Benar apa kata pepatah bahwa satu-satunya lawan yang tidak bisa ditundukkan adalah alam. Aku sudah berlari menuju sekolah dengan sekuat tenaga tetapi akhirnya sampai juga pada sebuah masalah. Terjadi kebakaran pada titik dekat sekolah yang dikarenakan kebocoran aliran air yang mengalir di antara rumah-rumah penduduk bersumber dari aliran kecil Sungai Sangkong. Kebocoran air itu mengakibatkan korsleting kabel lalu berubah menjadi kebakaran. Nyaris saja aku bisa menerobos kerumunan orang yang berada di sekitar lokasi untuk melihat apa yang terjadi tetapi saat kaki ini sudah hendak menginjak jalan raya dan menjauh sosok seseorang membuatku mematung.
Diantara deretan rumah yang terbakar itu ada seorang gadis yang melambai di dekat jendela meminta pertolongan. Meskipun dia menutupi wajahnya dengan handuk karena sepertinya sudah mengalami sesak, aku tahu dari perawakannya kalau itu adalah ... Maga.
Akhirnya aku ikut berada dalam kerumunan, mencoba mengenali daerah tempat terjadinya kebakaran. Gedung yang ditempati Maga berada di sebelah mana dan harus lewat mana? Aku tidak bisa gegabah menaikinya. Untungnya petugas kebakaran tiba tepat waktu, mereka membaca peta gedung sebentar lalu mulai berpencar. Siraman air dari pemadam kebakaran juga sudah beraksi kami semua disuruh bergeser ke belakang.
Karena aku tidak mungkin bisa menyelamatkan Maga tanpa skill pemadam maka aku memilih menyusup ke dalam kerumunan yang dekat dengan tim medis, di mana dua ambulan bersiaga di sana. Pasti nanti semua korban akan diarahkan ke sana.
Benar saja, setelah menunggu beberapa menit satu persatu korban datang di tempat medis dan dicek satu persatu. Kerja pemadam kebakaran benar-benar cepat. Mereka memakai taktik dan strategi yang bukan kaleng-kaleng.
Semua korban yang telah diperiksa seksama diberikan handuk hangat, dibersihkan mukanya dan jika ada lukanya lalu disuruh rileks dengan memberi sebotol air mineral juga perhatian yang nyata. Apa yang lebih menyenangkan hati mereka yang susah kalau bukan perhatian tulus.
Aku tetap melongok hingga akhirnya sosok yang kuanggap sebagai Maga itu dibawa juga oleh petugas. Kepalanya berdarah sepertinya dia tertimpa sesuatu. Masih memakai handuk basah di mukanya, petugas sedikit memapahnya hingga duduk di ambulan. Hatiku was was. Kapan gadis itu akan membuka penutup dari handuknya.
Memdapatkan perawatan dari petugas Pemadam Kebakaran juga tim medis rumah sakit yang bersiaga luka itu dibersihkan, bekas darah di dekat kepalanya juga dibersihkan lalu muka gadis itu dibersihkan pula oleh tim medis. Tangan, kaki juga bagian punggung gadis itu dicek dengan seksama untuk melihat apakah masih ada luka, dan ....
Benar. Wajah gadis itu adalah Maga.
Dia, ternyata masih ada di kota ini? Kenapa bisa dia membohongiku?
***
Langkahku hampir saja berjalan mendekat ke arahnya tetapi instingku tiba-tiba melarang.
Tenang, Ndang.
Jangan tergesa-gesa.
Dia pergi pasti ada alasannya.
Maka, langkahku mundur teratur. Lebih baik aku mengatur strategi agar tidak membuatnya terkejut lalu lari. Meskipun sejujurnya rindu ini begitu banyak lapisannya, ingin kutampakkan kepadanya satu persatu.
Baiklah, Ndang. Ke sekolah. Akhirnya aku berbisik di dalam hatiku sendiri. Jika Ibu Mariyam tahu aku membolos maka akan habis padepokan Ki Japras seperti sumpahnya. Sumpah seorang Ibu jangan dipermainkan. Sangkuriang yang kaya raya saja menjadi batu, apalagi aku, bisa jadi bubur ayam diaduk-aduk. Duh.
Perhatianku bercabang-cabang. Wajah Maga yang terluka nyatanya mampu menyayat sisi hatiku yang dalam. Masih menjadi pertanyaan besar di benakku tetapi sekali lagi aku harus bersabar.
Setibanya di sekolah pintu gerbang sudah ditutup, Pak Juki, satpam sekolah sudah terkantuk-kantuk di posnya. Pukul sembilan lebih lima, waktunya lapar melanda. Bisa dipastikan banyak anak seliweran di kantin diam-diam karena menunggu jam ganti pelajaran.
Aku berjalan memutar, denah di mana kantin berada jelas sudah kuhapal, aku telat tidak hanya sekali sepanjang sekolah di sini. Yah, meski aku sudah agak bertaubat sekarang, kenangan di mana aku melompati dinding sebelah kantin jadi senjata terbaik untuk menembus benteng sekolahan ini.
Bingo! Ketemu. Ada cerobong asap khas tempat keluarnya asap bekas masak gorengan dan sayuran dari dalam bangunan kantin. Di situlah ada satu dinding agak rompal yang belum dibenahi dari dahulu. Kuputuskan memanjat dari sana. Sebelumnya aku ... melompat.
Mengamati kondisi sekitar yang sepi kutarik kakiku menaiki dinding lalu melewatinya. Lalu ... melompat turun. Aku menengok kanan dan kiri. Aman tidak ada bau keamanan bergerilya tercium di hidung.
Baiklah, enaknya kutaruh di mana tasku? Saat itulah aku teringat kala Maga memergokiku di tempat ini.
"Tinggalkan saja bukumu di sini. Nanti guru akan menganggapmu hendak kabur, bukan karena terlambat." Dia berucap kala dahulu.
Aku tersenyum. Maga, semoga kau baik-baik saja.
Menuruti saran Maga di masa lampau kutinggalkan bukuku di pojok tempatku menyelinap lalu secepat kilat melangkah ke arah kantin.
Selamat. Ada tiga anak di sana, empat denganku lalu segera kucocol tahu isi satu biji dan membayarnya di kantin. Begitu hendak kumasukkan tahu dalam mulut sebuah suara mengagetkanku.
"Enaknya, Ndang. Emang kalau habis lompat pagar bawaannya lapar."
Aku berbalik. Bu Yustina, guru BK sudah tersenyum sambil bersendekap tangan di dada.
**
Ruang BK ini masih sama dengan zaman dulu ketika hampir setiap hari aku memasukinya. Menonjok muka Samsul, menendang kaki Saifudin, juga adu jotos dengan Geng Gorila kepanjangan kata dari geng golongan penyuka sepeda ria juga pernah membawaku ke ruangan ini. Habis, mereka sok membanggakan diri, kukempesi semua bannya.
Melihatku yang memperhatikan ruangan BK, Bu Yustina berdehem.
"Kangen masuk sini, Ndang?"
Aku nyengir. "Kangen diceramahi Ibu," jawabku.
"Duduklah. Ibu tidak hendak menghukummu."
"Loh?" heranku.
"Kuanggap kau sudah menyandang nama baik sekolah sebagai atlit pencak dor."
Aku mengernyitkan dahi.
"Terus, ibu membutuhkan bantuanku?" Tebak-tebak buah manggis, aku membidik sasaran.
"Benar. Tentang Maga."
Aku menelan ludah.
"Kau tahu dia di mana?"
Aku masih terdiam.
"Dia anak yang berprestasi tapi kudengar desas desus dia terlibat skandal. Mungkinkah itu yang membuatnya pergi?"
Aku terkejut. Terkadang fakta yang ada itu malah diungkap pihak lain yang jauh dari lingkungan kita.
"Skandal, Bu?" tanyaku.
"Huum. Kukira kau tahu, Ndang?"
Aku menggeleng. Kemudian aku punya ide.
"Bu, maaf. Sebenarnya tadi pagi aku tiba-tiba melihat Maga. Hanya saja dia seperti memang ingin lari dari sesuatu atau seseorang. Mungkin, ibu bisa menemuinya dan aku akan berjaga-jaga buat Ibu dengan cara sembunyi."
Bu Yustina terkejut.
"Kenapa begitu?"
"Karena aku takut jika langsung menemuinya maka dia akan lari lagi."
Bu Yustina mengangguk, matanya berbinar.
"Betul. Ah, Sundang. Kamu itu enggak hanya tampan, jagoan, juga cerdik."
Alhamdulillah. Ada yang memujiku hari ini. Kukira bakal dihukum seharian. Terima kasih, Maga. Kau menyelamatkanku lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sundang
MaceraSundang, pendekar muda sebuah padepokan silat berusaha mencari jejak ayahnya yang telah lama hilang. munculnya pendekar Bandar Angin seolah menjadi kunci pertama jalan Sundang untuk kembali meyakini bahwa ayahnya masih hidup. Beradu jurus, belajar t...