SHOPIE
Kupandangi cermin untuk memastikan kembali riasanku masih rapi atau tidak. Kuulaskan senyum karena rasa senang yang melanda hati. Ransel tergeletak di kasur, buru-buru aku ambil, dan memasangnya ke bahu.
Kutinggalkan kamar yang menjadi tempat ternyaman dalam hidup.
Papa sudah duduk di dekat meja makan. Mama sedang mondar-mandir menaruh beberapa lauk ke meja. Aku menghampiri mereka dengan hati riang.
"Anak Papa lagi seneng sepertinya. Habis dapat hadiah, ya? Dari siapa?" tanya Papa sambil menyendok nasi dari wadah magic dan dituang ke piring.
Aku mengambil gelas, lalu menuangkan air dari teko yang tergeletak di meja. "Gak ada yang kasih Shopie hadiah kok, Pa." Aku menenggak gelas yang terisi air, menghabiskan sekali teguk karena haus melanda sejak bangun tidur. "Shopie memang lagi senang, Pa. Karena kemarin, Shopie sudah dapet petunjuk tentang parfum yang Papa kasih."
Papa tersenyum, tangannya sibuk menyiduk sayur untuk dituang ke piring. "Kalau begitu, Papa tunggu hasil selanjutnya."
"Shopie akan tunjukkin ke Papa kalau Shopie bisa dapetin bahan aroma parfum itu," ucapku begitu percaya diri.
"Jangan seneng dulu, Shopie. Kalau sampai salah, tidak ada kesempatan lagi." Ucapan Papa sukses membuatku menelan ludah.
Papa terang-terangan ingin menjatuhkan semangatku. Aku nyengir, berusaha mengusir kegelisahan yang menyerang. Sementara itu, Papa tetap kokoh tersenyum bahagia.
"Shopie tahu, Pa. Shopie gak mau sampai salah. Shopie gak boleh gagal." Aku fokus meluapkan kebahagiaan sampai lupa menyiapkan makan. Piring di depanku masih kosong. Buru-buru, diriku mengambil nasi dan lauk-pauk.
Papa sudah menikmati sarapan dengan lahap. Mama pun sudah menyusul sambil menggeleng melihat kelakuanku.
Aku kelabakan.
Berangkat ke kampus, wajahku penuh keringat bercucuran. Panas bukan dari sinar matahari, melainkan sarapan pagi yang super pedas akibat sambal terasi buatan mama. Sesampainya di kampus, aku buru-buru ke kantin untuk membeli air, dan menghilangkan rasa pedas yang tersisa.
Masih pagi, kantin sudah ramai. Banyak mahasiswa sarapan sambil menunggu jadwal mata kuliah pertama. Aku lekas membeli air mineral, lalu mencari tempat duduk yang kosong. Saat memantau sekitar, aku melihat kepala Gio di antara beberapa mahasiswa yang sedang duduk. Aku berjalan melewati beberapa punggung mahasiswa, hingga melihat punggung Gio yang duduk tegak. Ia memakai sweter hitam.
Kuhampiri Gio dan duduk di sebelahnya. "Gio, selamat pagi," sapaku dengan ceria. Aku tersenyum indah, merekah bagai bunga sedang mekar.
Tidak ada tanggapan.
Aku tidak peduli. Karena haus kembali melanda, aku pun segera membuka botol, lalu menenggak air mineral sampai habis setengah.
Aku melirik Gio dan ia sedang asyik memainkan ponsel. Karena penasaran, aku pun mendekatkan kepalaku agar bisa melihat layar. Ternyata ia main game tembak-tembakan. Sepertinya Gio memiliki hobi baru karena jarang sekali aku menyaksikan ia bermain game begitu serius.
"Seru banget main gamenya," ucapku yang tidak biasa dengan kesunyian baru ini.
"Hmm," jawabnya singkat.
Aku mengernyit, tetapi tidak memedulikan keseriusannya dalam bermain game. Aku pun menengok sekitar, mencari keberadaan Zaki dan Ista, tetapi tidak kutemukan. "Yang lain belum datang?" tanyaku yang mulai merasa kesepian.
Gio hanya menggeleng.
Ia tidak menengok padaku, tidak menyambut kehadiranku. Yang lebih parah, ia tidak tersenyum padaku.
Karena bosan, Zaki dan Ista tidak kunjung datang, aku pun menelpon Ista. "Kamu di mana, Ista?" tanyaku ketika telepon sudah tersambung.
"Di kelas," jawab Ista.
"Udah di kelas? Terus Zaki?"
"Zaki? Dia ada di samping. Aku lagi cocokin jawaban tugas. Kamu di mana, Shop? Cepetan ke sini! Kita cocokin bareng-bareng."
"Ya, aku ke situ." Aku memutuskan panggilan.
Kulirik Gio yang masih fokus bermain. Perasaanku sedikit heran dengan sikapnya kali ini. Bermain game. Apakah hobi itu lebih menyenangkan daripada kehadiranku? Padahal banyak yang ingin kuceritakan padanya mengenai penemuan aroma parfum, tetapi karena fokusnya tertuju pada ponsel, aku enggan untuk banyak bicara.
"Gio, ke kelas, yuk!" ajakku berusaha ceria seperti biasa. "Zaki dan Ista sudah di kelas."
"Duluan aja sana!" ucapnya tanpa menoleh.
Karena merasa dicuekin itu tidak enak, aku pun menarik tangan Gio seperti anak manja yang sedang menarik papanya. "Ayo ke kelas, Gio."
Aku berhenti menarik saat Gio melepaskan ponsel. Rasa senang muncul karena kupikir ia menuruti permintaanku ini. Namun tak pernah kusangka, ia berdiri dan menatapku kesal. "Gak usah tarik-tarik kan bisa, Shop."
Gio memasukkan ponsel ke saku sweter, lalu meraih ransel yang tergeletak di kursi. Ia pun berlalu meninggalkanku yang bergeming tidak percaya akan sikapnya barusan.
Aku pun tersadar setelah punggung Gio tidak terlihat lagi. Segera kususul, meski harus mengerahkan tenaga lebih banyak dari biasanya agar bisa mengejar ketertinggalan.
Perubahan Gio begitu drastis. Aku pun tidak tahu penyebabnya. Jika salah makan, mungkin hanya perutnya sakit, tidak mungkin sampai harus jadi gunung es yang dingin. Pasti salah minum obat sehingga otaknya konslet.
Selama materi berlangsung, Gio yang duduk di sebelah kiriku diam bagai tembok yang kokoh. Bicara sama tembok tentu saja bikin emosi karena tidak akan ada yang membalas. Aku yang awalnya berusaha mengajaknya bicara jadi enggan dan memilih menutup mulut.
Selepas materi, aku kembali mengajak Gio bicara, "Gio, aku sudah menemukan petunjuk tentang parfum dari Papa. Aku mau ke toko bunga sepulang kuliah. Kamu mau tidak temenin aku?" Suara agak kukecilkan karena masih banyak mahasiswa lain yang duduk.
"Aku tidak bisa. Kamu ajak yang lain aja! Coba kamu ajak Zaki! Dia pasti mau," ucapnya dengan nada sedikit ketus. Pandangannya masih tertuju pada buku di meja.
"Kamu kenapa sih, Gio? Sensi banget hari ini." Pada akhirnya, aku sebal juga. Gak ada hujan, gak ada geledek. Tidak mungkin ada petir yang menyambar Gio hingga konslet seperti ini.
Dosen materi berikutnya pun masuk, dan aku kembali diam tidak menghiraukan makhluk tinggi plus menyebalkan di sebelahku.
Sepulang kuliah, Gio melenggang pulang begitu saja tanpa menyapaku dan yang lain. Zaki dan Ista pun dibuat bingung dengan sikapnya. Aku yang berniat pergi ke toko bunga jadi urung.
"Sophie, kamu jadi ke toko bunga?" tanya Zaki yang berjalan di samping Ista.
Aku berjalan lambat di belakang mereka. Kutekuk wajah serta bibir komat-kamit mengerutu kesal masih tak terima dengan sikap Gio. Sadar ada yang bertanya, aku pun mengangkat kepala memandang kedua sahabat yang berjalan agak jauh. Kupercepat langkah agar mengikis jarak. "Gak jadi."
"Kenapa gak jadi, Shop?" tanya Ista. "Kalau gak ada temennya, kan kita bisa temenin kamu."
"Gak apa-apa. Mau langsung pulang aja. Udah gak mood abis ngobrol sama tembok," jawabku yang terlanjur kesal.
"Maksudmu Gio?" tanya Zaki yang menaikkan alis. "Dia kenapa hari ini? Gak ngobrol sama aku seharian. Sakit gigi?"
"Tahu." Aku mengangkat bahu.
Kami pun berpisah setelah keluar gedung. Ista diantar Zaki, sedangkan aku dijemput supir. Gio? Tenggelam mungkin.
Bersambung....
================================
Shopie gagal lagi... Pakai diem-dieman lagi Gio.
Gimana kelanjutannya ya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Finding Unknown Fragrance ✅ (Terbit)
Mystery / ThrillerCERITA INI DIIKUTSERTAKAN DALAM 1ST ANNIVERSARY ANFIGHT BATCH 8 Blurb: Shopie begitu menyukai parfum hingga mengoleksi berbagai bahan dasar parfum yang ia taruh di stoples kaca. Namun, kegiatannya itu membuat Opi dan Sonia, orangtua Shopie merasa an...