Ayo, Cari Tempat Tinggal

47 24 22
                                    

Ujian kenaikan kelas sudah berakhir, nilai telah dibagikan, dan sekolah pun libur. Terlihat seorang pemuda tengah duduk di depan layar komputer pada bilik warung internet. Jemari itu bergerak cepat, dahi berkerut hingga beberapa umpatan keluar ketika tembakan mengenai karakter yang dimainkan.

Dia membuka topi, menampakkan rambut pendek ikalnya sebab gerah mulai terasa. Sedikit pemuda tersebut melirik ke kiri, tempat sang teman bermain duduk. Decihan keluar bersama dengan bunyi kekalahan pada komputer personal yang ada.

"Alta, kamu lagi ada masalah? Kalo iya, mendingan pulang, jangan gangguin aku main sampe kalah gini!" keluhnya setelah memutar kursi untuk menghadap si lawan bicara.

"Saya lagi patah hati, Zidan," sahut Alta tanpa mengalihkan atensi dari monitor.

Pemuda berambut ikal menatap datar, menghela napas sedikit kuat hingga terdengar udara keluar dari hidung. Dia diam, kemudian kembali membetulkan posisi kursi untuk menghadap komputer yang masih menampilkan gim beberapa saat lalu.

"Kamu enggak mau tanya gitu saya kenapa, Zidan?" Alta mendorong kursi ke belakang, membiarkan kaki terulur ke depan dan menengadah sambil menatap langit-langit ruang, menampakkan kegalauan seperti tokoh utama yang tersakiti begitu dalam.

Zidan melirik sekilas lalu asik dengan monitor di sana lagi, bahkan tangan bergerak bebas di papan pengetik serta mouse, kemudian berkata, "Aku pikir masalah kamu pasti sama Aila. Perasaan enggak kelar-kelar, deh! Kali ini apa lagi?"

Embusan terdengar dari si pemilik gingsul. Bahu tegap itu naik dan turun bersamaan bibir yang merosot. Dia menoleh, memandang Zidan yang terlihat tidak peduli sama sekali.

"Dia minta saya jauhin," jawabnya lalu kembali mendekatkan kursi dengan meja, tempat komputer berada.

"Oh ...," balas Zidan singkat.

Alta mendesah pelan, terasa sia-sia rasanya curhat dengan Zidan, bukan mendapatkan solusi, tetapi malah membuat darah naik saja. Dia membaringkan kepala di atas meja, meraih ponsel dan menatap layar sebentar lalu memandang foto Aila di galeri. Sambil terus menatap senyum cantik itu, pikiran terus mengulang kembali pertemuannya dengan si pemilik lesung pipi.

Tepat pada hari pembagian hasil belajar, Alta bertemu dengan Aila di belakang gedung sekolah. Pada awalnya, pemuda tersebut berpikir ada sesuatu yang cukup mendebarkan hingga gadis itu menunggu di depan kelas, bahkan langsung menarik cukup kuat agar ikut ke tempat mereka sekarang.

"Aku mau kita menjauh," ujar Aila lalu menggigit bibir bawah.

Alta mengernyit, kemudian tertawa pelan. "Kalo mau ngerjain saya jangan kayak gini," ujarnya dan berusaha meraih tangan si lawan bicara.

"Enggak, ini serius, Alta ...," lirih Aila sambil menjauhkan tangan, kemudian memeluk laporan nilai depan dada.

"Saya enggak ngerti, Aila. Apa saya ada salah? Kita bisa bicarain ini," ucap si pemilik gingsul lalu berjalan mendekat.

Aila mundur, membuang pandangan ke seluruh arah asal tidak bertemu dengan Alta. Dia menggeleng sebagai jawaban, tidak ingin sang lawan bicara salah paham dengan ucapannya beberapa saat lalu.

"Kalo bukan karena itu, jadi apa?" Alta menunduk, menatap Aila yang masih belum membalas pandangan.

"Lihat saya, Aila ...," lirihnya lagi, memegang pundak Aila lalu membungkuk agar tubuh setara dengan si pemilik nama.

"Aila ... kalo kamu enggak bicara, saya enggak tau salah saya. Tapi, kalo kamu emang mau saya berhenti buat kamu jatuh cinta, saya akan berhenti," ucap Alta pelan.

Pemuda itu kembali berdiri tegak, mengelus puncak Aila sebentar lalu pergi dari sana, meninggalkan gadis berlesung pipi begitu saja. Dia melangkah pelan, tetapi tampak jelas bahu tegap itu merosot.

Getaran ponsel membuat lamunan Alta buyar. Dia berkedip erat sekejap, kemudian melotot saat nama kontak di sana terlihat. Si pemilik gingsul berdiri mendadak, bahkan pemuda di sebelahnya hampir tersentak.

Alta menggenggam erat ponsel, menatap layar seolah tidak percaya jika Aila menelponnya malam ini. Segera pemuda itu berjalan menjauh dan keluar dari sana.

"Alta! Bayar dulu!" teriak Zidan sambil menatap punggung si teman sekelas.

***
Alta meremas jari sambil memandang jalanan setapak taman pada komplek perumahan. Dia menengadah, melihat langit lalu tersenyum lebar. Setelah menolak panggilan Aila, si pemilik gingsul mendapatkan pesan dari orang sama. Gadis berlesung pipi memintanya untuk datang ke sana tanpa mengatakan alasan apa pun.

Suara langkah kaki mendekat mulai terdengar, Alta menoleh ke samping. Tampak yang ditunggu datang dengan napas terengah-engah. Netra cokelat itu membola, mendapati si cantik berkeringat hebat, ditambah membawa ransel besar.

Alta berdiri, mendekat lalu mengelap peluh yang mengalir di paras Aila dengan lengan baju panjangnya. Dia menyelipkan beberapa helai rambut Aila yang tidak terikat ke belakang telinga agar bisa menatap jelas wajah cantik di sana.

"Alta, maafin aku untuk beberapa hari lalu." Kalimat itu yang keluar pertama kali ketika mata Aila bertemu dengan Alta.

Si pemilik gingsul berkedip beberapa kali, menggeleng pelan lalu meniup dahi Aila hingga poni terangkat. "Kamu jangan bicara dulu, masih keringatan gini juga, saya enggak mau kamu makin capek," ujarnya sambil meraih ransel Aila untuk dibawa.

Alta menarik pergelangan Aila, mengajak duduk di kursi panjang yang sempat ditempati. Dia meletakkan ransel ke pangkuan, menoleh ke samping dengan sedikit merendahkan leher agar dapat menatap wajah si pemilik dimple.

"Aku ... aku kabur dari rumah," ucap Aila yang membuat Alta melotot.

"Kenapa kamu kabur dari rumah?" Pemuda bergingsul menaikkan kedua alis, mengulum bibir lalu meringis di akhir kalimatnya.

"Aku ... aku ...."

Alta menghela napas, terpejam sebentar lalu mengelus rambut si lawan bicara pelan ketika melihat Aila memilin ibu jari pada pangkuan.

"Kamu bisa cerita nanti. Sekarang, apa yang bisa saya bantu untuk kamu?" tanyanya yang membuat Aila menoleh.

"Ayo, cari tempat tinggal," jawab Aila dengan mengerutkan kening hingga alis merosot.

"Kamu mau ajak saya kawin lari?" Alta tertawa sejenak, tetapi kembali diam ketika mendapati tatapan sinis Aila.

"Saya akan bantu kalo kamu cerita semuanya, Aila. Bawa anak gadis orang bukan suatu hal yang bisa dibenerin meski dia sendiri yang minta," tambahnya lagi.

Pemuda itu berdiri, jongkok tepat di depan Aila dan membuka sendal yang dikenakan gadis itu. "Kamu lewat mana tadi? Kaki kamu kotor banget," ucapnya dan mengelap jemari mungil di sana dengan lengan baju.

Aila menunduk, menatap Alta yang sibuk membersihkan kakinya dengan meletakkan ke atas dengkul pemuda tersebut. Dia mengulum bibir bawah, kemudian menghela napas, terasa sesuatu berbeda dalam dada sekarang. Namun, si pemilik lesung pipi pun tidak tahu apa maksud debaran yang kini memenuhi tubuh hingga panas menjalar ke leher serta telinga.

.
.
Jangan lupa tinggalkan jejak manteman!!!! 😗❤️❤️
.
.
Follow dan bantu share juga yaaaak!!!

To Be Your Starlight [Terbit✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang