Pedang Hitam

16 1 0
                                    

"Allahu Robb. Sundang. Sudah dibilang kudu nempelin jadwal di kamar, kenapa malah nempelin foto Ellya Kadam? Lo bocah usia muda apa geng angkatan Ibu, sih?" Suara Ibu memecah kekhusyukanku tidur. Membuka mata sebentar kulihat jam di atas meja samping ranjang ternyata masih pukul lima pagi.

Suara Ibu Mariyam sudah menyahut sebelum alarm ponselku.

"Buk, masih pagi. Lima menit lagi, ya?"

"Apa? Subuh, Ndang. Subuh. Kau kata Subuh bisa nunggu ma menit? Iye kalau masih bernyawa."

Aku langsung melek. Mata terbuka lebar.

"Astaghfirullah, Bu. Doain anak kok sadis."

"Bukan gitu, Nang. Ibu ini orang yang paling setia doain kamu panjang umur. Tapi, kalau bab solat tuh, dengerin ucapan Wak Haji. Kudu nomor satu seolah esok kita mati."

Aku mengerjap kemudian mengangguk. "Ye dah. Sundang bangun." Meskipun malas. Sungguh. Aku kadang heran dengan mereka yang masih seusiaku dan bisa melaksanakan salat Subuh tanpa protes. Inilah definisi matang tidak selalu sesuai usia. Kadang yang tua pun banyak yang enggak dewasa begitupun sebaliknya, yang dewasa sebelum usia tua, banyak. Ah, kapan aku bisa lebih ikhlas melakukan salat Subuh seperti aku bisa lebih ikhlas ditinggalkan Maga.

Eit, ini bukan aple to aple perbandingannya tapi, sejauh ini itu yang kurasa.

Mata masih mengantuk berjalan ke kamar mandi luar rumah sungguh memerlukan tekad. Sebagai wilayah agak barat di bagian nusantara maka pukul lima pagi masih terasa gelap, matahari masih mengintip malu-malu.

Dahulu, aku masih ingat ketik Baba berceloteh tentang fajar kadzib dan fajar shodiq. Saat banyak orang terbangun karena kokok ayam biasanya mereka masih tertipu dengan fajar yang sebenarnya. "Ayam itu juga pernah ketipu fajar, Ndang. Mereka berkokok sebelum waktunya."

Aku mengangguk mendengar penjelasan Baba.

"Belum lagi manusia. Melihat sudah ada semburat merah sudah disangka masuk waktu imsak. Bagi yang berpuasa jelas ini mnyiksa. Puasanya jadi lebih panjang dan lebih awal."

Aku mengangguk lagi karena belum mengenal konsep puasa.

"Tapi ayam ini terkenal selektif kala mematuk makanan. Bagi ayam, pantang mematuk kotoran. Harus bergizi dan bermutu utama. Karena dalam mengolah makanan itu para induk ayam memperhatikan kualitas telur."

"Ingat, Ndang. Telur ayam yang goblok kagak kemakan."

Aku mengangguk lagi. Masih kecil. Dulu aku tidak memahami maksud ucapan Baba tetapi sekarang aku paham. Menjadi unggul harus sejak awal. Seperti halnya dalam ilmu bela diri, kuda-kuda dan tenaga dalam harus menjadi pondasi awal. Bukan mendewakan ilmu hitam.

Masih menurut ucapan Baba yang saat itu aku jawab dengan anggukan kepala tetapi sampai sekarang masih saja aku tidak memahami alasannya kenapa.

Baba bilang, "Dalam ilmu titen orang terdahulu menaruh kandang ayam di dapur itu bisa membawa keberuntungan."

Apa iya?

Kenapa bisa?

Ah, kenapa aku jadi mengingat masa lalu yang masih menyimpan misteri itu.

Tepat ketika aku berwudlu itulah seseorang terdengar melangkah di atas atap rumahku. Sial. Ini masih pagi, kenapa sudah ada orang yang ingin mencari perkara?

Ketika aku hendak menengok ke arah di mana aku mendengar langkah kaki itu seseorang tanpa bisa kucegah melesatkan sebuah senjata ke arahku. Refleks, cekatan dan cepat aku menghindar. Melompat sedikit lebih tinggi dari arah lesatan senjata itu sehingga bisa terlepas dari bahaya. Lalu senjata itu menancap di dahan kayu mahoni yang dibuat Baba untuk menyangga alat timba air dari sumur di halaman belakang rumah ini.

Sebuah pedang hitam legam, memendarkan cahaya dari sisa rembulan malam yang baru saja nampak setelah awan hitam tebal berarak menjauh dari sang bulan.

Ini ....

Pedang hitam yang sama dengan milik Ki Japras dan Pendekar Bandar Angin. Sebuah senjata kebanggaan Ki Japras yang sebelumnya kukira special, kepunyaan satu-satunya. Ternyata setelah duel di arena dengan Bandar Angin pedang yang sama disuguhkan oleh mereka dalam pertarungan lalu kedua pedang itu sama-sama pecah. Dan, sekarang ada lagi.

Aku mengendap ke kanan dan kiri waspada kalau saja masih ada serangan dadakan tetapi nihil. Aman. Situasi terkendali. Kutarik pedang hitam yang menancap itu lalu kuamati baik-baik lekukannya. Ada serupa lekukan sabit atau celurit di ujung, sengaja untuk melukai lawan, bukan model yang sama dengan milik Ki Japras meskipun sangat mirip, dan kutemukan sesuatu yang mengejutkan. Tanda bunga teratai samar, mirip dengan yang tercetak di sabukku juga di gagang cemeti milik Bandar Angin.

Kenapa bisa sama?

Baru saja aku hendak menelisik, suara Ibu Mariyam mengaburkan ide-ide detektifku.

"Sundang! Jangan karena malas salat Subuh kau mau mengakhiri hidup!"

Aku memandangi pedang itu sekali lagi lalu kulempar pedang ke samping. "Ogah! Buk!" teriakku.

"Ini pedang salah jurusan. Main nyelonong."

Wajah Ibu memucat ketika mendekati pedang itu. Dia menepuk pipiku memastikan kalau aku baik-baik saja.

"Mana orangnya yang menyerang. Semenjak duel sama Bandar bandar itu tak ada ketenangan di hidupmu, Ndang." Ibu memelukku lalu menciumi kepalaku membuatku menunduk ke bawah mendekati wajahnya.

"Kalau dia datang lagi, Ibu buat perhitungan." Ibu mengucap sumpah, mengambil pedang yang tergeletak di bawah lalu dengan sekali pukulan ke bibir sumur, pedang itu dihancurkan oleh Ibu, patah jadi dua.

"Kapok. Sukur!"

Aku mengangguk, ikut bahagia karena dilindungi oleh Ibu sedemikian rupa. Hingga aku terkejut ketika Ibu berteriak.

"Apaan, ntu, Ndang?"

Mataku ikut ke mana arah tangan Ibu menunjuk.

"Seperti sebuah surat rahasia?" tanyanya lagi.

Ibu mengambilnya lalu memekik heran ketika membukanya.

"Kurang ajar. Berani mengancam keluargaku. Hey, Kebo Gudel. Keluar, Kau. Kau kira aku tidak berani menghadapimu. Yang gentle. Pengecut sejak dulu kok dipelihara."

Aku terkejut dengan ucapan Ibu. Ke-bo gudel? Siapa itu?

Iseng akhirnya aku bertanya siapakah itu?

Ibu bilang ....

"Dia mantannya Ibu. Tak tahu orangnya di mana sekarang. Dulu dia mencintaiku meskipun aku memilih Babamu, tetapi cinta Ibu hanya untuk Baba dan kamu semata setelahnya." Aku mendengar pengakuan cintanya. Ah, Ibu Mariyam, romantis sekali.

"Itulah yang membuatnya sakit hati. Kemudian pergi."

"Kukira dia sudah  bahagia di sana, kenapa malah kembali lagi setelah bertahun-tahun lamanya?"

Aku menggeleng tidak bisa menebak apa motif kembalinya mantan Ibu.

"Satu yang enggak bisa Sundang pikir, Bu? Emang maaf-maaf to say ya gimana sih tampang mantan ibu waktu masih muda? Lalu wajah Ibu zaman dulu juga kayak gimana? Kok, sepertinya ibu ini kembang desa, ya?"

Sambil tersipu Ibu mencubit pipiku.

"Ya elah, Ndang. Ibu waktu muda udah kayak Himamalini, aktris India yang rupawan itu. Mantan Ibu yang ini juga sudah kayak Amir Khan. Tampan."

"Tampan mana sama Baba?"

"Yah, Babamu Shakhrukh Khan. Tampan banget." Jawaban Ibu membuatku tertawa terbahak-bahak.

Merasa aku tidak percaya dia membawaku ke kamarnya lalu membuka pintu lemari tua di dalam kamar itu. Ada satu fotonya memakai kerudung panjang dengan kebaya. Memang cantik. Mirip orang India perpaduan dengan Arab.

"Apa gue kate," sergahnya lalu menutup pintu lemari lagi tetapi sesuatu mengusik penglihatanku.

"Tunggu, Bu. Apa itu?"

SundangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang