Pepatah Lama

17 3 2
                                    

Aku sungguh terkejut kenapa Koh Ipah begitu kejam kepada putrinya sendiri. Bukankah selama ini Ibu sudah mengalah dengan kehidupan bergelimang kasih sayang anak-anak Koh Ipah lainnya?

Sungguh tega. Memisahkan Baba dan Ibu dengan cara adu domba seperti itu. Selain itu juga membuat Baba merasa malu karena melakukan hal tolol. Rasa malunya membuat Baba harus pergi.

Sungguh. Aku sebagai anak Baba dan Ibu merasa tidak terima dengan semua ini.

Mendengar titik terang dari Ki Japras inilah aku baru lega dan merasa membutuhkan penjelasan dari Ibu. Kenapa dia diam. Tidak cukup percayakah beliau kepadaku? Aku adalah anak lelaki satu-satunya. Kenapa dia tidak mau berbagi duka dan lukanya denganku?

Di balik cerewetnya, bawelnya, juga ocehannya kepadaku setiap hari, dia mengemas lukanya dengan rapat. Sendirian.

Berlari menuju rumah dari padepokan aku tidak menghiraukan malam yang sudah semakin pekat. Biarlah malam ini aku tidur memeluknya. Memeluk surgaku. Memeluk ridlo Tuhan dari ridlonya.

Jika aku dilarang menangis dan cengeng oleh manusia lain, maka oleh Ibuku aku dibolehkan selama tangisan itu adalah tangis penyesalan dan kesedihan.

Manusia tanpa tangisan akan menjadi kaku. Manusia tanpa air mata akan menjadi sombong luar biasa. Sebagai Ibu, Ibu Mariyam tidak ingin aku memiliki sifat seperti itu.

Begitu aku tiba di rumah, kuketuk pintu, kuuruk salam.

Ada suara tergopoh-gopoh membuka pintu dari dalam. Begitu melihatku ibu terkejut apalagi saat aku memeluknya dengan erat langsung tanpa aba-aba. Kemudian menciumi kedua tangannya.

"Ada apa, Ndang. Anak ibu?"

Aku masih bungkam. Malu dengan kenyataan bahwa aku sama sekali tidak mengenal ibuku sendiri selama ini.

"Hey, ada apa?"

Aku menyeka air mata lalu membawa ibu masuk ke dalam. Kututup pintu rumah lalu meminta Ibu duduk di ruang tamu kami yang berupa lesehan itu dengan karpet merah tipis tapi selalu harum karena dibersihkan ibu itu.

"Duduk, Bu. Kupijit kaki."

Ibu melongo.

Namun, beliau menurut.

"Ada apa?" tanyanya lagi saat tanganku memijat kakinya dengan lembut. Rasa maluku bertingkat-tingkat semoga Ibu bisa memaafkan semua kerewelanku.

Kemudian aku mengatakan padanya tentang apa yang barusan diceritakan Ki Japras.

"Jadi, ibu sudah tahu kalau Baba pergi karena malu?"

"Bukan karena meninggal?"

Beliau terkejut sebentar tetapi kemudian menata perasaan dan mimik wajahnya begitu tenang.

"Ibu tahu juga kalau semua ini ulah Koh Ipah?"

Ibu mengangguk juga.

"Ibu bahkan tahu semua itu tipu daya dan masih memberikan kesempatan kepada Bandar Angin tinggal di sini?"

"Betul. Karena demi agar Babamu tidak kehilangan kepercayaan dirinya. Dia ada di atas angin kala itu. Kau tahu, Sundang. Mereka yang sedang di atas angin akan lupa rasanya dikritik itu menyenangkan. Bagi mereka kritikan adalah rasa tidak suka dan itu bisa mencederai harga dirinya."

Sebuah petuah lagi. Menamparku.

"Karena kau sudah tahu dari si mulut ember itu, maka ya, memang Babamu pergi karena merasa malu dengan Ibu. Merasa tidak enak hati mengabaikan semua ucapanku."

"Dan, Ibu malah melakukan acara peringatan kematiannya?"

"Sebenarnya bukankah lebih enak menganggap Babamu sudah tiada daripada sibuk berharap kalau dia baik-baik saja padahal zonk."

"Lagipula haul itu bukan untuk membacakan doa kematian untuknya. Kita malah selamatan berharap doa selamat yang dibacakan untuk Babamu sanpai dan dia mau balik ke sini."

Cukup masuk akal ucapan Ibu.

"Karena itu Ibu pasrah kalau Abah Syafri malah. Mau gimana lagi."

Aku merasa tidak enak hati.

"Tapi ibu sudah biasa, Ndang. Anakku."

"Ketika kau pernah merasa dibuang dan ditelantarkan, maka kau mau tidak mau harus belajar bertahan hidup sendirian."

"Ketika hidupmu berangsur membaik dan ada rasa mendendam dalam hati dan ingatan, maka satu-satunya obat kita adalah harus belajar memaafkan."

"Ketika hati kita dilukai, maka selayaknya kita belajar mengasihi." Ibu memberikan semua kata itu dari pengalamannya.

"Ketika kita dikhianati, maka kita harus belajar lebih setia. Karena tahu rasa sakitnya."

"Ketika kamu dicurangi, ingat pesan ibu, tetaplah memberi musuhmu ketenangan meski batinmu sakit dan terkoyak-koyak. Belajarlah melawan amarah karena kita tahu inilah jalan dari Tuhan yang harus dilalui." Ibu mengelus kepalaku dan tanganku masih memijat kedua kakinya sambil meresapi betapa berharganya petuah demi petuahnya.

"Ini semua kupelajari dari Babamu. Sayangnya ...." Suara Ibu tercekat.

"Babamu memilih lari sendiri. Egonya begitu tinggi. Niat hati agar tidak menyakitiku tetapi itu malah menyakiti kita semua."

Aku memeluknya. Matanya menampakkan luka yang begitu sangat kentara sekarang. Kemana saja aku selama ini sehingga luput memandang wajahnya?

Ibu. Maafkan anakmu ini.

***

Malam itu kami tidur bersisian di ruang tamu. Saling bercerita. Rasanya sudah sangat lama tidak mengalami masa-masa seperti ini. Sejak aku mulai dewasa dan memiliki keasyikan sendiri, Ibu seperti sengaja memberikanku ruang sendiri agar aku merasa memiliki identitas sendiri dan tidak merasa menggantungkan hidup kepadanya.

Berulang kali syukur kuucapkan malam itu. Kubisikkan ucapan terima kasih kepadanya malam itu sambil memandangi kalau wajahnya sudah mulai menua tetapi semangatnya masih menyala dengan sangat besar hanya untukku.

Ibu Mariyam. Jika Baba akhirnya kembali, apa yang akan kita lakukan kepadanya?

Ibu Mariyam. Jika Baba memang belum mati apakah dia memiliki keinginan untuk kembali kepada kita?

Ibu ....

Apakah kau masih merindukannya seperti aku yang merindukan Maga?

Ibu ....

Bagaimana jika Baba memang telah pergi karena tak kuasa menahan sakit di hati?

Kuharap Ibu tetap seeperti ini sampai nanti.

SundangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang