Derap suara langkah kaki berhasil memecah fokus Bram yang semula sedang menatap komputer. Ia menghela napas karena sekarang sudah waktunya pemeriksaan kesehatan lagi. Ini kali ketiga dalam satu hari ini. Bahkan Bram sendiri telah disuntik sebanyak dua kali, memeriksa denyut jantung dan kesehatan mata.
Ini sangat merepotkan bagi Bram yang hanya memeriksa kesehatan jika ia benar-benar telah sakit parah seperti anemia beberapa tahun lalu.
"Lagi?" Tanya Bram dan diangguki petugas kesehatan.
Bram langsung menjalani tes kesehatan serta diberikan air mineral agar ia tidak dehidrasi. Padahal berada di ruangan penuh ac sudah sangat mencegah gejala dehidrasi. Kecuali jika Bram menjalani pelatihan di padang tandus tanpa tanaman dan panas matahari seakan-akan berada di atas kepala.
Setelah 15 menit menjalani pemeriksaan kesehatan, Bram dipersilahkan duduk kembali dan menjalani aktivitas yang sempat tertunda tadi. Jemari Bram bergerak lincah selayaknya penari balet saat menemukan sepatu kesayangannya. Bunyi huruf-huruf yang ditekan menghasilkan irama yang bisa membuat siapa saja merasa kantuk. Termasuk Bram sendiri.
"Apa kau tahu? Hal seperti ini sangat sulit bagiku. Bisa kau membantu ku?" Tanya seorang pemuda yang menatap Bram dari tempatnya berada.
Setiap tempat komputer, diberi jarak sekiranya 5 meter pada komputer lain.
Bram menatap pemuda itu lalu melepas sebuah sabuk di kursi miliknya. Ia berjalan menuju pemuda itu dengan tatapan kosong, ia bahkan mengajarkan pemuda itu dengan suara lemah. Pemandangan yang ia lihat beberapa hari lalu sukses membuat semangatnya menurun secara drastis.
"Terima kasih! Ha, ini sangat sulit. Sudah hampir bulan keempat kita disini tapi yang ku lakukan hanya menyusahkan orang lain," keluh pemuda itu sembari menghela napas.
Bram tidak menanggapi dan langsung kembali ke tempatnya.
"Aku Fredick, kau siapa?" Tanyanya saat sempat menahan tangan Bram.
"Bram."
"Sepertinya ini pertama kalimu masuk ke ruangan ini, ya?" Tanya pemuda bernama Fredick itu tersenyum ramah kemudian melepaskan tangannya yang sempat menahan Bram.
"Ya, sebelumnya aku ditempatkan di ruangan nomor sebelas."
Fredick sedikit melotot kemudian kembali bertanya. "Benarkah? Bukannya ruangan nomor sebelas itu untuk tempat profesor?"
"Kebanyakan memang profesor. Sama seperti di sini. Lagi pula di sana hanya ada ditempatkan sekitar 5 orang," jawab Bram yang baru saja duduk kembali di kursinya.
"Oh ya? Yang kalian pelajari di sana sama dengan disini, kan?" Tanya Fradick penasaran.
"Sedikit berbeda. Di sana kami belajar bahasa Vie lebih intens dibandingkan mengelola komputer. Lebih dari dua ratus kosa kata yang harus kami hafal setiap harinya."
"Woah, mereka kejam sekali. Bukankah itu paksaan?"
"Sepertinya begitu," tutur Bram.
Fredick mengangguk mengerti dan bergumam, "mungkin karena itu kau terlihat sudah tidak memiliki semangat."
Ruangan penuh alat elektronik yang terus berbunyi setiap saat kembali hening, ilmuwan berjalan kesana-kemari dengan sebuah catatan ditangan mereka, keheningan yang menjalar disetiap sudut ruangan adalah waktu tepat untuk kembali fokus pada komputer masing-masing, lalu tiba seorang berpakaian selayaknya bangsawan datang membawa baki yang diatasnya terdapat kain merah menyala.
KAMU SEDANG MEMBACA
SCHOOL SECRET | Revisi
FanfictionSekolah magis. Apa ada hal seperti itu di dunia ini? Tentu kalimat itu adalah hal yang pertama kali orang tanyakan saat mendengar hal berbau magis. Fakta mengenai magis sangat asing dan tidak banyak orang mengenal ataupun percaya pada hal seperti...