Sasrawarsa O6

644 77 5
                                    

Kang Minhee : Maharjuna Damarji Biantara (Mada)

––––

"Kemaren Sabtu lo jalan sama Langit."

Seketika pasang alis Caka menukik samar. "Gue?" Tunjuknya ke diri sendiri. Sambil menaruh gelas es teh.

"Gue nggak ada jalan bareng Langit sama sekali anjir. Gampang banget kowe asal nuduh." Kekeuhnya.

"Nggak usah bohong lo." Tegas Mahardika.

"Tumben, baru kali ini lo peduli lebih sama anak cewe. Biasanya juga cuek mentang-mentang gebetan lo seabrek." Cepat sadar, ya Caka, anda juga serumpun sama Dika.

"Dia adek gue."

Belum genap menyuapkan sesendok siomay ke dalam mulutnya, sepasang netra milik Caka melotot sempurna. "Sumpah edan! Kenapa lo baru kasih tau sekarang? Konco nggak, nih?"

"Sumpah bacot! Tinggal jawab jujur doang. Ribet."

"Gue udah jawab jujur kali."

"Bohong."

"Lama-lama gue panggil Dita aja, dah lo. Ngeyel buanget dadi arek lanang."

Tangan Dika segera bergerak merogoh saku celana, di genggaman terdapat benda persegi panjang berwarna hitam. "Terus ini siapa kalo bukan lo?" Tanyanya tepat didepan muka Recaka menuntut pengakuan.

Dari layar ponsel milik Dika memang gambar sosok pemuda yang tengah merangkul pundak sempit si Langit itu mirip dengan bayangan tubuhnya.

Tapi kalau ternyata sang pelaku yang tertuduh dan memang bukan dirinya sungguhan masa mau berkata 'iya'?

Seusai menelisik jeli setiap sudut gambar yang dimaksud dengan segera ia teringat akan sesuatu dengan bunyi cetikan jari seperti seorang detektif yang sudah menemukan pelaku tersangka.

"Aku ngerti sopo iki."

"Siapa?"

"Mada." Jawab Caka mantap.

Telinga Dika terasa cukup asing mendengar namanya. "Mada siapa lagi?"

"Adek sepupu gue, tuh!"

"Permisi kak?" Panjang umur.

"Nah! Lha iki arek band seng ganteng." Jawab Caka heboh sembari bersalaman khas pemuda dengan senyum merekah.

"Apa kabar lo? Ngilang mulu perasaan."

Mada tersenyum ragu-ragu, dalam hati gugup setengah mati. Bagaimana nggak menciut nyalinya kalau mendapat tatapan nyalang dari salah satu kawan kakak sepupunya ini. Sudah matanya sipit, tajam mirip sebilah samurai.

"Siang, kak." Sapanya lengkap dengan sedikit senyuman berniat mencairkan es batu Dika, tapi nyatanya sedikit kurang mempan.

Seusai Caka mempersilahkan sepupunya itu untuk duduk tepat disebelahnya yang masih sibuk menyendoki sisa siomay di piring hingga tersisa bumbunya saja.

Mada sesekali menunduk, takut bertemu pandang dengan seorang kakak senior yang masih memancarkan sinar mengerikan dari kedua matanya.

Selang beberapa menit Dika sudah cukup berdiam diri, sampailah pada waktu yang tepat langsung to the point. "Lo kenal Langit kelas sebelas MIPA satu? Harus jawab jujur." Benar-benar pemuda satu ini niatnya mengintrogasi cukup berapi-api. Mau merangkap jadi detektif Dika sepertinya.

Mada mengangguk samar sembari mendongak sedikit demi sedikit. "Iya, kak?"

"Lo pacaran sama dia?"

"Gue tinggal bayar dulu, takut gue lama-lama jadi penengah lo pada." Caka menyeletuk tiba-tiba, beranjak dan pergi dari sana.

Ruang TemuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang