Maga dan Ibu Mariyam

18 2 0
                                    

Ternyata Ibuku manusia biasa. Selama ini kukira ibu yang selalu dicibir Abah Syafri karena Baba ini begitu kuat dan tegar, kenyataannya dia memiliki luka di hati yang dengan mengingatnya saja seolah menabur garam di atas luka yang basah. Padahal hal itu sudah berlalu beratus ribu hari.

Aku jadi menyesal terlalu ingin tahu. Bukankah perempuan itu kalau memang tidak ingin bercerita maka akan menutup rapat-rapat kisahnya. Meskipun tanpa ending.

Ah, aku mengabaikan ucapan Ki Japras kala itu. Ketika sempat Ki Japras memberikan saran agar aku memberikan jeda waktu antara rasa penasaranku dengan masa bertanya kepada Ibu dan malah kuabaikan.

Karena, rasa penasaran yang menggebu bisa menguap dan berubah biasa jika kita memberikan jeda terlebih dahulu.

Namun, beda rasanya jika yang didiamkan itu rindu dan cinta. Yang ada, makin dalam.

Seperti rasaku sama Maga.

Seperti rasa sayang dan kasihku kepada Ibu Mariyam meskipun setiap hari hampir saja ada ucapan sewot dan kritik darinya untukku. Aku tetap menyayanginya.

Kenyataan bahwa beliau merasakan sesak yang sangat atas kenangan masa lalu itu menampar kesadaranku. Sebagai anak aku memahami perasaannya bahwa melawan orang tua seringkali diartikan durhaka tetapi ulah orang tua yang tidak menghargai anak-anaknya seolah tertutupi oleh statusnya sebagai yang dituakan, dianggap sesuatu yang bisa mendapatkan pemakluman.

Untungnya Ibu Mariyam tidak seperti itu kepadaku. Ibu begitu 'ngemong' terhadapku. Ocehan dan omelannya adalah sarana agar aku tahu di mana letak kesalahan itu untuk bisa memperbaikinya setelahnya.

Ibu dan Maga, keduanya sama-sama bijak sesuai usianya.

Maga seringkali menjadi tua di depanku. Mengatakan tidak jika memang itu bukan sesuatu yang benar. Dia juga mengkritik sikapku jika memiliki ekspektasi tinggi tentang suatu hal yang seharusnya belum dipikirkan oleh seseorang yang usianya masih remaja seperti kami.

"Dendam pun, jangan dianggap sesuatu yang harus dibalaskan, Ndang. Itu akan menyiksa separuh lebih waktu hidupmu."

"Alih-alih sok suci, enggak. Kita hanya merasa bahwa ada sesuatu yang lebih prioritas untuk dipikirkan." Lalu aku menanggapi dengan pertanyaan.

"Apa itu?"

"Belajar. Mendedikasikan diri pada pendidikan."

Wah, jawabannya bukan aku banget. Di kelas tidur, masuk sekolah suka telat, bahkan kabur saat jam pelajaran membosankan untu lari ke gedung olahraga lalu melatih jurus-jurusku.

Setiap ada yang lewat aku sok bersungguh-sungguh berlatih silat. Padahal, akting yang meyakinkan.

Alamak.

Maga juga pernah mengatakan, "Waktu remaja kita kalau enggak mikir pendidikan, ya mikir juga tentang romansa, lah, Ndang. Naksir lawan jenis terus gayung bersambut itu energinya luar biasa."

Ucapan Maga benar lagi. Saat dia memberikan sabuk khusus buatku aku tahu kalau rasa sayangku kepadanya bersambut. Semangat dan energi baru yang kurasakan menjadi luar biasa.

Begitu juga saat dia pergi menjauh dariku, ada satu nyala energi dalam hatiku yang padam. Yaitu dikarenakan jauh dari seseorang yang disayang.

Maga.

Kuharap kau tahu kalau aku masih akan tetap rindu kepadamu, senyummu, bawelmu juga perhatian kecilmu yang manis.

***

Ibu Mariyam terlihat lebih pendiam sekarang. Bangun Subuhku juga lengang tanpa ocehan, sarapanku dingin tanpa komentar darinya ketika aku menyisihkan sayur taoge di sisi piring yang lain tanpa kumakan. Berangkat ke sekolah pun tidak berapi-api karena sering telat naik bis. Ibu diam. Sangat diam. Aku takut, sungguh.

Ki Japras bilang kalau perempuan malas bicara ada tiga kemungkinan.

Pertama, sakit gigi dan sariawan.

Kedua, sakit hati dan malas berhadapan.

Ketiga, sedang melakukan topo bisu. Untuk meningkatkan kewaspadaan dan kewaskitaan, biar sakti.

Aku mengamati ibuku untuk melihat indikasi apa diamnya ibu Mariyam.

Pertama, tidak mungkin sakit gigi. Pipi ibu aman tanpa bengkak, setidaknya beliau akan lebih banyak ngoceh kalau sakit, bahkan juga enggak akan buka toko kecilnya.

Kemungkinan kedua, hm. Aku menelisik mungkin bisa terjadi tetapi karena apa? Aku tidak secara langsung menyakitinya, hanya mengingatkannya pada kenangan lama saja. Aku juga merasa tidak berbuat aneh dan salah yang bisa membuat Ibu merasa kecewa sampai tidak mau berdekatan dan berhadapan denganku.

Sepertinya fifty-fifty kemungkinannya. Bisa jadi ibu sedang sebal dengan orang takut marahnya tidak berguna, belaiu memilih diam.

Namun, kemungkinan ketiga?

Aku tidak yakin Ibu sedang melakukan ritual khusus untuk melatih ilmu kanuragannya yang lalu. Topo bisu buat apa? Hendak melawan siapa? Selama arena pencak dor belum dibuka lagi sementara aku aman dari serangan lain. Ibu juga akan lebih lega dan tidak was was. Melakukan topo bisu jelas tidak mungkin dilakukannya.

Ah, indikasi tiga hal dari Ki Japras ini sepertinya ngawur. Untuk hal kemampuan bela diri tidak dipungkiri dia sakti tapi untuk perkara hati jelas Ki Japras kalah pengalaman. Toh, dia belum pernah dekat lagi dengan wanita manapun, sampai aku berburuk sangka kalau dia suka sama Ibu. Takkan sampai hati Ki Japras mengambil hati ibu secara paksa. Dia bukan tipe Ibu Mariyam.

Lantas, kenapa Ibu begitu diam?

Pada hitungan tujuh hari, diamnya Ibu reda. Dia mulai mengoceh lagi.

"Ya Allah, Ndang. Kamar sudah kayak kandang ayam. Tumpukan baju di mana-mana."

Aku tersenyum saja. Bahagia.

"Ya Allah, Ndang. Sampo tinggal setetes aja bungkusnya kagak dibuang. Benar-benar deh, ah."

Suara itu berasal dari kamar mandi. Aku bahagia mendengarnya seperti alunan merdu dari penyanyi favorit yang disetel berkali-kali di radio.

"Ya Allah, Ndang. Makanan ini enak. Beli di mana? Udah bosan ya ama masakan Ibu?" Aku nyengir. Itu nasi berkat kondangan. Baru saja dibawain setelah mengaji di rumah tetangga.

"Bukan, Bu. Enggak bosan. Ini nasi rezeki dari Yang Maha Kuasa. Nasi kondangan dari rumah Pak Jalal juragan pete." Nyengir juga akhirnya setelah kujawab dengan sebenarnya.

"Oh, kirain."

"Kukira soalnya Ibu mogok segalanya kemarin, kamu jadi dendam sama ibu terus beli makanan."

Kali ini aku yang nyengir. Diamnya Ibu kemarin sampai dia malas makan, malas bicara, malas semuanya. Cuma satu yang enggak malas. Masih rajin mengunjungi tempat di mana Ibu bilang kalau di sanalah Baba suka menghabiskan waktunya.

Namanya Bukit Harapan. Sebuah bukit tidak seberapa tinggi di selatan surau kampung. Ada gubuk kecil diantara batuan yang menjorok di ujung bukit, dulu Baba yang membuatkannya untuk Ibu. Di sana Ibu bisa leluasa melihat kampungnya jika rindu.

Sekarang aku tahu kalau rindu yang dirasakan Ibu lebih kepada rindu yang menyesakkan dada. Ada restu yang tidak diberikan padahal dengan Babalah Ibu bisa bahagia setelah banyak drama sepanjang hidupnya kala belia.

Sekarang aku tahu kalau setiap ke sana Ibu tidak hanya rindu kepada Baba. Dia juga sebenarnya rindu Koh Ipah, babanya. Hanya saja, gengsi mengungkapkan. Rindunya cukup disimpan dalam diam.

SundangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang