Dalam rangka menyambut bulan ke-sepuluh, hangatnya dekapan sinar matahari yang enggan menguarkan cahayanya, seorang pemuda dengan setelan seragam sekolah lengkap sudah berdiri di depan kediaman Mahardika, alias sebuah rumah yang juga menjadi tempat pulang bagi gadis Wangun Sakta.
Sesekali rambut hitamnya bergerak samar diterpa sang bayu. Tatapannya meneduhkan siapapun yang beradu pandang. Kini sudut bibirnya mulai terangkat sempurna, sungguhan di dalam hati seorang Nawanglangit cukup bahagia. Kali ini penyebabnya bukan dari si Abimanyu, pemilik senyuman sabit itu,melainkan pemuda jangkung satu-satunya si adik kelas yang nyaris beberapa waktu ini berhasil mencuri perhatian Nawanglangit, sesekali namanya tersingkir sebab masih ada nama lain yang akan senantiasa bersemayam di hati.
Dilambainya tangan sebelah kanan pertanda sapaan sederhana. Dan sang empu yang baru menutup pintu turut membalasnya dengan senyum tak kalah merekah.
"Jadi naik bis lagi?" Tanya si pemuda.
"Iya. Udah pengen banget buka jendela terus dibius sama angin sepoi-sepoinya."
"Cuma pengen kena angin sepoi-sepoi sampai bela-belain berangkat pagi buta gini?"
Langit berpikir sejeda, dan menggeleng setelah itu. "Nggak cuma itu, sih. Gue capek kena asap truk dijalan."
Mada terkekeh. "Yuk?" Ajaknya sembari menawarkan sebelah tangannya, ya siapa mengira pengen ngajak gandengan?
"Anggap aja kita masih anak SMP yang lagi kasmaran." Ujarnya dan kemudian terkekeh kecil.
"Kasmaran apanya? Nggak usah sok romantis ya sama gue." Balas pemudi itu ketus, namun tetap menerima uluran tangan tersebut. "Cuma temen."
"Iya, cuma temen." Tutur Mada yang sarat akan makna.
Sesampainya di halte mereka menempati bangku yang tersedia. Di bagian kanan kiri sama sepinya, dan hal itu justru membuat si pemuda menyeletuk bersuara.
"Jaman sekarang udah jarang gue nemu penduduk kota naik angkutan umum. Mereka lebih milih buat bawa kendaraan pribadi. Padahal dari situ kita bisa meminimalisir adanya kemacetan di jalan, apalagi kalo pagi pagi gini. Jalan nggak akan serame dan sepadat ini."
Mada menunjuk kearah padatan kendaraan roda dua maupun roda empat yang sedang berhenti dibelakang palang kereta api yang belum dibuka. "Coba liat, bisa dijamin kalau nanti setengah palangnya udah di buka pasti banyak yang lomba-lomba maju paling depan." Dan benar setelah Langit memutar arah pandangnya apa yang diucap Mada terjadi seketika, biar cepat sampai tujuan, katanya. Kemudian netranya kembali memandangi wajah si pemuda yang masih sibuk mendeskripsikan tentang semua keribetan di kota Surabaya.
Kok jadi ajaib gini ya ini bocah. Otaknya nggak ketuker sama Caka kan?
Dalam sibuknya membatin sampai ia tak menyadari bahwa bus yang dinanti telah berhenti.
"Langit duluan."
Sontak jitakan ke kepala Mada dilayangkan. Sampai mengeluarkan bunyi, ttak!
"Heh bocah! Gue setahun lebih tua dari lo, inget itu!" Mada tertawa.
Langkah pertamanya menginjak dua buah anak tangga, netranya sibuk menelisik, sampai pandangannya jatuh pada kursi nomor empat dari belakang, sebut saja bangku paling istimewa yang tidak boleh tersentuh orang lain. Disusul Mada yang senantiasa mengekor di belakangnya.
Langit menepuk-nepuk kursi kosong disebelahnya, menyuruh Mada turut mengisi ruang kosong disana. Tetapi lagi-lagi si pemuda menolak. Ini sudah ke-tiga kalinya Mada menolak untuk duduk bersebelahan dengannya. "Lebih suka berdiri." Alasannya waktu terakhir kali menaiki bus bersama di bulan Juni, mau tak mau Langit sekedar mengangguk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ruang Temu
Romance°°°Segenap kisah sederhana dari barisan raga asal bumi pahlawan yang tengah mencari dimana letak jati diri sebenarnya; dengan berbekal secawan harap pun terselip semangkuk doa pada setiap ceritanya。。。 © javaveta2O21