"Jujur, gue lupa sama filosofinya Sasrawarsa." Lagi-lagi setelah upacara bendera, Abimanyu dan Dika menetap sementara di panggung budaya, sehingga dengan tak sengaja telinga mereka mendengar celetukan Sangga yang tengah duduk bersila sembari memutar mutar topinya di sela-sela jari.
Dika menghentikan pergerakannya yang semula membenahi untaian kabel berwarna merah. "Lo yang bener?"
Sangga mengernyit, "Gue inget cuma bagian seribu. Uang seribu?"
Abimanyu pikir hal ini bukanlah perkara yang mengejutkan, aneh, atau bahkan suatu hal besar. Wajar jika seseorang merasa lupa dan siapa pun yang sanggup menjawab hendaklah memberi ingat. "Sa, bukan berarti lo harus hafal penuh sama filosofinya, cukup aja lo ingat separuh makna nama yang udah kita bentuk bareng-bareng waktu itu. Kalau lo inget-inget lagi di setengah tahunnya kita ngejabat, udah tau seluk beluk angkatan sebelumnya yang lo ngerti juga bentuk konfliknya waktu itu gimana, tapi cukup niatin luka yang kemaren bakal sembuh dengan caranya sendiri-sendiri."
"Maksud kita pake nama Sasrawarsa nggak sepele, Sa. Kita maunya bisa selalu bareng, nggak mandang tinggi rendah seseorang, besar atau kecil, kaya atau miskin, sedih atau bahagia. Sasrawarsa udah dicetak sedemikian rupa buat saling merangkul satu sama lain bahkan sampek seribu tahun pun, ditambah lagi di tahun kita sekarang banyak peristiwa berlalu atau bahkan suatu yang baru muncul berkali-kali. Dan dari balik itu semua kita bisa mengingat lagi bahwa gimanapun kita dan dalam bentuk apapun diri kita doanya cuma bisa saling mengingat walaupun nggak pernah luput sama yang namanya luka." Penjelasan dari Abimanyu menjawab seluruh tanda tanya Sangga yang seolah ikut terhanyut dalam isi kepala.
Ia pun mengangguk mengerti. Dan disaat itulah ia paham mengapa banyak sekali yang mengagumi sosok Abimanyu ini. Andai saja Sangga menemukan mesin penukar raga maka akan ia pakai saat ini juga.
"Sangga bantuin sini balikin kabel, lo bawa kotak biru itu aja." Perintah Abimanyu sembari menunjuk sebuah kotak yang berisi berbagai perlengkapan upacara. Sangga segera beranjak sembari memasang topinya kemudian meraih kotak yang disebutkan dan menyusul Abimanyu di depannya.
"Lo mau langsung balik ke ruang OSIS?"
"Gue tunggu lo berdua aja tapi jangan lama-lama." Jawab Sangga dan mendapat acungan jempol Mahardika kemudian ia melenggang pergi.
"Cuma balikin kabel bukan mau kemah." Celetuk Abimanyu yang terlihat sudah kembali.
"Garing lo, Bim."
"Krupuk upil garing." Gelak si Nugraha.
Dika keluar sembari melirik jam tangannya, sedetik kemudian ia terbelalak. "Lah mati aku! Gue duluan jam pertama gue fisikanya Pak Mun." Setelah berujar demikian ia langsung berlari ke lain arah.
Abimanyu menggedikkan dagu sembari merangkul pundak Sangga dan dua pemuda tersebut berlalu darisana.
"Bim."
Abimanyu melirik, "Apa?"
"Gini gini lo belom punya pacar juga." Celetuk Sangga sembari mempererat tangannya pada sisi kotak yang dibawanya.
"Ada masalah dari situ?"
Sangga menggeleng, "Maksud gue nggak gitu, gue sering mergokin Langit curi curi pandang ke lo sambil senyam-senyum agak gila." Suaranya terdengar semakin mengecil di akhir.
Abimanyu terkekeh. "Oalah udah biasa, gue sama dia kenal dari jaman ingusan, kita cuma temen nggak lebih." Jelas Abimanyu singkat.
"Tapi apa yakin dari salah satunya nggak ada yang ngambil hati? Temen gue juga ada yang sahabatan dari kecil terus malah salah satunya baper karena kelamaan nempel mulu." Cerca Sangga lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ruang Temu
Romance°°°Segenap kisah sederhana dari barisan raga asal bumi pahlawan yang tengah mencari dimana letak jati diri sebenarnya; dengan berbekal secawan harap pun terselip semangkuk doa pada setiap ceritanya。。。 © javaveta2O21