Cemeti Sakti

15 2 2
                                    

Dari cerita Ibu aku bisa menyimpulkan bahwa kasih sayang Baba kepada Pendekar Bandar Angin dibalas dengan pengkhianatan. Karena hubungan mereka yang sudah sangat lama maka banyak dari tetua di kampungku juga mengenal Bandar Angin sekaligus cerita hubungannya dengan Baba yang telah menjadi rahasia umum.

Sebal dengan rasa kurang ajar Bandar Angin kepada Baba, akhirnya aku meluapkan semua kekesalanku di Sungai Seruja. Amarah yang tertahan kusalurkan untuk mengolah ajian Mematuk Kelabang yang belum sempurna.

Tiga kali gerakan yang sama. Kufokuskan pandangan kepada bebatuan tempatku akan mendarat setelah loncatan. Sudah kukumpulkan semua tenaga dalam. Pada saat kaki melompat dan terbang badanku terasa ringan tetapi setelah mendarat dan hampir menapak semua beban beratku tiba-tiba bertumpu jadi satu di atas lutut lalu beralih ke telapak kaki dan akhirnya aku goyah. Jatuh kembali tercebur ke dalam aliran air Sungai Seruja yang tenang.

Hari itu suhu air di sungai terasa dingin. Aku bergidik karena basah dan menggigil tidak seperti biasanya. Lalu, kuhirup napas dalam. Aku tahu ini semua salah. Dalam latihan jurus bela diri kita harus sepenuhnya fokus pada gerakan dan tujuan, bukan malah teringat akan dendam.

Ya, ketika aku hendak mendarat di atas batu yang kujadikan sasaran pendaratan, dada ini bergemuruh teringat akan pedihnya nasib Baba yang dikhianati murid sekaligus anak kepercayaan. Tercabik, dendam membara di dada. Aku terhempas oleh nafsu angkara. Lupa petuah Ki Japras.

"Ndang. Kosongkan pikiran. Mempelajari jurus baru itu harus seperti gelas kosong. Biarkan sedikit penuh, lalu tambahkan variasi. Jangan menerima dalam keadaan penat atau sumpek."

"Gerakanmu mungkin nyata tetapi nol tenaga, tidak ada kekuatan apapun."

Marah atas ketololanku sendiri, kutinju batu besar di samping tempatku biasa menaruh bubu ikan.

Aunch.

Batu itu hanya gropel sedikit, tetapi tanganku berdenyut dengan keras, kaku, dan bengkak.

Sundang. Dinginkan kepala. Hah!

***

Lama aku duduk dan terdiam di pinggir sungai Seruja, kubuka seragam silat padepokan dan melonggarkan sabuk yang dibuat Maga untukku. Mengambil sabuk itu menambah beban rinduku kepadanya.

Kau pergi ke mana, Maga?

Esok sekolah akan terasa sepi tanpamu.

Kupandang lekat bordiran itu lalu kuelus, kemudian kucium. Seperti merasakan bau harum rambutnya setelah mandi dan menungguku di pintu depan kos-kosan keluarganya hanya sekedar untuk memberikan kotak kecil berisi sepotong roti dan teh kemasan.

Jika aku ditakdirkan memiliki waktu panjang maka setelah penyelesaian urusan duel dengan Bandar Angin ini aku akan mencari keberadaan Maga.

Ketika hendak kulipat sabuk buatan Maga tiba-tiba aku memperhatikan sebuah bordir kecil di ujung namaku.

Serupa bunga teratai, kecil dan cantik.

Namun, bukan itu yang membuat mataku membulat. Tanda ini seperti pernah kulihat. Entah di mana.

Hilir mudik aku berjalan sepanjang tepian Sungai Seruja, membongkar memori ingatanku. Di mana aku merasa pernah melihatnya?

Akhirnya aku duduk bersila dan memusatkan pikiran.

Ki Japras bilang, "Pikiran jernih adalah inti hati. Hati yang terang mampu mencari jalan dalam kegelapan."

Baiklah. Tenangkan hati, Sundang. Berpikirlah, sibak satu persatu ingatan.

Menunggu. Aku melihat sejak awal pertama pertemuanku dengan Bandar Angin, lalu beberapa senjata yang dikeluarkannya termasuk pedang hitam yang sama dengan milik Ki Japras di mana saat mereka bertarung kedua pedang itu sama-sama patah.

Kemudian aku melihat pengikat kepala di dahi Bandar Angin, seperti ikat kepala biasa hanya sedikit usang. Baju yang dipakainya hanya kaos hitam polos dengan cetakan bekas keringat karena duel di arena. Celananya sama dengan celana pesilat lainnya. Karena dia tidak mewakili padepokan manapun maka sabuknya pun tidak memakai simbol apa-apa.

Lantas, di mana aku pernah melihat simbol teratai yang dibordir Maga di atas sabukku?

Aku menggaruk kepalaku. Frustasi. Sepertinya aku kurang latihan memusatkan perhatian dan pikiran. Biasanya otakku encer kalau mendengar Ibu Mariyam mengomel, encer karena cepat mendapatkan ide untuk melarikan diri.

Ah, apa yang harus kulakukan sekarang?

Lebih baik aku pulang. Membasuh tubuh, kaki, tangan, lalu tidur.

Bukankah tubuh yang rileks dan tenang akan mengalirkan ion tubuh positif lalu akan memperlancar ingatan? Kali ini aku berbicara sesuai dengan apa yang dikatakan ilmu pengetahuan dalam ilmu Biologi.

Baiklah. Kembali ke rumah. Siapkan jadwal esok hari. Masa cuti sekolahku telah selesai.

***

Aku melirik ke belakang beberapa kali sepanjang perjalanan ke rumah. Seperti ada yang mengikuti. Hawa tubuhnya terasa di udara. Entah ini makhluk tak kasat mata atau pendekar dengan tenaga dalam yang mumpuni, ada pancaran energinya yang bisa kurasakan.

Baiklah, aku tidak akan melakukan hal mencolok. Biar kuamati perlahan sambil jalan. Jika dia berniat mencelakaiku maka akan ada saat dia menyerang. Waspada menjadi jalanku.

Membawa bubu ikan yang sekali lagi kosong, aku berjalan dengan santai. Bayang-bayang dia yang mengikutiku di belakang sesekali dinampakkan oleh pendar cahaya rembulan yang memantul di dalam air.

Tenang.

Pelan-pelan.

Kuasai diri.

Kemudian aku menghitung dalam hati. Sebentar lagi sudah masuk wilayah ramai. Jika dia memang berniat menyerangku maka setelah inilah saatnya.

Benar dugaanku. Dua puluh langkah lagi memasuki area pemukiman sebuah cemeti bergerak di sampingku, nyaris mengenai daun telingaku jika saja aku kurang cepat menghindar ke samping kiri. Cemeti itu ... milik ... Bandar Angin.

Sial!

Aku melompat ke samping lalu membalik badan dan cemeti itu masih menyerangku lewat depan.

Sekali lagi aku berhasil menghindar, cemeti itu bergerak ke atas lalu lincah hendak membidik perutku. Aku melompat ke belakang. Sosok pembawa cemeti masih samar, gelap dan remang, hanya cahaya bulan yang bersinar.

Aku mengelak lagi, cemeti bergerak membabi buta, memecah bebatuan yang kuinjak. Tenaga dalamnya luar biasa, lalu aku bersembunyi di balik bambu yang rimbun yang masih saja diserang olehnya dengan gerakan lincah dan bertenaga. Satu kibasan cemeti merobohkan beberapa batang bambu yang berdekatan, membuat rontok semua dedaunannya.

Terkesiap, aku melompat lagi dan memanfaatkan bilah bambu sebagai penghalang serta penghalau serangan cemeti. Hingga pada satu titik aku berhasil mengunci gerakannya dengan memutar batang-batang bambu yang bisa kubuat sebagai penjepit cemeti dan membuat si empunya cemeti kewalahan menariknya.

Berbekal ilmu olah ringan tubuh aku bergerak ke atas pohon bambu dan menarik ujung atasnya lalu membawanya ke bawah untuk mengurung penyerang yang membawa cemeti itu. Berhasil memerangkapnya sebentar tetapi dia menangkis seranganku dengan tapak tangannya yang diarahkan kepadaku. Kami saling menyerang dengan telapak tangan, kurasakan tenaga dalamnya begitu kuat tetapi ada yang tertahan. Dia seperti tidak ingin melukaiku dengan ajian telapak tangannya padahal tenaganya begitu prima.

Melihatku bisa membacanya maka dia memutuskan kabur. Menutupi wajahnya dengan kain, tubuhnya sedikit berisi, tetapi lincah sekali menari diantara rimbunan bambu dan menghilang di keremangan malam.

Aku tidak mengejarnya. Dia seperti sedang mengujiku. Kuambil cemetinya yang tertinggal di bekas patahan bambu lalu ....

Benar. Aku ingat. Simbol yang kulihat di sabukku sama dengan yang kulihat di ujung pegangan cemeti milik Bandar Angin. Lalu, ini cemeti siapa? Tidak ada simbol teratainya.  Bukan milik Bandar Angin. Lalu, apa hubungan Maga dengan Bandar Angin? Kenapa ada dua simbol yang bisa sama?

SundangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang