Pada balik tembok sebuah toko bunga, Aila bersembunyi, menyembulkan kepala lalu menggunakan teropong untuk melihat seperti mata-mata. Tidak hanya gadis itu, tetapi tepat di belakang sana ada Alta, memegang bahu si pemilik dimple agar bisa ikut menyaksikan seseorang dari tempat mereka berada.
Alta menepuk bahu Aila pelan. Seolah mengerti, gadis itu memberikan teropong ke atas. "Aila, kamu kenapa bawa teropong ini?" tanyanya dan langsung berdiri tegak, menjauh dari si lawan bicara.
Mendengar pertanyaan tersebut, Aila mengernyit, berbalik dan melupakan tentang orang yang tengah diamati. Dia menaikkan alis, kemudian berkata, "Ya ... karena kamu bilang kita butuh teropong jadi aku beli itu."
Alta mengembuskan napas lelah, menggeleng lalu memberikan kembali benda yang dipegang. "Aila, ini teropong mainan. Yang bisa dilihat cuma kebun binatang, pantai, dan pemandangan lain," keluhnya, kemudian menekan kepala si lawan bicara dengan tangan kanan.
Sambil berdecih, Aila mengusap rambut yang sengaja digerai, merasa berantakan karena ulah Alta. Si pemilik lesung pipi mengerucutkan bibir, mundur lalu mengambil ancang-ancang untuk membalas perlakuan pemuda di depannya.
Melihat tingkah Aila, si pemilik gingsul tertawa. Dia melengkungkan bibir ke bawah dan mengangguk. "Jangan loncat, kamu enggak sampe nanti malah jatuh-akh!"
Larangan Alta berubah menjadi rintihan, sia-sia karena Aila sudah lebih dulu melakukan hal yang diucapkannya. Rambut hitam itu telah ditarik oleh gadis ber-dimple sampai sang empu menekuk lutut, bahkan teropong mainan pun terlempar entah ke mana.
"Aila, udah. Kalo nanti saya enggak sengaja cium kamu karena ditarik terus, gimana?" Alta meraih pergelangan Aila, menarik agar terlepas dari rambut. Dia tersenyum tipis, meletakkan jemari lentik itu ke kerah. "Nih, kalo mau tarik yang ini aja, saya enggak akan sakit dan bisa lebih dekat kamu juga," tambahnya, kemudian melebarkan bibir sampai gingsul terlihat.
Decihan keluar dari bibir Aila. Dia mundur beberapa langkah, tetapi tersentak ketika punggung mengenai sesuatu yang keras. Segera gadis itu berbalik, melihat orang di sana. Mulut si pemilik lesung pipi terbuka, kemudian menutup erat dan melihat Alta yang kini di sampingnya.
"Kalian ngapain di sini?" tanya si pendatang dengan melipat kedua tangan depan dada.
Alta memandang segala arah, kemudian menatap Aila yang sejak tadi melihatnya. Dia menjilat bibir pelan, mengangkat tangan lalu merangkul bahu si pemilik lesung pipi sampai merapat dengan tubuh.
Sedikit berkerut kening Aila, kemudian dia menengadah ke samping tempat Alta berada. Dia menaikkan alis, meminta penjelasan atas sikap yang mendadak tersebut.
Sebagai balasan dari tatapan itu, Alta tersenyum tipis mengedipkan sebelah mata ke Aila. "Saya lagi jalan sama Aila," ujarnya lalu kembali memandang Zidan.
Aila melotot, hendak melepaskan rangkulan dengan mendorong pinggang Alta, tetapi usaha tersebut seolah sia-sia kala si pemilik gingsul mempererat lengan di bahunya.
"Kalian beneran pergi jalan, 'kan? Enggak lagi mata-matain aku sama—" Zidan mengulum bibir cepat, hampir mengatakan hal yang membuat wajah memerah.
Aila dan Alta berpandangan penuh makna, alis mereka mengangkat beberapa kali ketika kembali melihat Zidan.
"Sama siapa?" tanya Aila masih memasang senyum menggoda dan memainkan jari besar Alta yang ada di bahu.
Alta bersiul dua kali lalu berujar, "Ada yang mau janjian, nih!"
Usai mengembuskan napas, Zidan menggaruk tengkuk. Dia membuang pandangan kembali ke tempat janji temu berlangsung sore ini. Pemuda berambut ikal tersentak saat Alta meniup telinganya, membuat berbalik dan mendorong si pemilik gingsul yang sudah melepaskan rangkulan dari Aila itu menjauh.
KAMU SEDANG MEMBACA
To Be Your Starlight [Terbit✓]
Teen FictionJangan lupa follow ya manteman, untuk menghargai penulis UwU, calangeo penuh cinta 😗♥️ . . . Hampir satu tahun Aila menyukai Langit, kakak kelasnya. Ia pikir, tidak akan ada yang sadar. Namun, ternyata dugaan tersebut salah. Alta, teman satu klubny...