Bertekad untuk menemukan fakta hilangnya Baba yang bahkan sudah direlakan Ibuku, Mariyam, ternyata membuat semua usahaku mentok. Tidak seperti Ibu yang sudah merelakan Baba, diri ini sebaliknya, masih belum mau menerima semua itu. Tidak ada jasad yang bisa kukubur, tidak ada tempat untuk kuziarahi, meskipun setiap kali berdoa aku selalu yakin akan dikabulkan, yaitu dengan doa semoga Baba masih hidup.
Selain itu, aku sudah berjanji kepada Ki Japras, teman seperguruan Baba bahwa aku akan membantu mengurusi padepokannya juga kulakukan. Hanya saja, sejauh ini aku hanya bisa berlatih jurus dan tampil dalam pencak dor setiap dua bulanan yang ternyata membuatku ketagihan. Satu tendangan pertama di dekat mulutku oleh Sidik, pendekar andalan padepokan Banyu Wening kemarin dulu membuatku merasakan senangnya meraih kemenangan setelah pertarungan.
Tak heran, kalau Ki Japras terus menaiki arena dan menantang banyak jawara. Bertarung dengan mereka itu kepuasan.
Pencak dor pertamaku berlangsung bulan kemarin. Berdiri dengan dua tangan terkepal, baju silat lengkap dengan sabuk buatan Maga, serta dukungan Ki Japras dan lima kawan seperguruan aku melawan bocah silat dari padepokan Banyu Wening dari Banaran.
Sidik, begitu pembawa acara menyebutkan dan memanggil namanya masuk ke dalam arena. Kami sama-sama pemula. Dalam pencak dor siapapun boleh maju dan melawan musuhnya di atas arena tanpa memerlukan syarat yang ribet. Hanya saja, untuk bertarung maka ada padepokan yang melatarbelakangi mereka, bukan asal maju dan bertarung. Meskipun ada yang maju sendiri, biasanya ditujukan untuk program kegembiraan di sela padatnya acara.
Namun, mereka yang resmi mengikuti Arena pencak dor akan mendapatkan kesempatan memperebutkan kandidat pendekar terbaik selama arena. Meskipun ternyata banyak juga yang main licik, mengembuskan isu-isu negatif agar ada yang terbakar tetapi bukan api. Namanya emosi dan ego diri.
Seperti apa yang dialami Ki Japras saat melawan pendekar Bandar Angin.
Menyebut namanya, saat aku naik ke atas pentas dan melihat Sidik di sudut lain, kulihat Pendekar Bandar Angin berdiri tepat di dekat ringku. Dia menatapku lekat, tangannya bersendekap, mulutnya komat-kamit.
Semakin memandangi ulahnya, tenggorokanku seperti tercekat. Apa dia memantraiku? Pencak silat dan rajah atau isian dalam batin adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan hanya saja aku memilih tidak menggunakannya. Dan sekarang seseorang menggunakannya kepadaku.
Geram. Saat pembaca acara memanggil namaku segera saja aku melompat ke tengah arena dan bersiap menghadapi Sidik. Aku marah kepadanya di atas ring. Mataku menghunjam tajam ke arahnya. Pertandingan kami bukan hanya hiburan semata. Akan kusajikan jurus terbaik dan perlawanan sengit dalam arena.
Sidik memberi anggukan kepala ke arahku dan aku melakukan hal yang sama. Kedua tanganku tertangkup di dada lalu segera saja aku memasang kuda-kuda. Melebarkan kaki dengan gerakan menapak bumi dan posisi lebar pas badan, lutut juga menekuk kaki seperti menyangga berat badan agar seimbang lalu tanganku membentuk pertahanan dan serangan, satu telapak tangan menghadap ke kiri dalam dan telapak tangan kiriku menghadap ke arah kanan luar. Aku bersiap menyerang.
Baru saja membaca gerakan Sidik sebentar, lelaki itu ternyata sudah mengawali serangan. Tendangan kaki kanannya yang ringan menyentuh sudut bibir kananku dan membuatku terhuyung.
Rasanya, blam. Seperti suara jatuhnya buah kelapa dari atas. Tendangan Sidik menampar sudut bibirku dan menggetarkan semua kepalaku beserta isi di dalamnya. Seketika aku kehilangan bayangan, mataku gelap, tubuhku terhuyung dan terlempar ke belakang. Tetapi dengan segera aku bisa menapak kembali dengan kuda-kudaku yang kembali kokoh, mataku kembali membuka dan terlihat senyum Sidik begitu sumringah. Sementara terasa sudut bibirku berkedut-kedut mengeluarkan bau anyir darah.
Kuseka darah sedikit itu dengan dua jari lalu memandanginya. Luka, ternyata membuat amarahku bergolak. Kepemilikan atas tubuh ini seolah menyuruhku untuk membalas dendam. Luka harus dibalas luka.
Maka, aku menerjang ke depan, dengan tendangan bebas yang segera ditangkis Sidik dengan tendangan yang sama dari kakinya yang berlawanan denganku membuatku terkejut. Refleknya menangkis serangan begitu bagus dan cepat.
Aku tak menyerah. Kuayunkan jurus tangkisan dan membelah udara ke arahnya sambil melompat dengan cepat sesaat setelah tendangan kami saling beradu. Dia kewalahan tidak menyadari balasanku begitu cepat.
Kepalan tanganku mengenai perutnya, sementara kedua kakiku membentuk kuda-kuda ke belakang. Dengan hentakan dan pemusatan energi pukulan tanganku yang terfokus di dalam kepalan tadi menabrak perut Sidik dengan sempurna. Tanpa tangkisan. Membuat tubuhnya terpental ke belakang dan menabrak tali ring arena yang terbuat dari karet besar-besar.
Mata Sidik menampakkan keterkejutan. Dia mendekat kembali ke arahku tetapi tidak langsung menyerang. Aku pun sama, mengamati dan mengawasi gerakannya. Kami hanya berputar-putar di arena hingga kemudian aku mengukur jaraknya dengan jarakku, jika aku memakai jurus mematuk kelabang maka akan bisa kumenangkan pertarungan ini.
Namun, jurus itu belum sempurna. Ayunan kakiku masih kuragukan bisa menjangkau tubuhnya dengan setengah terbang, sementara dengan tendangan maka dia akan mudah mematahkan seranganku atau malah menghindar.
"Tapi, kalau tidak diuji maka siapa yang tahu?"
Aku berhenti bergerak. Seseorang seperti berbicara kepadaku lewat telepati.
Tunggu.
Aku mengamati sebentar ke belakang arena tempatku, Ki Japras mengangguk memberikan semangat sementara pendekar Bandar Angin menutupi wajahnya hingga hidung, tidak nampak jelas ekspresinya. Hanya saja matanya tak berkedip dan memandangiku lekat-lekat.
Jangan-jangan, memang dia yang berbicara?
Bagaimana caranya?
"Awas!" ucap suara dalam hati itu lagi bak sebuah peringatan, aku melihat bayangan kaki di lantai arena yang berbayang, kaki Sidik sedang ke arahku. Sial.
Seperti dugaanku. Sidik menyerang saat aku lengah, dia mengincar sisi kananku yang dengan sigap bisa kuhindari. Aku melompat cepat ke belakang, menangkis tendangannya lalu dengan sekuat tenaga melompat ke arahnya dan menggunakan dua jari tangan hendak melukai matanya lalu kuplesetkan ke atas dahinya dengan sentilan. Tidak lupa sambil melompat ke arahnya, kakiku menendang samping lengan kirinya dan membuatnya terhuyung.
Sesaat aku hampir saja mencelakai matanya. Sesuatu yang tidak pantas kulakukan. Sesuatu yang selalu diwanti-wanti ibuku Mariyam, bahwa di atas arena bukan tentang melukai, tetapi mengalahkan, dan untuk mengalahkan tidak harus dengan menyakiti.
Kekuatan tendanganku membuatnya terhuyung dan jatuh, sentilan di dahinya juga membuat Sidik merasa kesakitan, hingga pada hitungan ketiga dia belum stabil berdiri dan dinyatakan kalah.
Sesaat tadi ada yang datang, tetapi tidak membuatku bahagia, hampir saja dia membuatku kesepian karena diakibatkan sifat sombong yang datang meyergap.
Hingga suara tepukan dan sorak sorai penonton menyadarkanku bahwa aku baik-baik saja, Sidik juga tidak terluka parah, sewajarnya tetapi semua bersorak karena aku bisa mengendalikan diri menahan untuk melukai bagian vital lawan karena emosi. Di dalam dan di atas Arena pertarungan seperti ini sekarang bisa kupahami. Jika tidak bisa melawan emosi maka akan menjadi iblis. Menganggap bahwa permainan ini adalah kenyataan. Bukan lagi perkara mengalahkan lawan tetapi bisa berubah menjadi menang atau mati.
Itu, bukan sebuah ajaran dari beladiri. Itu namanya kebengisan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sundang
مغامرةSundang, pendekar muda sebuah padepokan silat berusaha mencari jejak ayahnya yang telah lama hilang. munculnya pendekar Bandar Angin seolah menjadi kunci pertama jalan Sundang untuk kembali meyakini bahwa ayahnya masih hidup. Beradu jurus, belajar t...