Beberapa minggu berlalu, Aila duduk di bangku depan kanvas pada ruang klub seni. Dia melirik ke samping, memperhatikan tempat yang sudah tidak terisi belakangan ini. Setelah kejadian Alta 'mundur', pemuda itu sangat jaranv terlihat di sana, bahkan saat si pemilik dimple belajar di perpustakaan, sosok tersebut sama sekali 'tak hadir, menganggu seperti biasanya.
Helaan napas terdengar, Aila menatap kanvas yang telah bertorehkan cat air itu. Menunjukkan pemandangan malam dengan lampu kota di bawah bukit dan dua orang berdiri bersebelahan dengan saling bertatapan, tersenyum penuh kehangatan.
"Karena ... saya berhenti, Aila."
Kalimat itu kembali mengulang di kepala si pemilik nama sampai tangan langsung meletakkan palet ke meja. Dia berdiri usai meminta ijin, kemudian keluar dari sana. Namun, tepat ketika hendak berbelok menuju kamar mandi di sebelah tempat klub, Aila dikejutkan dengan kehadiran seseorang tengah membeli minuman kaleng pada mesin yang berada tepat di samping ruangan.
"Alta ...," lirihnya nyaris tidak terdengar.
Si pemilik nama menoleh, sedikit melotot, tetapi berusaha memasang wajah netral. Dia membuang pandangan lagi dan hendak beranjak dari sana setelah mengambil minuman dengan berjongkok.
Melihat tingkah dari Alta, Aila diam, menggigit bibir lalu mengikuti langkah pemuda itu dengan sedikit berlari. "Tunggu!" teriaknya saat mereka berada di koridor laboratorium kimia.
Alta berhenti, tetapi tidak berbalik, seakan menunggu kalimat lagi yang hendak dikatakan oleh si pemilik lesung pipi. Namun, dirasa sudah cukup lama, dia pun berujar, "Saya sibuk, kalo enggak ada yang penting saya pamit."
Saat melangkah satu kali, Alta berhenti karena mendengar orang di belakang berlari. Dia berbalik, menatap gadis ber-dimple yang berjarak hanya beberapa meter saja dari tempatnya berdiri.
"Kenapa kamu menjauh dari aku, Alta? Apa kita enggak bisa berteman seperti dulu?" Aila meremas rok pada sisi paha, sangat takut dengan jawaban yang akan diberikan oleh si lawan bicara.
"Aila, saya pikir ada hal yang belum kamu pahami di sini," ucap Alta lalu mengeratkan pegangan pada minuman yang dibawa. "Saya enggak pernah mau berteman sama kamu, Aila. Sejak awal aja udah lihat kamu lebih dari itu. Berteman? Maaf, saya enggak bisa. Perjanjian yang saya buat udah berakhir sejak saya bilang mau berhenti. Tolong hargai keputusan saya ini, Aila. Gimana cara saya bisa pandang kamu cuma sebatas teman? Sedangkan misi yang saya buat adalah untuk buat kamu jatuh cinta ke saya?" Alta menarik napas dalam, bersamaan dengan cengkraman yang melunak.
"Aila, saya pikir lebih baik untuk enggak berkomunikasi sama kamu dulu. Biarin saya sendiri dengan perasaan saya, Aila. Setelah saya lupain itu, mungkin kita bisa mulai berteman, tapi enggak ada perjanjian untuk hal ini," tambah Alta dan langsung memutar arah, berjalan meninggalkan Aila begitu saja.
Gadis berlesung pipi diam, melepaskan remasan pada sisi rok lalu mengepal tangan erat. Dia berjongkok, menatap punggung Alta dengan sedikit kabur. Hingga ketika berkedip, satu bulir jatuh dari mata yang membuatnya sendiri terkejut. Secara kasar, Aila mengusap pipi, menunduk, kemudian menutup wajah dengan telapak saat tangisan pecah, memenuhi koridor yang sunyi.
***
Indah saling berpandangan dengan Zidan, kemudian kembali memandang Aila yang terlihat diam sejak tadi di sebelah gadis berambut sebahu. Sudah beberapa hari ini terjadi. Saat mereka melakukan aktivitas belajar bersama, si pemilik dimple tidak pernah fokus, kerap kali mengambil penggaris padahal membuat lingkaran menggunakan jangka, menulis rumus trapesium, sedangkan yang diminta soal luas balok."Kamu yakin dia baik-baik aja, Indah?" tanya Zidan dengan sedikit berbisik.
"Enggak, kayaknya abis nonton video 'anu' jadi terus terngiang-ngiang dan bikin gagal fokus," jawab Indah dan mengangguk.
"Tolong jangan berpikiran terlalu aktif," larang Zidan dan memukul kepala si lawan bicara dengan pena.
Mata Zidan teralihkan ke bangku sebelah Kayra, di sana juga tidak kunjung diisi oleh pemuda tinggi berambut hitam dengan iris cokelat. Helaan napas terdengar dari si pemilik bersurai ikal, mencoba memahami situasi yang telah terjadi.
"Aila." Panggilan dari gadis berambut lurus membuat ketiga orang di sana mengangkat pandangan.
Kayra melirik Indah dan Zidan, kemudian tersenyum tipis. "Aila, bisa kita bicara sebentar," pintanya setelah mengalihkan pandang ke si lawan bicara.
Zidan yang seolah mengerti, langsung melirik Indah, menarik tangan gadis itu agar segera berdiri mengikutinya. Dia menatap Kayra dan Aila, tersenyum tipis lalu membawa si pemilik rambut sebahu untuk keluar dari sana.
Setelah memperhatikan kepergian Zidan dan Indah, Aila memandang Kayra lagi, memainkan pena ke meja lalu bertanya, "Ada apa, Kayra?"
"Aila, makasih untuk bantuan kamu waktu itu," ucap Kayra dan tersenyum tipis.
Aila menghentikan pergerakan tangan, menggigit bibir pelan lalu mengangguk sebagai jawaban.
"Berkat kamu, aku bisa ungkapin perasaan aku ke Alta kemarin," tambah si pemilik rambut lurus.
Usai menelan ludah berat, Aila menunduk dan bergumam pelan. "Syukurlah," balasnya pelan, kemudian mengangkat wajah lagi dan tersenyum.
"Hm, itu semua berkat kamu, Aila. Tapi ...."
"Tapi apa?" Aila meremas jemari, menunggu kalimat yang sepertinya sengaja digantung oleh si lawan bicara.
"Tapi, hasilnya enggak sesuai harapan meski aku udah tau bakal dapat respon seperti apa," sahut Kayra dan menggaruk belakang telinga dengan telunjuk.
"Maksudnya?" Aila melepaskan jari, menghentikan remasan untuk penghilang gusarnya itu.
"Dia bilang, 'Maaf, Kayra ... saya mau jadi bintang paling terang untuk rasi yang luas. Dan rasi itu bukan kamu, tapi udah ada orang lain.'" Kayra menatap Aila lama menumpang dagu lalu tersenyum.
"Kamu tau siapa rasi itu, Aila?" tanyanya yang masih mendapatkan kebungkaman si lawan bicara.
"Dia bilang, kamu, Aila," tambah si pemilik rambut lurus lalu menjauhkan tangan dari dagu.
Kayra menunduk sebentar, melihat Aila dengan ekspresi yang sama, tampak melengkungkan bibir ke atas, tetapi sendu terpancar dari bola mata indahnya.
"Aila, ada satu pertanyaan di kepalaku sekarang."
Mendengar penuturan itu, Aila menjilat bibir pelan, menyahut dengan sedikit gumaman dan menatap tepat ke netra tersebut sambil menautkan kedua alis.
"Apa kamu punya perasaan yang sama dengan dia?"
.
.
Follow, share, dan jangan lupa tinggalkan jejak manteman, UwU UwU 😗♥️
.
.
![](https://img.wattpad.com/cover/264229325-288-k819450.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
To Be Your Starlight [Terbit✓]
Teen FictionJangan lupa follow ya manteman, untuk menghargai penulis UwU, calangeo penuh cinta 😗♥️ . . . Hampir satu tahun Aila menyukai Langit, kakak kelasnya. Ia pikir, tidak akan ada yang sadar. Namun, ternyata dugaan tersebut salah. Alta, teman satu klubny...