Sasrawarsa 12

275 38 0
                                    

Lain dulu, lain sekarang. Bayu sempat terlempar ke masa lalu. Saat ia pertama kali jatuh hati pada seorang Rafadini. Potongan demi potongan kisahnya terangkai menjadi satu kesatuan cerita utuh kembali. Bagaimana Fadin yang sangat mengerti dengan kondisi keluarganya yang nyaris diujung jalan, tentang semua hal mengenai 'apa itu bahagia?' nyaris tak pernah luput dari kepalanya. Acap kali ia melirik ke arah si gadis menjadikan segalanya sangat sulit untuk dilupa. Meskipun mereka sudah 'melepas', namun cerita antara dia dan dirinya akan tetap tertulis dengan cara mereka sendiri. Sebuah ungkap 'selesai' tidak harus menjadi 'akhir' atas segalanya.

"Brengsek!"

Bayu meraup mukanya kasar, hingga helaian rambutnya turut berantakan seperti isi kepalanya sekarang.

Drrrt drrrt!

Getaran ponsel disamping lengannya mengguncang seluruh bidang meja. Dengan cepat tangannya terulur. Dilihatnya nama sang penelepon disana.

Mama.

Setelah beberapa sekon ia bergeming, memilih mengabaikan getar ponselnya kemudian dilemparlah benda persegi panjang tersebut tepat ke atas kasur dan menyembunyikan wajahnya pada lipatan tangan, berniat kembali menjelajah masa lalunya yang seakan tidak pernah selesai dengan mudah.

Tok tok!

Hingga bunyi ketukan pintu diluar sana menggema, selaras dengan suara halus yang menusuk telinga. "Mas Setya? Bapak kritis, mas."

Bayu bergeming. Mencerna sebuah kalimat yang diucapkan oleh mbak Warni, asisten rumah tangga kepercayaan keluarganya.

"Mas—"

Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, pintu kamar Bayu terbuka cukup lebar dan menampakkan sang empu dengan air muka gusar, bahkan kedua matanya sedikit memerah.

"Titip rumah dulu ya, mbak. Mau nyusul ayah." Pamitnya. Lantas tungkainya melangkah lebar lebar sembari menyambar kunci mobil di atas meja.

"Seng ati-ati nggeh, mas!" Peringat mbak Warni sebelum punggung Bayu benar-benar lenyap dibalik pintu.

——

Esoknya atmosfir di ruangan Sasrawarsa terasa sunyi senyap padahal seperti biasa seluruh pengurus hadir, terkecuali seseorang. Tepat setelah pulang sekolah pukul empat sore, mereka semua berkumpul di ruangan berwarna putih ini dengan suasana berkabung. Dengan kepala saling tunduk, diam, beberapa ada yang tengah berkelana bersama isi kepala.

"Ini uang dukanya langsung dianter ke rumah duka aja ya?" Suara Abimanyu menginterupsi.

"Yaudah sekalian kita melayat kesana." Balas Rahsa.

"Ini nggak ikut semua kan?" Tanya Kenes.

Abimanyu menggeleng. "Yang mau ikut gue siapa? Butuh lima sampai tujuh anak."

Dika mengawali dengan mengacungkan tangannya, disusul Daba, Rasi, Rahsa, dan yang terakhir ada Jingga.

"Aku boleh ikut nggak?" Celetuk Fadin pelan.

Dengan cepat poros kepala Putra menoleh kebelakang. "Mau ngapain lo?" Fadin merapatkan bibirnya seketika.

Genta yang tepat di kanannya pun menepuk, atau lebih pantas disebut memukul punggung Putra. "Lo kenapa gitu, sih? Biarin dong, namanya mau melayat ke rumah temennya juga." Sanggah gadis bersurai panjang tersebut.

Ruang TemuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang