Kelas dua SMA kata orang adalah masa transisi. Bisa dari nakal menjadi rajin atau sebaliknya, dari rajin menjadi malas. Itu, kata orang. Kalau kataku adalah masa untuk jatuh cinta tetapi malu-malu. Seperti cintaku kepada Maga. Mataku mungkin menyiratkan rasa cinta itu tetapi mulut dan sikapku menunjukkan sebaliknya.
Memang, aku selalu mengatakan kepadanya bahwa wajahnya beraura bagai purnama tetapi aku tidak memperlihatkan keseriusan. Hubunganku dengan Maga lebih banyak bersinggungan dengan rumus matematika, arena latihan ekstra kurikuler selepas sekolah serta hubungan sesama tetangga. Rumah Maga yang besar dengan kos-kosan yang luas milik keluarganya itu terletak dua gang jaraknya dengan rumahku. Masuk kawasan elit sementara kawasan rumahku kawasan biasa saja.
Setelah kepulanganku malam itu Maga semakin susah hilang dari kepala. Terlebih saat kupandangi sabuk silat yang diberikannya, itu sangat berharga. Selain ikut latihan di padepokan Ki Japras, aku juga belajar ilmu bela diri lain di sekolah. Untuk melatih kekuatan kakiku maka aku mengikuti taekwondo. Jurus-jurusnya sederhana tetapi pemusatan kekuatannya di kaki dan setiap tendangan benar-benar menguras tenagaku.
Pernah satu kali aku melatih jurus tendangan seribu dahan terbang yang diajarkan oleh Ki Japras memakai modifikasi dengan tendangan taekwondo. Dalam posisi duduk, kaki kiriku tertekuk ke depan dan kaki kananku tertekuk ke belakang lalu dengan hentakan tangan yang berfungsi sebagai penyangga kulesatkan tendangan ke depan dengan bagian tubuh yang kuangkat ke atas. Tumpuan kekuatan di ujung tendangan serta pada telapak tangan sebagai tumpuan menjadikan tubuhku begitu ringan. Tepat saat aku memukul udara dengan tendanganku, tenaganya terasa begitu kuat sehingga jika bisa dilihat sepersekian lebar udara di depanku pasti tersingkir ke kanan, kiri dan belakang dengan jauh.
Ki Japras benar. Intinya adalah pemusatan perhatian, konsentrasi, serta pengukuran akurasi jarak tendang dan pukul.
Lambat laun, aku bisa menguasai tendangan ini bahkan dengan berdiri. Aku melompat tinggi ke atas, sementara tendangan kaki kananku juga ikut dikeluarkan saat tubuhku masih di udara. Dan ....
Blamm. Papan kayu berselimut busa tebal sebagai sparing latihan tiba-tiba patah menjadi dua. Mataku membulat, terbelalak menyaksikan kemampuanku sendiri dan menakjubkan.
Perbedaan antara jurus seribu dahan terbang itu dengan jurus mematuk kelabang adalah satunya memakai fokus kekuatan kaki sementara satunya memakai fokus kekuatan jari dan tangan. Dan aku masih kesulitan hingga sekarang.
Waktu pertama kali aku melatih jurus seribu dahan terbang ini, Maga ternyata menontonnya, dia bertepuk tangan dengan keras sebelum akhirnya kembali lagi ke kelas sambil membawa buku catatan pekerjaan rumah yang baru diambilnya di kantor guru.
"Fighting!" teriaknya.
"Kau bisa lakukan yang terbaik, Ndang!"
Aku terkejut kemudian tersenyum. Semangat darinya menular kepadaku, tetapi sesaat kemudian kulihat dia menjauh dan bersiap kembali pulang. Ada ekspresi marah di dada karena aku tidak ditunggui, membuat jurus seribu dahan terbang tidak jadi kusajikan dalam pertarungan persahabatan dengan padepokan lain.
Suatu kali aku pernah menggunakannya tetapi rasa sebalku kepada Maga saat itu membuat jurus ini kacau, kalah pamor dengan jurus Kera karya padepokan dunia persilatan lainnya.
Ah, beginikah rasanya terabaikan?
Kejadian itu membuatku uring-uringan, malas belajar di padepokan bahkan sekolah pun menunggu mood. Aku suka menghabiskan waktu di gudang sekolah atau arena taekwondo daripada menunggu Maga keluar kelas dan mengajaknya ke kantin. Pada saat kelas 2 ini Maga hanya bertahan di kelasku dua bulan sebelum akhirnya pindah jurusan.
Akhirnya aku sedikit membenarkan kata orang tentang masa transisi di kelas dua SMA ini.
Hingga tingkat kemalasanku kian meninggi, selain malas sekolah aku juga malas latihan. Melihat semua ulahku yang merepotkan ini, Ibuku, Mariyam semakin lancar berkhutbah setiap hari.
"Ndang. Ibu memintamu sekolah rajin, Ndang. Bukan demi ibu tapi demi Babamu."
"Jangan sampai dia dikatakan orang dengan hal jelek, Ndang. Bayangkan kalau dia benar-benar sudah mati. Bakal dicambuk sama malaikat dalam kubur karena anaknya tidak melakukan wajib belajar."
Aku terkejut. Ibu mengambil anekdot lama saat aku masih rajin mengaji di surau sewaktu kecil. Kisah siksa kubur dan neraka menjadi cerita favorit yang membuat kami takut di satu sisi tetapi pada satu sisi lainnya ada sikap waspada. Jangan sampai terjerumus dosa.
Namun, anak remaja sepertiku dibilangi seperti itu, ah, Ibu. Takutku belum sedalam itu. Maafkan anakmu.
***
Lama sekali aku malas sekolah hingga puncaknya Ki Japras memasukkanku ke dalam nama pendekar padepokan yang sewaktu-waktu siap harus tampil di arena pencak dor antar perguruan.
Ketika aku menolak dan uring-uringan, Ki Japras melunak kepadaku. Alasannya merayuku begitu menyayat hati.
"Ndang, kalau kamu enggak datang, maka bagaimana aku memberi makan semua yang ada di sini?" ucapan Ki Japras kala itu juga membuyarkan semua konsentrasiku.
Apa hubungannya penampilanku dan memberi makan anak-anak padepokan?
"Jika kau enggak datang maka padepokan Aki akan dianggap padepokan abal-abal. Wakilnya saja takut bertarung."
"Hasilnya, anak-anak yang kupelihara di padepokan akan kesusahan kebutuhannya. Ingat, Ndang. Uang padepokan adalah hasil pendaftaran dan iuran setiap bulan para murid. Kalau enggak ada yang mau belajar lagi di padepokan Aki, kamu mau kasih aku ganti rugi?" Saat mendengar ucapannya itulah, di akhir semester pertama kelas dua hatiku berubah menjadi jauh lebih berani lagi.
Aku kembali bersemangat sekolah, mengikuti Ki Japras pencak dor di berbagai lokasi dan mulai melatih jurus-jurusku lagi. Sementara Maga, aku masih tetap menyukainya, keegoisanku adalah penyebab laraku sendiri, bukan yang lain.
Tak adil rasanya jika menjadikan Maga sebagai salah satu kambing hitam kemalasanku.
Berdamai dengan Maga, berlatih lebih giat lagi serta meraih hati Maga perlahan-lahan adalah fokusku sekarang.
Belum lagi pertandingan amanah Wak Haji dan pengurus Musola dekat rumah juga menjadi hal yang tidak boleh kusia-siakan.
Tiga bulan lagi. Musim kompetisi akan dibuka. Jurus Mematuk Kelabang harus bisa segera kukuasai dan jurus seribu dahan terbang harus lebih sempurna lagi.
Kenapa aku menyebutnya jurus seribu dahan terbang?
Karena ketika tendanganku mengenai tubuh seseorang, rasanya bagai dipukuli dengan banyak dahan-dahan yang bentuknya tidak beraturan. Selain keras, ketika akhirnya patah pun, dahan itu tetap menyakitkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sundang
PertualanganSundang, pendekar muda sebuah padepokan silat berusaha mencari jejak ayahnya yang telah lama hilang. munculnya pendekar Bandar Angin seolah menjadi kunci pertama jalan Sundang untuk kembali meyakini bahwa ayahnya masih hidup. Beradu jurus, belajar t...