "Aila, kamu kenapa? Saya dengar kamu tarik-tarik ingus. Sakit?" Suara berat tersebut lebih diperhalus oleh pemilik agar si lawan bicara mau menjawab.

"Eh! Aku salah telpon, tadinya mau telpon Indah."

Kemudian, panggilan pun terputus. Alta melihat layar ponsel sejenak lalu berdiri dan mengganti pakaian secepat kilat, bahkan beberapa barang di kamarnya jadi berantakan dan jatuh sampai membuat orang pada luar ruangan terkejut.

"Kak, Al! Jangan berantem sama angin!"

Alta berhenti seketika saat mengenakan jaket biru dongker. Dia menarik resleting pelan supaya tidak ada suara lainnya yang ditimbulkan.

"Ya, Tari! Kak Al cuma pake baju, kok!" teriaknya dan memakai topi warna senada.

***
Aila duduk di ranjang sambil memeluk lutut dengan ponsel pada telinga, berbicara dengan orang melalui benda pintar itu sedikit membantu menurutnya. Dia menutup panggilan setelah melihat tiga puluh menit berlalu untuk sekadar mengungkapkan kegelisahan hati.

Mulai tubuh mungil itu merosot, menutup diri menggunakan selimut lalu meletakkan ponsel di sebelah bantal. Netra si cantik menuju langit-langit kamar dan menghela napas sedikit lebih rakus.

Dia memiringkan tubuh lalu meraih guling untuk didekap. Aila memandang foto yang terpajang pada nakas dengan sendu terpancar di manik itu. "Ai harap bunda sama kakak ada di sini. Selamat malam, tenang untuk kalian di sana," ujarnya dan tersenyum tipis.

Kala mata sudah menutup, Aila dikejutkan dengan bunyi berisik dari jendela kamarnya. Sesuatu mengenai kaca sampai membuat si pemilik lesung pipi terpaksa bangun.

Usai membuka kain hangat penutup tubuh, Aila beranjak dari kasur, berjalan menuju jendela depan meja belajar dan membuka benda itu dengan sedikit sulit.

"Aila!" teriak orang di bawah sana.

Sang pemilik nama mengernyit, memicing mata lalu melotot pada detik selanjutnya. "Alta! Kenapa datang udah jam setengah sebelas malam gini?" tanya Aila dan langsung menutup jendela setelah memberi tanda untuk pemuda itu menunggu.

Alta memegang tali ransel besar yang dibawa sedikit erat dan menaikkan sebab pegal mulai terasa pada pinggang. Dia melihat lagi bunga yang sempat terinjak saat melewati tembok tinggi di samping bangunan rumah Aila. "Nanti saya bilang aja ke Aila enggak usah tanam bunga di sana," gumamnya dan berbalik ketika mendengar langkah mendekat.

Sosok bergingsul tersenyum, memandang tubuh mungil Aila yang tampak menggemaskan dengan piyama bermotif lucu ditambah outer rajut kebesaran, serta sandal berbulu karakter kelinci imut.

"Ada apa?" tanya Aila dengan sedikit menengadah.

"Kamu sakit? Saya khawatir dengar kamu tarik ingus kayak bapak-bapak seruput teh hangat." Alta balik bertanya dan meletakkan telapak tangan ke bawah poni tipis sang lawan bicara.

Si pemilik lesung pipi menggeleng, meraih lengan besar di sana agar menyingkir dari kening. Dia menyilangkan tangan depan dada, kemudian menyahut, "Aku sehat aja, kok! Kamu ke sini cuma untuk tanya itu?"

Sambil menggaruk tengkuk, Alta membuang pandang, mengangguk lalu kembali memandang netra si cantik. "Enggak juga, saya mau kasi lihat sesuatu," jawabnya dan menunjuk ke arah ransel di punggung.

"Apa?"

"Saya mau tunjukkin sesuatu yang cantiknya sama kayak kamu," balas Alta dan tersenyum lebar untuk kedua kali.

.
.
.
UwU UwU UwU jangan lupa tinggalkan jejak manteman 😗❤️
.
.
Share, follow, vote dan pastikan kalian masukin ini ke reading list ya gaes 😌❤️

To Be Your Starlight [Terbit✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang