Laga (Part Akhir)

20 1 6
                                    

Apa yang akan kulakukan jika nanti di atas arena malah terpancing emosi lawan?

Apakah aku bisa memenangkan pertandingan. Setidaknya babakku sendiri, bukan babak lainnya?

Bagaimana jika semua usahaku sia-sia karena serangan dari arah belakang. Maksudnya dari makhluk lain yang dibacakan mantra untuk menyerangku?

Ah, banyak sekali pikiran berkelebat dan membelengguku pada ketidakpercayaan atas kemampuanku sendiri padahal ... sudah hampir naik arena esok hari.

Wajahku gelisah, kususuri sepanjang jalan pinggiran Sungai Seruja yang berkilo-kilo meter jaraknya itu tetapi kecemasan itu masih saja menempel di kepala. Keringat di sekujur tubuhku seperti menjadi saksi bahwa aku sedang dilanda ketidaknyamanan.

Namun, aku tidak tahu harus melakukan apa. Semua yang kuajak berdiskusi mengatakan bahwa semua ini wajar. Semua yang akan bertanding di medan pertarungan akan merasakan semua ketakutan.

"Cemas, gugup, itu psikologis pemain serta olahragawan ketika hampir naik ke medan laga." Begitu ucap mereka.

"Yah, anggap saja pentas yang akan kau naiki nanti itu panggung arena dangdutan. Biar bisa santai otot wajahmu yang tegang itu." Mereka masih saja bergurau.

Ah, sudahlah. Toh, semua yang dikatakannya itu benar. Yang tidak benar adalah rasa cemasku yang sangat berlebihan ini.

Karena besok pentas pencak dor sudah dilaksanakan maka aku memilih tidur di rumah menemani Ibu. Dalam keadaan cemas seperti ini kita akan menjelma bak anak kecil lagi yang ingin berlindung di balik ketiaknya supaya merasa tenang dan lega.

Bagaimanapun, ibu adalah segala yang menumbuhkan ketenangan serta menjaga kita dalam pelukannya. Tuhan seperti mengutus para Ibu-ibu itu sebagai kepanjangan tangan-Nya yang nyata.

Setidaknya, itu yang kurasakan sepulangnya dari lari di sepanjang aliran sungai Seruja.

Namun, setibanya di rumah aku lebih terkejut lagi. Ada seseorang menungguku di sana, di mana senyumannya adalah sebuah suntikan vitamin untukku. Dia memakai dress warna hitam dengan bando berwarna putih di kepalanya. Cantik sekali, dan kami saling berpandangan dengan malu-malu.

"Ma-ga." Mendadak aku tergagap.

"Kau su-dah la-ma?"

Dia menggeleng.

"Tidak sebanyak dan selama waktu yang kau jalani untuk merindukanku."

Ih, Maga bisa saja. Dari mana dia belajar merayu?

"Hah. Bisa aja. Memangnya kelihatan ya, kalau aku lagi rindu?" Wajahku tersipu-sipu.

"Enggak kelihatan sih, di wajah. Dari perbuatan dan sikapmu barusan membuatnya nampak terlihat terang." Dia mengucapkan dengan nada genit.

Ih, bisa-bisanya Maga menggombal. Namun, aku suka.

"Sudah ketemu Ibu?" tanyaku setelah mengajaknya duduk di kursi panjang depan rumah. Maga mengangguk.

"Aku juga sudah minta maaf padanya. Dulu aku telah membuatnya kebingungan saat berpamitan dengannya itu."

"Ah, benar. Sampai ibu mengira aku ngapa-ngapain kamu." Aku juga mengingatnya. Hari itu hatiku remuk, mentalku jatuh, tubuhku bonyok.

Lalu kami tertawa-tawa sampai semua keresahanku hilang. Maga malam itu tampak sangat manis dan menawan, senyumannya bagai lengkungan bulan sabit di atas langit kelam, dan binar matanya menjelma bak bintang-bintang.

Hatiku tenang.

Kami bercerita banyak hal dari A sampai Z, dari sejak dia pergi sampai kami ketemu kembali. Nada suaranya yang menceritakan kisah hidupnya itu bagai alunan merdu melodi yang sering dinyanyikan Tulus, seorang artis keren jagat Nusantara yang lagu-lagunya selalu membius banyak telinga. Termasuk diriku. Bodi petarung, hati kayak air hujan. Gampang tersentuh.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 13, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SundangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang