Memasuki pekarangan rumah yang hanya memiliki panjang dua meter itu wajah sangar Ibu sudah nampak. Senyumnya nanggung, bibir nyengir tetapi mata melotot. Serem.
"Banyak buang waktu kau di sungai, hai, Anak Mariyam."
"Batal pula penuh ikan bubu yang kau tanam?" selidik Ibu. Bau bawang merah yang disangrai di dapur belakang tercium menusuk hidungku, belum apa-apa cacing di perutku berteriak lapar. Manalah ada ikan di tangan?
Aku ikut nyengir lalu mengangguk.
"Maafkan, Bu. Sundang gagal mempertahankan kejayaan."
"Kejayaan yang mana? Baba kau ajar cuma diam di pinggir kali." Kami saling berpandangan lalu tertawa bersamaan. Ibu benar-benar ingat semua kenanganku dengan Baba. Apa yang harus kupertahankan, tidak ada satupun ikan yang berhasil kutangkap.
"Ya sudah. Mandi sana. Wajah kotormu sudah bagai Jin Gebut dalam cerita Baba. Hitam, dekil, tidak enak dipandang. Mandilah pakai busa, dan bergegas ke surau. Wak Haji mau memberikan pengumuman."
Sambil berjalan ke kamar mandi aku berpikir tentang apa yang akan diumumkan Wak Haji, imam dan guru ngaji di surau dekat rumah.
"Bu, busanya mana?" usilku. Sudah berkali-kali ibu mengatakan sabun sebagai busa dan busa sebagai sabun. Benar-benar polos Ibu Mariyam ini.
"Kau goda Ibu sekali lagi, angkat bantal dan tidur kau sama Ki Japras."
Aku menyerah. Tawaku membahana di dalam kamar mandi kecil di belakang rumah yang hanya memiliki lobang angin-angin berjumlah dua, pintu rapat tertutup, kalau kentut dan bau maka kita di dalam menderita sendirian, saking sempitnya.
***
Rapi setelah mandi ibu memberikan satu rantang berisi sayur lodeh tahu dengan teri pedas dan nasi putih hangat kepadaku.
"Bawa buat Ki Japras. Hidupnya sudah nelangsa setelah kalah. Makan pun pasti jadi susah." Ibu mengulurkan rantang lalu kuambil uluran tangannya untuk kusalami.
"Siap! Bu!"
"Jangan lupa setelahnya singgah di surau. Sekalian kalau ketemu Saipul kau colek dia. Minta pinjam jadwal sekolah. Kamar kamu sudah macam kamar pendekar saja."
"Beruce Li, Brama Kumbara sampai poster Mak Lampir kau pajang tapi jadwal sekolah kau hilangkan."
"Ibu menyekolahkan kamu bukan buat jadi petarung. Noh, kalahkan Einstein dengan rumusnya. Dia aja bisa ngukur kecepatan cahaya."
Aku menghitung dalam hati hingga tiga kemudian lari tunggang langgang. Kalau Ibu Mariyam sudah berceloteh bakal kelar ketenanganku sebentar.
"Hey, Sundang. Jangan lupa juga mampir ke rumah Abah Syafri. Tanya, besok haul Baba kau mau dikemas kayak mana?" Kalimat terakhir Ibu membuatku berhenti di depan rumah. Tanganku menggenggam erat rantang di tangan. Aku sudah menduga kalau jawabannya bakal sama dengan yang dulu-dulu.
"Kau sudah anggap anakku mati! Hah!" katanya dulu.
***
Benar dugaan ibu Mariyam. Ki Japras makan dengan lahap setelah mengatakan bahwa dirinya kelaparan tapi tidak enak makan apapun. Untunglah Ibu memasakkan sayur lodeh kesukaannya ditambah teri pedas langsung menggugah selera makannya. Dia, bahkan memberiku sebuah hadiah. Katanya itu buku pusaka.
"Jurus mematuk Kelabang?" Aku mengernyit di depannya sambil mengangkat buku itu setinggi bahu.
"Betul."
"Kenapa jurusnya namanya lucu?" Aku masih tidak percaya dengan buku yang kupegang. Tidak misterius juga saat mendapatkannya. Barter dengan sayur lodeh? Benar-benar sakti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sundang
PertualanganSundang, pendekar muda sebuah padepokan silat berusaha mencari jejak ayahnya yang telah lama hilang. munculnya pendekar Bandar Angin seolah menjadi kunci pertama jalan Sundang untuk kembali meyakini bahwa ayahnya masih hidup. Beradu jurus, belajar t...