Pendekar Bandar Angin

166 23 5
                                    


Sundang
Part 1
Pendekar Bandar Angin

Kaki Ki Japras menendang ke arah muka seorang pendekar muda berjambang tebal di depannya. Pedang yang teracung ke depannya meleset karena sudah diantisipasi dengan baik oleh Ki Japras. Hingga mereka kembali beradu pedang panjang berwarna hitam.

Suara besi beradu terdengar nyaring, suara teriakan masing-masing pendukung nyalang terdengar, tetapi tidak dengan diriku. Aku menatap kedua orang itu laksana menyaksikan peperangan maut. Dadaku berdebar, bibirku kugigit, kedua tanganku terangkat sambil terkepal. Kemudian, semua suara itu berhenti saat kedua pendekar di atas ring sama-sama menangkis serangan pedang dengan tangan kosong, berganti dengan ketegangan yang nampak di antara mata-mata para penonton.

Tidak seberapa lama setelah mereka saling mendorong dan menolak serangan, kedua pedang itu akhirnya retak, patah dan jatuh berserakan. Hanya dengan besarnya kekuatan tangan mereka.

Aku terkesima, mataku melotot tak percaya. Lalu, sorak sorai membahana, semua tangan penonton terangkat dan teriakan yel-yel penyemangat terdengar meriah.

Ki Japras tampak terkejut menatap lelaki sakti yang baru saja berduel dengannya itu. Bagaimana mungkin, dia sekarang memiliki lawan setangguh dirinya. Tak lama, Ki Japras terlihat tenang kembali kemudian menepi di pojok panggung dan memulihkan tenaganya kembali.

Menatap mataku yang ketahuan bersembunyi di belakang seorang lelaki tua di pinggir panggung, Ki Japras memanggilku dan melambai ke arahku.

"Sundang. Ke sini!" ucapnya yang kubaca dari gerak bibirnya.

Aku merangsek ke depan kerumunan, berjalan ke arah samping hingga tiba di dekat ring tempat Ki Japras duduk memulihkan tenaga.

"Iya, Ki." Aku berbisik.

"Kau lihat lawanku?"

Mataku bergerak menatap lelaki muda di pojok panggung yang lain.

"Dia sakti."

Aku mengangguk.

"Tenaga dalamnya besar." Ki Japras memandang seksama lawannya.

"Dia juga cerdik," lanjutnya menelisik.

"Tapi aku sudah tahu kelemahannya." Suara Ki Japras setenang gerakan pedangnya saat membelah daun tempo hari di padepokan.

"Doakan saja aku menang."

Aku mengangguk, mempercayai setiap kata yang dia ucapkan.

Tepat saat itulah bunyi dor terdengar. Babak kedua siap digelar.

Sebelum Ki Japras berjalan ke tengah arena aku bertanya padanya.

"Siapa nama pendekar itu, Ki? Tadi pembawa arena bahkan belum mengenalnya."

Ki Japras melirikku kemudian menyeringai.

"Pendekar Bandar Angin. Aku siap menghadapimu!" teriak Ki Japras kemudian melompat ke tengah arena. Dia tidak hanya menjawabku tetapi menjawab semua ketidaktahuan penonton laga tentang lawannya.

Pendekar Bandar Angin terkejut. Wajahnya seolah berkata bagaimana bisa ada yang mengenalinya. Dia ikut melompat ke tengah arena, tersenyum samar kemudian menyiapkan kuda-kuda.

"Bandar Angin memberi hormat kepada pendekar."

Bunyi dor berbunyi dan Pendekar Bandar Angin mengeluarkan cemeti dari balik bajunya. Cemeti itu mengayun ke arah Ki Japras yang sigap melompat dan menghindar. Menangkis serangannya dengan taktik lari dan lompat hingga kemudian Ki Japras menangkap ujung cambuk itu, menariknya dengan kuat hingga Pendekar Bandar Angin terangkat ke udara kemudian jatuh berdebum di tengah arena.

Pendekar Bandar Angin bangkit dengan cepat, tangannya mengangkat kembali cemetinya dan menyerang Ki Japras dari depan.

Ki Japras menangkis lecutan cemeti tetapi dia terjatuh, ujung cemeti mengenai dan melukai wajahnya. Ki Japras berteriak. Dia mulai membara.

Ki Japras meneriakkan suara auman dan menghimpun tenaga dalamnya. Dia dikuasai emosi. Sesuatu yang sudah kuhapal betul di luar kepala bahwa dia sedang terpancing amarahnya. Hatiku berdebar, takut Ki Japras terpancing taktik pendekar Bandar Angin. Bukan rahasia lagi bahwa inti pertarungan adalah ketenangan, jika ketenangan itu dirusak, maka kekalahan nyata di depan mata.

Benar saja. Pendekar Bandar Angin menyerang Ki Japras dengan cerdas sementara Ki Japras melawan penuh tenaga. Kekuatannya terkuras. Cemeti pendekar Bandar Angin mengenai dadanya, kemudian Ki Japras memegang cemeti itu dan menghancurkannya dengan tenaga dalam yang tersisa.

Cemeti itu meledak, terurai berkeping-keping. Dada Ki Japras terluka, dia tumbang setelahnya. Pendekar Bandar Angin berhasil mengalahkannya.

****

Riuh penonton terkejut karena tumbangnya Ki Japras, juara pencak dor kelas tarung bebas berkali-kali itu. Semua mata memandang ke arah pendekar Bandar Angin yang sudah duduk dengan tenang di pojok arena berusaha memulihkan tenaganya. Semua yang hadir ingin mengelu-elukannya tetapi tak tahu dia siapa dan dari padepokan mana. Beberapa orang naik ke pentas termasuk aku, mencoba menyadarkan Ki Japras. Seorang tetua padepokan berdiri dengan gagah di tengah arena kemudian mengumumkan bahwa Ki Japras telah kalah.

Bersama dengan empat orang lainnya, murid padepokan Ki Japras, kami menggotong tubuh Ki Japras turun. Dengan olah tenaga dalam kami yang belum seberapa, akhirnya Ki Japras berhasil disadarkan kembali. Napasnya terengah, terbatuk hingga kemudian dia terbangun. Kami riuh bergembira menyambut kesadarannya kembali sementara di sekeliling kami, riuh penonton menyemangati lawan tanding baru bagi pendekar Bandar Angin. Mata Ki Japras melirik sebentar sebelum tergolek lemah kembali.

"Katanya sudah tahu kelemahannya. Kenapa kalah?" tanyaku iseng sambil mencoba membantunya duduk.

"Tenagaku tak sekuat dulu, Ndang. Kecepatannya luar biasa. Aku sadar, yang tua harus merelakan turun tahta demi generasi baru." Ki Japras terdengar bijak, tetapi kilatan amarah di matanya tak dapat disembunyikan.

"Ya, sudah. Kita pulang. Pendekar lain akan antri mencoba ilmu kanuragannya." Aku merayu Ki Japras agar tidak lagi dengki dengan kekalahannya ini.

"Baiklah. Kali ini aku nurut, Kowe." Dia memegang tanganku yang memapahnya bangun kemudian berjalan pelan ke arah luar. Selama perjalanan menuju ke luar lokasi, aku melirik pertarungan pendekar Bandar Angin di atas arena. Dia bahkan bisa melompat naik ke pundak lawannya dan berdiri di atasnya. Kekuatan ringan tubuh dan tenaga dalamnya jelas luar biasa. Tiba-tiba aku teringat atasnya.

"Jalan fokus ke depan, jangan meleng." Ki Japras terdengar kesal mengingatkan.

"Hanya teringat gerakan Baba, Ki. Ki Japras juga ingat, kan?" Aku memperhatikan wajahnya. Meskipun dia tidak menampakkan ketertarikan atas kata-kataku tetapi sikap tubuhnya menunjukkan bahwa dia juga merasakan hal yang sama denganku.

Gerakan melompat ke pundak lawan kemudian berdiri di atasnya, tak semua pendekar bisa melakukannya. Pengendalian diri, tidak tergesa-gesa serta mengukur dengan tepat tinggi lompatan menjadi poin penting gerakan itu. Selain, tentu saja ilmu kanuragan yang tinggi dan tenaga dalam yang mumpuni.

Siapa dia sebenarnya? Si pendekar Bandar Angin?

Bersambung ❤️

SundangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang