Sungai Seruja

46 12 7
                                    

Ki Japras merengek sepanjang malam setelah duel melawan Bandar Angin kemarin. Kalau melihat dari raut wajahnya, rengekannya bukan tersebab sakit sekujur badan. Melainkan karena malu dikalahkan pendekar muda dengan jambang lebat di wajah serta perawakan tinggi dan gagah.

Wajar Ki Japras begitu kecewa. Menyandang gelar juara bertahan adu pencak dor di atas para pendekar perguruan yang lain selama bertahun-tahun, kemudian dikalahkan setelah mengeluarkan jurus pamungkas oleh pendatang baru jelas memalukan.

Namun, mengingat Ki Japras tahu nama pendekar tadi jelas menunjukkan bahwa lelaki itu bukan murni pemain baru.

Mataku membulat sempurna, hatiku terkejut. Segala pikiran tentang kemiripan jurusnya dengan jurus Baba membuatku bertanya-tanya.

Jangan-jangan ... dia dan Baba satu perguruan?

Bukan. Ki Japras adalah guru Babaku, bagaimana mungkin mereka berdua bisa memiliki jurus yang sama?

Kecuali?

***

"Jangan berani berpikir yang tidak-tidak, Ndang!" Ki Japras memegangi pinggulnya yang kemarin terbanting keras di atas arena.

"Jurus Babamu saja bukan Aki yang mengajarkan. Bisa jadi Bandar Angin juga meniru jurus lain yang mirip jurus Babamu." Ki Japras melotot, dia seperti melihat seseorang di depannya, bukan aku dan tiba-tiba teringat sesuatu.

"Abaikan ucapanku."

"Yang jelas. Babamu tidak mungkin gurunya pendekar tidak berakhlak itu."

Aku menggaruk kepalaku dengan keras. Pikiranku menangkap gelagat Ki Japras yang menyembunyikan sebuah rahasia.

Apa juga itu? Saat dia mengatakan bahwa jurus Baba bukan darinya?

Apakah Baba mempelajari jurus rahasia tanpa seorang guru?

"Heh! Aku tahu apa yang kau pikirkan. Bukan seperti itu juga." Ki Japras duduk kali ini dengan kesusahan. Sepertinya lukanya membuat kondisi Aki susah duduk dan juga pegal kala berdiri.

"Dia, memiliki guru lain selain aku." Kejutan lagi dari mulut Ki Japras.

"Guru ediiian. Terniat mencelakakan Babamu."

Kali ini aku makin penasaran tetapi posisi Ki Japras sudah mulai rebahan menandakan bahwa dia masih ingin beristirahat tanpa diganggu.

Masih ada beberapa hari ke depan. Aku akan bersabar.

***

Hari ini Minggu. Saat anak-anak seusiaku sibuk menikmati waktu luang, liburan dengan keluarga mereka atau keluar bersama kawan. Sementara aku, duduk menunggui bubu di dalam air sungai Seruja yang tidak kunjung memerangkap ikan.

Sungai Seruja masih bening antara pukul lima pagi sampai pukul tujuh pagi. Sebening kristal, bebatuan di bawahnya menampakkan warna-warni alam yang menawan tanpa perlu kita memasukkan wajah ke dalam air. Sangat bening dan jernih.

Aku masih bersemangat saat itu memandangi ikan-ikan yang penasaran dengan isi dalam bubuku, tetapi mereka cuma sekedar lewat mungkin karena melihat dengan jelas isi bubu yang kosong, tiada umpan, karena bening airnya menjadikan perangkap ikanku terlihat menakutkan, nyata sebagai sebuah jebakan untuk mereka.

Namun, semakin siang air sungai akan semakin keruh karena aktivitas penduduk di dataran tinggi sudah mulai ramai. Mereka akan mengalirkan sampah-sampah sawah yang habis dibajak ke dalam aliran sungai-sungai kecil di sekitar sawah membuat air memerah serupa tanah liat dan membuat keruh sesampainya di hulu. Alamat, bubuku makin kosong bagai rumah berhantu.

Tanpa ikan, aku tidak bisa pulang. Ibuku, Mariyam yang masih cantik di usianya sekarang galaknya minta ampun seperti encik-encik juragan di dekat pasar. Padahal keluarga kami hidup pas-pasan.

"Hidupi keluarga! Sekolah yang benar! Jangan suka main duel di atas arena. Kalau tulang belulang kau patah, mau si Japras itu mengobatkan?" gelegarnya membuat bulu kudukku meremang.

Semenjak Baba hilang, ibuku Mariyam sangat benci dengan suara gepuk dan pukulan. Apalagi saat ramai pendukung mengeluarkan yel-yel mendukung juara mereka masing-masing, ucapan sinisnya pasti mengudara.

"Kalau mereka tahu bagaimana sulitnya hidup janda-janda yang ditinggalkan oleh yang katanya pendekar itu, maka mereka tidak akan tega mengeluarkan teriakan dukungan." Dan matanya akan berkaca-kaca.

Maksud Ibuku dengan kata ditinggalkan adalah mereka yang mati karena luka setelah berlaga di arena atau hilang dan lenyap setelah lama tidak terkalahkan seperti Baba.

Dahulu, aku bahkan mengira bahwa Baba diculik para mafia karena sakit hati tidak bisa mengalahkannya. Itu, jika mafia dalam pikiranku memang ada.

Sementara aku bosan dan malah teringat Ibuku Mariyam maka, lebih baik aku melatih jurusku saja.

Sungai Seruja sangat misterius, dipenuhi rimbunan pohon-pohon bambu yang tinggi dan rapat seolah menyembunyikan sungai Seruja dari pandangan orang-orang yang tidak mengenal daerah ini. Suara aliran airnya juga tidak berisik tetapi menenangkan. Bebatuan yang berbentuk besar-besar seperti sebuah pulau-pulau kecil yang memisahkan diri dari rombongan. Aku bisa tidur telentang di atas bebatuan itu, atau berjoget di atasnya bahkan juga mengiris ikan di sana kemudian memanggangnya, jika beruntung mendapatkan tangkapan. Semuanya tanpa takut dilihat orang.

Paling mengasyikkan lagi di tepi sungai Seruja ini banyak sekali kodok. Saat musim kawin, nyanyian mereka merdu bahkan terdengar lucu.

Wok wok.

Dung.

Wok.

Dung.

Wokwokwok. Menunjukkan jenis kelamin mereka yang laki-laki.

Mereka yang kalau menyanyi selalu dikira memanggil hujan nyatanya bukan, melainkan sedang menarik pasangan.

Cukup masuk akal juga kalau musim kawin mereka dianggap memanggil hujan, karena dengan banyaknya curah hujan, mereka lebih mudah mendapatkan pasangan. Kodok, suka daerah yang lembab, kan? Musim kawin mereka seringkali saat musim penghujan.

Nyanyian mereka menghibur hari-hariku yang sepi. Ingat, kan, bagaimana ratapan Ibuku tentang menghidupi keluarga? Itu tugasku. Dengan hanya menyuruhku rajin menangkap ikan saja dan aku tidak bisa-bisa.

Baiklah, mungkin dengan jurus Menghalau Badai ini, aku bisa menangkap banyak ikan. Hanya saja, aku baru bisa seperempat jurusnya saja. Kata Ki Japras, itu saja sudah sakti, tinggal menyempurnakan gerakan.

Maka, aku bersiap mengambil posisi. Kurenggangkan kaki mengambil kuda-kuda, kemudian menggerakkan tangan kananku memutar ke depan kemudian bergerak ke arah kanan dan tangan kiriku bergerak lurus sejajar perut lalu berbelok ke arah kiri dan melakukan berbarengan dengan cepat dan menahannya sejauh mungkin, mengambil napas dalam lalu menarik tenaga dalam dan kemudian aku menendang ke depan dengan tendangan lurus, kemudian menendang ke samping kiri dengan berjingkat. Dan ... terbang setinggi perut orang dewasa.

Kuarahkan tendangan itu untuk berpindah ke arah batu besar yang agak jauh sambil memusatkan tenaga bertumpu pada awal loncatan lalu memindahkan berat badanku ke seluruh tubuh agar tidak bertumpu pada satu titik saja. Dengan memusatkan pikiran maka aku bisa menghilangkan sifat keragu-raguanku dan berpikir bahwa lompatan terbangku kali ini akan berhasil.

Wajahku tersenyum, saat ujung kaki kananku hampir saja menyentuh ujung batu besar yang jauh itu, sayangnya bayangan atas jurus pendekar Bandar Angin kemarin malah berkelebat mengganggu konsentrasiku.

Oh, tidak. Kakiku meleset, aku akan terjatuh ke dalam air, tapi ... entah bagaimana aku melakukannya, tenaga dalamku bertumpu di telapak tanganku lalu seolah mendorong ke arah bawah tubuhku terpental ke atas hingga terbang ke arah rimbunan pohon bambu.

Aargh!

Tanganku memeluk tiga batang bambu yang berdekatan, lalu terayun ke kanan dan ke kiri beberapa kali sebelum akhirnya peganganku terlepas dan tubuhku merosot, lepas landas jatuh dengan cepat menuju bawah pohon bambu. Jangan ditanya bagaimana perihnya sekujur tubuhku, duri-duri kecil di dekat daun bambu mencederai tanganku, lutut, kaki, juga wajahku.

"Oh, Ibu. Demi menangkap ikan, tubuh anakmu penuh luka." Aku bergumam sendiri, merencanakan semua itu sebagai alasan.

SundangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang