Koh Ipah dan Cerita Burung Bangau

11 1 0
                                    

Seperti mengingat sebuah petunjuk setelah membersihkan gudang kemarin, aku berlari pulang dari padepokan. Ada hal yang membuatku bersemangat kali ini. Misi baru bersama Bu Yusfina juga mengetahui tentang kakek baru dari pihak Ibu. Semoga saja kardus-kardus berisi masa lalu itu belum dibawa oleh pihak pengepul. Jika tidak salah ingat baru sisa botol, sisa bagian seng dan juga besi-besi entah bekas apa yang dibawa. Karena baru ingat seperti melihat sesuatu yang luput kemarin, maka aku bergegas pulang supaya selamat kardus-kardus yang kucurigai itu.

Ibu masih ada di warung samping jalan menuju rumah kala aku datang. Suaranya yang menggelegar sedang melayani pembeli terdengar hingga cukup jauh. Benar kata Ki Japras. Seorang pendekar sudah terbiasa mengolah daya tenaga dalamnya bisa lewat teriakan yang memekakkan telinga, suara panjang yang bisa terdengar hingga jauh padahal orangnya cuma berbicara pelan. Ada yang lewat lesatan kaki hingga ilmu ringan tubuh atau gingkang yang bisa membawa kita berjalan di atas air. Seperti cerita burung bangau yang kata Ki Japras selalu didengungkan Koh Ipah dulu kala.

Selama sisa perjalanku ke dekat rumah ucapan Ki Japras terngiang-ngiang di telinga. "Bagaimana bisa Ki Japras tahu cerita itu?" tanyaku.

"Koh Ipah adalah legenda silat. Suaranya didengar tanpa sanggahan, ceritanya didedahkan bagai cerita dari surga yang menentramkan." Aku melongo. Seperti apa tampilan Koh Ipah yang disembunyikan Ibu bertahun-tahun itu. Cerita-ceritanya yang menghipnotis pendengar, sungguh membuatku perasaan.

"Lebih tua mana Koh Ipah sama Aki?" tanyaku akhirnya tidak terbendung.

"Jelas gagah Koh Ipah. Tua sana juga."

Aku tertawa manakala Ki Japras tidak bisa membohongiku. Dia bilang kalau Koh Ipah memang lebih tua, tetapi juga lebih kuat.

"Tapi, Babamu berhasil mengalahkannya."

"Dia berhasil mendapatkan hati Ibumu, yang mana Koh Ipah sering ragu apakah Mariyam sayang kepada ayahnya atau tidak."

"Jadi, hubungan Ibu dan ayahnya?" Aku terus menelisik.

"Ibumu hanya anak istri kedua. Jawara zaman dulu istrinya paling sedikit dua, Ndang. Itu yang melukai Ibumu. Ibu Mariyam selalu dinomor duakan. Suatu alasan yang membuat Mariyam sebal kepada ayahnya."

"Meskipun pada kenyataannya Ibu sangat disayang sama Koh Ipah?"

Ki Japras mengangguk.

"Ulah Ibumu semua demi mendapatkan perhatian babanya."

Persis seperti analisis Bu Yusfina setiap anak berkelakuan ekstra bikin emosi masuk ke ruangannya. Dia akan menanyakan apakah kami di rumah broken home, kurang kasih sayang, atau malah terlantar.

Ternyata, Ibuku mengalami gejolak jiwa yang besar kala muda. Setelah pernikahan pun Baba malah menghilang.

***

Ransel kuletakkan di dalam kamar dan mataku segera mengintip ke luar di mana kemarin aku meletakkan tumpukan kardus itu sebelum dibawa pengepul.

Sedikit mencari akhirnya kutemukan kardus dua susun itu sedikit dipinggirkan ke arah dalam. Biar tidak di jalanan.

Baiklah, saatnya beraksi. Kutukar seragam dengan kaos oblong biasa, celana berubah jadi sarung yang kusampirkan di leher tentu saja memakai celana selutut juga.

Kubongkar satu kardus bagian atas. Ada ijazah ibu yang berupa fotokopi, kemudian kertas kuitansi toko dan tetek bengeknya, tumpukan majalah bekas penuh resep masakan dan lainnya. Kain bekas beberapa potong kecil, balpoin usang hingga ada bungkus bedak bayi kemasan. Sepertinya bedak bekasku dulu.

Aku bongkar lagi sampai bagian agak bawah. Kertas yang sepertinya ada nama Koh Ipah yang sekilas kulihat kemarin tidak ada di sana. Maka kumasukkan lagi semuanya ke dalam kardus pertama sampai rapi. Tanganku terhenti kala melihat foto dalam ijazah fotokopi ibuku. Meskipun hitam putih tetapi masih terlihat kecantikannya. Matanya tajam, tetapi keibuan. Seperti suasana pinggir pantai yang sepoi-sepoi tetapi ombaknya bisa menghanyutkan.

Lalu semua kumasukkan kardus dan kututup kembali. Ganti kardus berikutnya.

Isi kardus kedua sama, banyak kertas dokumen usang dan majalah bekas juga pernak pernik yang telah rusak. Ada beberapa foto lama juga catatan catatan harian bertuliskan tangan. Setelah kubaca-baca isinya sumpah serapah Ibu entah sama siapa. Ada juga yang berisi pujian kepada lawan tandingnya dulu.

Tendangannya serupa kapas terbang ke angkasa, tidak bertenaga, tetapi ketika mengenai kepalan tanganku yang menangkisnya, tenaganya terasa menembus tulang-tulangku. Begitu catatan Ibu.

Entah siapa yang dimaksud.

Kemudian ada sebuah catatan yang juga bekas diremas dengan tangan yang mengepal.

Cerita burung bangau? Aku membaca tulisan itu tetapi tidak ada lanjutannya lagi.

Apakah ini judul sinetron? Atau apa?

Aku tidak menghiraukan lantas kembali mencari nama Koh Ipah. Menelisik, melihat dengan seksama, membuka lipatan kertas dan lainnya.

Namun, Nihil.

Aku menghela napas. Frustasi sedikit. Kemana kertas yang kulihat ada namanya Koh Ipah?

Kugaruk kepala.

Duduk jongkok sambil berpikir.

Berdiri lagi sambil garuk-garuk hidung yang gatal sampai bersin-bersin efek kena debu. Lalu aku berteriak. Alhamdulillah.

Ingatlah aku di mana melihatnya. Kubongkar lagi kardus yang pertama kubuka tadi dan kuambil lembar fotokopi ijazah Ibu. Benar. Nama Ibu ada di sana bersama walinya dulu. Mariyam Binti ... namanya ....

Hanif Abdul Gopar.

Kenapa dipanggil Koh Ipah?

***

Aku membawa kertas itu dan duduk di depan rumah menunggu Ibu menutup toko dan pulang. Hari ini satu rahasia harus selesai dibongkar, jangan lagi main sembunyi kebenaran.

Bagaimana bisa Ibu menutup identitas kakekku satu lagi tanpa mau aku tahu.

Apa yang membuat Ibu beralasan seperti itu?

Sungguh, ini benar-benar membuat hatiku berdebar seperti menunggu Maga lewat depan kelasku kala di sekolah.

Dan, akhirnya aku melihat sosok Ibu Mariyam berjalan pulang ke arahku. Dia tersenyum manis sekali persis seperti di dalam foto ijazahnya. Sekarang aku bisa memperhatikan mata Ibu yang begitu cerah. Bola mata hitamnya seperti sebuah manik-manik mutiara hitam legam yang selalu diperebutkan sebagai mutiara paling mahal sejagat. Pantas dicintai. Sementara beningnya pandangan mata Ibu seperti telaga kautsar yang sering diceritakan Wak Haji ketika mengaji di musala. Meskipun suaranya kala marah sudah mirip gempuran bom dari atas pesawat dalam film-film perjuangan. Menggelegar.

Ibu kemudian berhenti melangkah kala melihat sesuatu di tanganku.

"Itu foto kopi ijazah usang Ibu?" tanyanya. Aku mengangguk.

"Mau dibuat apa?"

Aku agak takut tapi kuberanikan diri.

"Untuk kenalan sama Mariyam Binti Hanif Abdul Gopar."

Ibu terkejut.

"Kata Ki Japras dia dipanggil Koh Ipah?"

"Haih! Aki-aki itu membocorkan rahasia. Lihat saja akan kubuat perhitungan!"

Oh, no. Aku keceplosan menyebut nama Ki Japras. Ah, tidak mengapa. Sudah biasa Ibu Mariyam melabrak Ki Japras.

"Nanti, Bu. Cerita dulu. Siapa Koh Ipah dan ini ... aku tadi baca tulisan Ibu tentang cerita burung bangau. Apa itu?"

"Koh Ipah kakekmu. Cerita burung bangau itu cerita legenda pendekar yang bisa melayang yang diceritakannya kepada Ibu tetapi kurasa itu cuma rekaannya saja. Agar aku mau berdamai dengannya." Ibu menghela napas lalu duduk di sampingku.

"Enggak ada faidahnya juga, Ndang. Dia tidak sekalipun menjengukku. Buat apa dikenang?"

Aku melongo. Ibu sesakit hati itu, kah?

SundangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang