Tapi Saya Lebih Suka Kamu Lagi

79 24 27
                                    

Suara deburan ombak terdengar beriringan air yang masuk ke kuku kaki seorang pemuda. Dia tertawa saat  orang yang datang bersamanya menolak untuk bergabung bermain pasir saat ditarik. Sosok itu berjongkok, membuat gundukan lalu meletakkan beberapa cangkang kerang yang ditemukan ke atas sana.

Terlihat sepatu di depan pasir yang ia bangun. Sosok itu menengadah, tersenyum lebar sampai gingsul terlihat jelas. "Aila, kamu enggak suka laut?" tanyanya lalu memungut kulit kerang yang ada di sekitar kaki si lawan bicara.

"Kalo kamu, Alta?" Aila balik bertanya, ikut jongkok, kemudian memeluk lutut.

"Saya?" Pertanyaan itu dijawab anggukan si pemilik dimple.

"Saya suka laut, tapi saya lebih suka kamu lagi," ujar Alta santai, berhasil membuat Aila memukul bahunya pelan.

Pemuda berambut legam tertawa, meraih pergelangan Aila sampai kotor karena sebelumnya asik mengaduk pasir basah. "Ini buat kamu," ucap Alta lalu menurunkan tangan bersamaan milik si lawan bicara.

Dia membuka kepalan Aila, meletakkan beberapa kulit kerang yang sempat dipungut ke sana lalu tersenyum saat bertemu pandang lagi dengan si pemilik rambut gelombang.

Aila mengerutkan kening, melihat benda di telapak lalu memandang pemuda di hadapannya. "Untuk apa?" tanya gadis itu dan terus menatap kulit kerang putih dan hitam tersebut.

"Simpan aja, anggap sebagai tanda kalo kita pernah ke sini," jawab Alta lalu berdiri.

Aila memajukan bibir, berpikir maksud dari pemberian Alta yang dianggap tidak begitu berharga itu. Namun, meski demikian, entah bagaimana tanpa sadar gadis ber-dimple menyimpan kulit kerang ke tas selempang yang dikenakan. Dia berdiri, menoleh ke kiri, tempat Alta berpijak sekarang.

Tampak rambut hitam pemuda itu berterbangan, bersamaan dengan baju kemeja yang sengaja dibuka kancing, menunjukkan kaus hitam polos di dalam sana. Alta membalas tatapan Aila, tersenyum lalu kembali melihat ke laut degan tangan masuk ke saku celana.

"Apa yang kamu lihat?" tanya Aila lalu berjalan mendekat, berdiri di sebelah si pemilik gingsul.

Alta menggeleng, menoleh ke kanan lalu berujar, "Saya lihat kamu sekarang."

Aila memicingkan mata, kemudian berdecih pelan. Meski begitu, senyum tipis terlukis di wajah cantik si pemilik lesung pipi itu. Hari ini, semua yang dikatakan Alta mampu membuat sesuatu dalam hatinya menghangat.

"Alta," panggil Aila dengan membalas pandangan orang yang dipanggil.

"Apa mimpi kamu?" tanyanya lagi lalu sedikit menengadah.

"Gimana sama kamu?" Alta mengubah posisi berdiri, kemudian mengelap tangan ke celana. "Apa mimpi kamu, Aila? Saya mau tau," tambahnya lalu merogoh saku.

"Aku ...." Aila menunduk, menatap pasir di sepatu putih sambil menggigit bibir bawah.

Alta mengerutkan kening, perkataan Aila yang tidak sampai selesai membuat tanya memenuhi otaknya sekarang. Ketika berhasil meraih karet gelang dalam saku, pemuda itu berjalan mendekat ke si lawan bicara. Mulai dia menelusupkan tangan dari atas bahu si pemilik dimple, kemudian meraih tiap helai rambut bergelombang tersebut.

Sambil menahan napas, Aila menaikkan bahu sekejap, terkejut dengan aksi Alta yang dianggap mendadak. Saat merasa mulai sesak, dia kembali menarik udara, dapat tercium wangi aroma Woody dari si pemilik gingsul, memberi kesan maskulin sekaligus lembut pada indera penghirup.

"Saya suka rambut kamu yang panjang. Tapi, kalo itu nutupi wajah kamu, saya jadi sedikit susah lihat kamu," komentar Alta lalu kembali menarik diri agar menjauh.

"Kamu enggak boleh main ikat rambut orang sembarangan kayak gitu, aku kaget!" balas Aila lalu berbalik, hendak pergi dari sana.

Suara tawa terdengar dari Alta. Dia melangkah beberapa kali, menarik pergelangan mungil Aila sampai sang empu kembali menatapnya. Pemuda itu membungkuk sedikit, menatap tepat ke netra legam si lawan bicara, kemudian berkata, "Saya ngelakuin ini cuma ke dua orang, adik saya dan kamu. Dan bagi saya, kalian berdua bukan orang lain, Aila."

Selepas mengembuskan napas, Aila menarik tangan pelan, mengalihkan pandang dengan sedikit memegang ikatan rambut yang dibuat si lawan bicara. Tidak buruk juga, mungkin itu yang ada di pikirannya, terlihat dari mulut yang sedikit melengkung ke bawah beriringan anggukan pelan.

"Jadi, apa mimpi kamu, Aila? Tadi kamu belum selesai tentang itu."

Lagi, Alta melontarkan pertanyaan yang sama, memandang si pemilik dimple meski tidak dibalas. Tampak Aila melihat ke depan, agak menengadah, menatap langit yang cantik dengan rona jingga di sana.

"Aku mau menjadi ...." Kalimat itu menggantung, si pemilik lesung pipi menutup mata dan meletakkan kedua tangan ke belakang. "Aku mau menjadi bebas, Alta. Memilih hal yang aku suka tanpa dipaksa, dibandingkan, dan diminta untuk jadi orang lain," tambahnya lalu masih terpejam, menikmati sang bayu yang bertiup sejuk.

"Kalo kamu, Alta? Apa mimpi kamu? Kamu juga belum jawab aku tadi," tanya Aila lalu membuka mata pelan.

Alta tersenyum tipis, membuka kemeja yang kenakan lalu berdiri di belakang Aila. "Mimpi saya, berhasil melihat kamu dengan semua mimpi kamu, Aila. Hanya itu," jawabnya dan menutup tubuh si lawan bicara dengan pakaian di tangan.

Sedikit tersentak Aila, hari ini sepertinya Alta berhasil melakukan beberapa hal yang membuat gadis itu terkejut. Dia maju selangkah, menoleh cepat ke belakang lalu mundur. Namun, akibat ada batu yang berada di sana, si pemilik lesung pipi terhuyung, kemudian terjatuh dengan menarik tangan besar Alta yang hendak menolongnya.

Aila menutup mata erat, takut belakang kepala mengenai sesuatu yang tajam. Namun, ketika membuka netra, yang didapati oleh si pemilik lesung pipi adalah Alta, menumpang bobot tubuh dengan sebelah siku dan tangan yang bebas menjadi bantalan untuk gadis berambut gelombang.

Kerut terlihat di kening Alta, bahkan hidung serta bibir ikut naik. "Ap-apa saya udah bisa tarik tangan?" tanyanya dan langsung membuat Aila berkedip beberapa kali lalu mengangguk.

Alta berbaring ke samping Aila, terasa lembab belakang tubuh karena air dari pasir yang basah masuk ke sana. Dia menarik napas memburu, tampak bahu tegap itu naik turun bersamaan dengan mata yang ditutup erat lalu dibuka lagi.

Ketika melihat tangan terulur di hadapannya, Alta tersenyum, meraih jemari lentik itu dan berdiri saat ditarik sang empu. Dia membersihkan bokong serta rambut dengan menggosok perlahan.

"Kamu baik-baik aja, Aila?" tanya Alta dengan menangkup kedua pipi si lawan bicara.

Aila mengerutkan kening, merasa bau anyir sangat tercium jelas. Dia meraih tangan kiri Alta yang ada di sisi wajah. "Kamu berdarah!" pekiknya dan meringis pelan, seolah luka berada pada diri sendiri.

Sambil mengerutkan bibir, Alta menatap ke arah samping telapak tangan. Terlihat darah mengalir dari sana, kemudian si pemilik gingsul berujar, "Mungkin kena itu." Dia menoleh ke tempat menumpang sebelumnya, serpihan botol kaca kecil yang menyembul dari dalam pasir.

"Maaf karena udah tarik kamu ...," lirih Aila, masih terus memegang jemari besar Alta dengan sedikit melengkungkan bibir ke bawah.

Si pemilik gingsul hanya tertawa pelan, mengangkat tangan kanan dan mengelus pelan surai sedikit basah milik Aila. "Ini enggak sakit, saya pikir kalo kamu yang kena ini mungkin bakal lebih sakit. Bukan buat kamu, tapi saya," ujarnya, kemudian menepuk pelan puncak kepala gadis ber-dimple.

.
.
.
UwU UwU jangan lupa share, tinggalkan jejak dan follow yaaa!!! 😗♥️

.
.
Dialog mana yg paling kalian suka di chapter ini? Isi di kolom komentar ya gaes UwU

To Be Your Starlight [Terbit✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang