Suasana hening memenuhi perpustakaan sekarang, hanya detik jarum jam mengisi kekosongan ruang belajar yang ditempati oleh seorang gadis berambut gelombang dengan beberapa buku teknik melukis pada meja. Jemari lentik itu mengetuk pelan, membuat bunyi kuat sampai pengawas mendesis pelan unik menyuruh diam.
Dia tersenyum kikuk, berhenti dari kegiatannya lalu merebahkan kepala di meja. Menatap kosong ke dinding berhiaskan beberapa foto pahlawan, kemudian menutup netra rapat, seakan mengulang kejadian kemarin saat datang ke rumah Alta.
Setelah dilihat oleh pria paruh baya di ambang pintu dapur, Aila dan Alta duduk berhadapan langsung dengan sosok itu pada ruang tamu. Tampak gadis ber-dimple meremas jari di pangkuan, merasa tidak nyaman karena mengingat bagaimana pemuda bergingsul menyentuh lukanya sebelum sang pendatang hadir.
Berbeda dengan Aila, dia terlihat tidak peduli sama sekali, bahkan dengan antai menyandarkan punggung pada sofa, melirik gadis di sebelahnya sesekali, kemudian tersenyum ketika sosok yang diamati melihatnya.
"Ayah dengar kamu enggak ke sekolah tadi. Apa demam kamu parah, Al?"
Pertanyaan itu keluar dari ayah Alta, membuat Aila sedikit membuka mulut dan mengulang penggilan si pemilik gingsul yang diberikan oleh sosok berambut cokelat gelap di depannya.
"Hm, enggak begitu juga. Ayah enggak perlu sampe pulang untuk hal kecil kayak gini," sahut Alta sambil memijat kepala yang masih terasa pening.
Helaan napas terdengar dari sang lawan bicara, dia menggeleng pelan. Berpikir bahwa sikap sang Anak masih saja tidak berubah, bukankah senyum manis pantas menjadi hadiah kepeduliannya sekarang?
"Kamu mau ayah antar ke dokter?" tanya sosok itu dengan hati-hati.
Alta berdecih sambil membuang pandang, kembali melihat sang Ayah dengan senyum miring pada wajah lesu itu. "Kalo ini Ayah lakuin supaya saya ijinin Ayah bawa Tari, saya enggak mau. Lagian kenapa tiba-tiba peduli begini? Dulu juga waktu ibu meninggal, Ayah sama sekali enggak datang ke rumah sakit," sahutnya lalu menaikkan sebelah alis.
"Alta ...," lirih Aila dan membuat si empu nama menoleh.
Dia menggeleng dengan mengerutkan dahi, seolah mengatakan bahwa perilaku pemuda itu tidak benar kepada orang yang mereka hadapi sekarang.
Usai mengembuskan napas, Alta mengalihkan pandang dari gadis berlesung pipi. Dia menatap wajah paruh baya di sana setelah mengusap wajah kasar. "Saya mau istirahat sekarang, apa kalian berdua bisa saya tinggal?" pamitnya, bangun dan pergi dari sana, berjalan menuju tangga pada balik rak yang menjadi sekat ruangan tersebut.
Aila menelan ludah berat, merasa atmosfer di sana berubah, terlebih lagi tidak pernah mendapati wajah menyeramkan Alta seperti beberapa saat lalu. Bagaimanapun senyum manis pemuda itu selalu terlihat setiap mereka bertemu, tetapi hari ini ada yang aneh. Sesuatu yang asing berhasil didapati si pemilik dimple dari sosok tinggi bernetra cokelat tersebut.
"Kamu ...."
Suara itu membuat Aila menoleh ke depan, memandang sang pria paruh baya di sana lalu membuka mulut sebentar. "Aila, Om. Nama saya Aila," ucapnya dan tersenyum tipis.
"Pacar anak saya?" terka sang lawan bicara yang membuat Aila menggeleng dengan kedua tangan bergerak seirama.
"Saya pikir pacar Alta, kamu bisa dapat yang jauh lebih baik dari dia," ledek pria paruh baya itu dan tertawa pelan pada akhir kalimatnya.
Aila menggaruk belakang telinga, ikut terkikik lalu tersenyum manis. Dia sempat berpikir, ayah Alta jauh lebih menyeramkan, ternyata tidak juga. Beliau orang yang baik, ramah, dan ... sedikit mirip dengan si putra sulung, mungkin?
"Maaf, kalo Alta kelihatan seram begitu, ya?" tambah pria paruh baya itu.
"Enggak masalah, Om. Saya memang sedikit terkejut karena enggak seperti biasa. Saya enggak pernah lihat Alta marah sebelumnya," sahut Aila sambil mengapit ujung tangan dengan lutut.
"Hm, dia begitu semenjak ibunya meninggal. Mungkin dia masih marah sama om." Ayah Alta tersenyum, sangat tipis, tetapi bisa di dapati si lawan bicara sendu pada netra itu.
Aila bungkam sejenak, mengangguk pelan, kemudian berujar, "Hm, bunda saya pernah bilang, ada dua kata ajaib di dunia ini, Om. Makasih dan maaf, mungkin Om bisa pake salah satu atau keduanya?"
Bunyi bantingan buku pada meja berhasil membuyarkan lamunan Aila, bahkan tersentak hebat dan membuka netra mendadak. Dia melirik sedikit ke atas, menatap pendatang yang hampir membuat jantung jatuh hingga ke lambung.
"Kamu saya cariin dari tadi," keluh orang itu dan duduk pada bangku sebelah Aila.
Si pemilik dimple menghela napas, membetulkan posisi jadi duduk tegak lalu menumpang dagu dengan siku ke meja. "Aku lagi mau sendiri, Alta" ujarnya singkat.
"Tapi saya mau berdua sama kamu," sahut Alta dengan menyentuh punggung tangan si lawan bicara dengan telunjuk.
Setelah menjauhkan tangan Alta dari punggung tangan, Aila melepaskan tumpang dagu. Dia menatap sosok di hadapannya kini dalam diam, membuat si pemilik gingsul sedikit memiringkan kepala heran.
"Kamu jangan lihatin saya terus, entar suka loh!" ucap Alta dan menekan dahi Aila dengan pena yang ada di meja.
Aila meringis, menepis lengan besar itu agar menjauhkan benda pada kening. Dia berdecih sebal lalu sibuk dengan buku tebal tentang lukisan di sana lagi.
Bibir Alta merosot, merasa tidak diacuhkan padahal hampir sepuluh menit dia mengelilingi koridor agar bertemu dengan si pemilik lesung pipi pada jam istirahat.
"Aila, kamu marah sama saya?" Alta meletakkan sisi wajah pada meja, memandang wajah Aila dari bawah lalu berkedip beberapa kali.
"Enggak."
Alta meringis pelan, menggeleng lalu mendaratkan tangan yang menjadi bantal ke buku yang dibaca Aila. Dia ingin mendapatkan atensi penuh dari si pemilik lesung pipi, bagaimanapun caranya.
"Kenapa, sih?" tanya si pemilik dimple dengan menautkan alis.
"Kamu yang kenapa? Saya dicuekin terus, saya ada salah, ya?" Alta membetulkan posisi duduk, menutup buku di sana lalu mengambilnya agar tidak bisa dijangkau oleh Aila.
Usai menghela napas, Aila menyelipkan helai rambut yang tidak terikat ke belakang telinga. Dia meniup udara dari bibir bawah, membuat poni terbang sekejap, menampakkan dahi mulus itu.
"Alta, sebenarnya apa yang kamu sembunyikan tentang kehidupan kamu?" tanya Aila serius, bahkan terlihat kedua alis naik.
"Aila, kamu enggak perlu tau apa pun tentang itu," jawab Alta dan tertawa kecil pada akhir kalimat.
"Kamu bilang aku rasi yang luas bagi kamu, 'kan?" Pernyataan itu dijawab anggukan oleh si pemilik gingsul.
"Kalo gitu, aku mau kamu cerita masalah kamu sama aku, Alta. Sama seperti aku yang cerita semua tentang aku ke kamu," tambah Aila dengan intonasi rendah.
Meski sedikit tersentak awalnya, Alta berusaha menetralkan mata yang sempat membola lalu kembali saat mata si lawan bicara tampak begitu serius. Dia tersenyum, kemudian berkata, "Aila, terima kasih."
.
.
Jangan lupa tinggalkan jejak manteman! Calangeo UwU UwU 😗♥️
.
.
Share dan follow juga yaaaak❤️❤️
![](https://img.wattpad.com/cover/264229325-288-k819450.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
To Be Your Starlight [Terbit✓]
Novela JuvenilJangan lupa follow ya manteman, untuk menghargai penulis UwU, calangeo penuh cinta 😗♥️ . . . Hampir satu tahun Aila menyukai Langit, kakak kelasnya. Ia pikir, tidak akan ada yang sadar. Namun, ternyata dugaan tersebut salah. Alta, teman satu klubny...