Aila berdiri di depan bangunan rumah Alta sekarang. Hari ini pemuda itu tidak masuk sekolah, tentu saja membuatnya ingin tahu mengenai alasan tersebut. Mengingat sudah satu minggu, tahun ajaran baru dimulai.
Setelah menghela napas sebab lelah mendorong pagar besar rumah itu, Aila mengangkat tangan, menekan bel dan tidak lama terdengar suara kunci diputar dari dalam.
"Alta!" pekiknya saat melihat wajah pucat dari sang pembuka pintu.
Si pemilik nama berkedip pelan beberapa kali lalu menepuk pipi sedikit kuat. "Saya pasti mimpi lihat Aila lagi," gumam Alta dan hendak menutup kembali apa yang tengah dibuka.
"Eh! Ini beneran aku," ujar Aila dengan menahan daun pintu.
Tampak Alta berhenti, mendorong kembali kenop lalu menatap wajah di hadapannya dengan memicingkan mata. Dia menggeleng pelan, kemudian berkata, "Apa rasa es krim kesukaan saya?"
"Aprikot," jawab Aila setelah berdecih. Bagaimanapun kedatangannya untuk menjenguk orang sakit, bukan bermain kuis yang sama sekali tidak menghasilkan hadiah apa pun.
"Saya masih enggak yakin ini Aila ...," lirih Alta pelan, nyaris tidak terdengar.
Dia membuka pintu lebar, mempersilahkan Aila masuk lalu kembali menutup dari dalam. Setelahnya, melihat sang tamu yang tampak sibuk meletakkan sepatu ke rak dan menyusun isi bungkusan yang dibawa ke atas meja ruang tamu.
Kala merasakan pergelangan disentuh, Aila berhenti, menengadah ke samping dan memandang netra cokelat si pemilik gingsul. Dia melotot ketika Alta membungkuk, mendekatkan wajah mereka hingga beberapa inci. Kemudian, bahu terasa berat karena pemuda itu meletakkan kepala di sana.
"Saya suka wangi kamu, Aila," bisik Alta dengan suara serak yang berhasil membuat wajah Aila memerah.
Aila mengulum bibir bersamaan tubuh yang menegang. Saat terasa embusan napas di leher, tangan dengan cepat bergerak lalu memegang bahu Alta dan mendorong agar pemuda itu berdiri tegak lagi.
"Ka-kamu harus istirahat!" titahnya berusaha untuk tidak melihat netra si lawan bicara.
Seakan hanya angin lalu, Alta tidak peduli dengan apa yang dikatakan Aila. Dia meraih tangan lentik di pundak itu dan menarik pelan. Sambil berjalan mendekat lagi, pemuda tersebut kembali merendahkan tubuh, menatap langsung tepat ke bola mata si pemilik lesung pipi.
Sangat perlahan, Alta meletakkan kembali kepala di tempat yang sebelumnya ia isi. "Saya pusing ...," lirihnya pelan kemudian berhasil membuat Aila hampir terhuyung karena sudah tidak sadarkan diri.
Aila melingkarkan tangan ke pinggang Alta, berusaha bergerak ke kanan, membawa tubuh tinggi itu ke sofa dan membaringkan secara perlahan. Namun, nasib sial menimpa si pemilik dimple. Ketika hendak meletakkan raga tidak bergerak tersebut, dia ikut terhempas hingga tubuh menindih orang sakit di sana.
Mata Aila membola, mendengar debaran jantung Alta yang berada tepat pada sisi wajah sekarang. Setelah berusaha sekuat tenaga, akhirnya dia bisa melepaskan tangan dari tubuh tinggi itu. Si pemilik lesung pipi mundur, mengipas muka dan meniup udara ke atas hingga poni terangkat.
"Kayaknya AC rumah Alta mati," gumamnya lalu beranjak dari sana, melangkah asal yang penting tidak berdekatan dengan si pemilik gingsul.
***
Alta mengerjapkan mata, menatap langit-langit ruang tamu dengan dahi berkerut. Ketika merasa sesuatu yang dingin pada kening, dia mengangkat sebelah tangan, meraih sapu tangan yang menjadi kompres pereda suhu tubuhnya itu.Saat hendak meregangkan otot, Alta terkejut ketika merasa tangan kiri sedikit kram. Dia menoleh ke samping, terlihat Aila tertidur dengan menjadikan telapaknya sebagai bantal. Tawa kecil terdengar dari si pemilik gingsul karena sempat mengira sosok cantik di sana tidak benar-benar ada beberapa saat lalu.
Setelah berhasil meraih tangan, perlahan Alta mengelus surai gelombang itu. Mulai dia duduk, menatap Aila dengan tersenyum tipis. Perlahan, pemuda tersebut merapikan helai rambut yang menutupi paras cantik si pemilik dimple.
"Udah bangun?" ujarnya pelan ketika melihat Aila sudah membuka mata.
Aila duduk tegak, menggosok mata lalu menguap pada detik selanjutnya. Gadis itu memajukan bibir karena masih merasa kantuk menghinggapi netra. Namun, mengingat orang yang sakit di hadapannya sekarang, dia segera meletakkan tangan ke dahi Alta.
"Kamu bisa periksa saya?" tanya Alta sambil menyisir rambut Aila yang kusut dengan jari.
"Udah mendingan daripada tadi. Kamu sakit tapi kenapa enggak kabarin aku?" balas si pemilik lesung pipi dengan menumpang wajah pada tepi sofa.
Alta terkikik pelan, menjauhkan tangan dari Surai gelombang itu, kemudian berujar, "Saya suka lihat kamu peduli gini."
Usai berdecih, Aila menggeleng, merasa sia-sia telah mengkhawatirkan sosok yang berhasil membuat jantungnya hampir meledak beberapa waktu lalu. Dia berdiri hendak beranjak dari sana, tetapi tertahan ketika pergelangan diraih Alta.
"Apa?" ujarnya dengan melihat sedikit ke bawah.
"Enggak apa-apa, saya cuma mau lihat kamu lebih lama aja," jawab Alta dengan tersenyum lebar.
Aila menutup mulut dengan punggung tangan yang bebas, terbatuk dengan deheman keras pada akhir. Segera dia menarik tangan lagi, kemudian membuang pandangan ke sembarang arah.
"Ak-aku udah buat bubur tadi, kamu pasti lapar. Aku panasin dulu," pamit Aila dan langsung berlari menjauh.
Jangan tanya dari mana dia tahu letak dapur. Karena sudah hampir dua jam Aila di sana, mengelilingi tiap ruang seperti maling, bahkan termasuk gudang pada belakang bangunan tersebut. Bisa dibayangkan sendiri bagaimana lelahnya sampai membuat gadis itu lelap di sebelah Alta.
Melihat tingkah gadis ber-dimple. Alta mengulum senyum, siapa pun juga tahu jika Aila sedang salah tingkah. Dia menurunkan kaki, memijat kening sambil menatap sapu tangan pada genggaman.
Suara sesuatu terbanting dari dapur membuat Alta melotot, langsung bangun tanpa mempedulikan pening yang memenuhi kepala. Dia berlari meski hampir jatuh karena kaki tidak sengaja terpeleset karpet berbulu pada bawah meja.
Setiba di tempat, Alta langsung mendekati Aila yang tengah memegang ibu jari dan telunjuk kanan. Dia meraih pergelangan mungil itu, tampak memerah seperti luka bakar ringan, beruntung tidak parah. Si pemilik gingsul menarik perlahan, membiarkan air dari wastafel mengenai kulit gadis ber-dimple.
"Masih sakit?" tanya Alta dan meniup luka pada tangan Aila.
Sambil menggeleng, si pemilik lesung pipi mengigit bibir, memperhatikan Alta yang sibuk berusaha membuat tangannya tidak lagi perih. Meski sesekali terdengar merintih, tetapi senyum terukir pelan tanpa sengaja pada wajah itu.
Aila menggeleng, membuang pandang karena sadar dengan tindakan bodoh yang baru saja dilakukan. Dia memegang dada dengan tangan yang bebas. Lagi, debaran kuat terdengar dari sana, bahkan gadis itu melirik Alta, takut pemuda tersebut mendengar detak tidak normal yang tengah terasa.
"Al!"
Panggilan dari ambang pintu dapur membuat si pemilik nama menoleh, tidak hanya dia, tetapi Aila juga terkejut sampai menarik tangan dari genggaman Alta.
.
.
.
Jangan lupa tinggalkan jejak manteman!! 😗😗😗❤️❤️❤️
.
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
To Be Your Starlight [Terbit✓]
Fiksi RemajaJangan lupa follow ya manteman, untuk menghargai penulis UwU, calangeo penuh cinta 😗♥️ . . . Hampir satu tahun Aila menyukai Langit, kakak kelasnya. Ia pikir, tidak akan ada yang sadar. Namun, ternyata dugaan tersebut salah. Alta, teman satu klubny...