Bab 11: Rumit

17 6 0
                                    

Masa depan memang rumit, tetapi sebenarnya untuk melalui saat ini terasa lebih rumit.

~~~

SHOPIE

Sepulang dari kampus, aku langsung melemparkan tubuh ke sofa. Hawa kesal masih terbawa, dan itu membuatku lelah. Seharusnya aku bisa mengendalikan perasaan ini, tetapi seperti ada sesuatu yang memengaruhi sehingga aku tidak bisa melawannya.

Ransel aku turuh di samping. Satu-satunya benda yang menemaniku saat ini. Sayangnya benda itu tidak bisa diajak bicara. Tidak perlu kuhabiskan waktu untuk mengutarakan berbagai kata kepadanya.

Tempat yang nyaman ini menyerap seluruh energi hingga perlahan aku memejamkan mata. Namun, suara langkah seseorang semakin lama semakin dekat, membuatku membuka mata lebar.

Mama berhenti tepat di depanku. "Anak Mama sudah pulang. Kok gak langsung masuk, Shop?" Mama memandangku sebentar, lalu duduk di sebelah kiri. Kebetulan kursi ini lebar, jadi masih terdapat celah dan muat dengan badan kecil Mama.

Kehadiran Mama sungguh tepat. Seperti ada magnet di bahu Mama, kepalaku bergerak mendekat dan menempel dengan nyaman. "Shopie capek, Ma."

"Memangnya kamu habis ada kegiatan apa sampai capek begini, Shop?" Mama mengusap-usap rambutku. Kegiatan yang tidak lekang oleh waktu dari aku kecil hingga sebesar ini. Tangan Mama begitu lihai memberi rasa hangat yang mengalir dari kepala hingga ke hati.

"Capek hati, Ma. Gak tahu kenapa hari ini Gio cuek sama Shopie. Kan Shopie jadi sebel, Ma." Kepalaku masih lengket di bahu Mama.

"Kamu tidak bertanya sama Gio. Mungkin Gio sedang ada masalah keluarga. Jadi, dia tidak ingin diganggu."

"Boro-boro Shopie mau tanya, Ma. Shopie ajak bicara Gio diem aja."

"Terus kamu jadi ikutan sensi juga? Anak Mama sudah besar. Sudah bisa ngambek juga karena cowok, ya."

Aku mengernyit, masih belum memahami maksud dari ucapan Mama. "Kok Mama malah seneng? Shopie kan lagi kesel, Ma." Aku mendongak, terlihat Mama sedang tersenyum.

"Shopie, sikap kamu ini mengingatkan Mama saat muda dulu. Saat Mama uring-uringan karena Papa yang cuekin Mama. Kadang bikin gak selera makan. Malah kadang bikin banyak makan. Ada aja tingkah Mama. Kalau diingat-ingat lagi, lucu juga. Ya, seperti kamu begini. Kamu pasti kepikiran terus dengan sikap Gio."

"Terus Shopie harus gimana, Ma? Besok Shopie juga pasti ketemu Gio."

"Kamu tetap jadi Shopie yang seperti biasa. Kalau Gio masih cuek juga, tunjukin kalau kamu masih peduli sama dia. Kamu masih anggap dia teman. Kalau mau tegur, tegur sekalian. Daripada kamu uring-uringan seperti ini."

Mama selalu bisa diandalkan, mampu menjadikan aku lebih tenang. Pengalaman masa mudanya bisa menjadi contoh. Dengar ceritanya saja, aku merasa bersemangat.

"Daripada kamu kesel terus, mandi sana. Setelah itu, kamu bantu Mama siapin makan malam."

Kurasakan tangan kecil Mama menjauh dari rambutku. Aku pun melepaskan kepala yang terlanjur betah bersandar di bahunya.

Setelah curhatan singkat itu, aku menuruti perintah Mama untuk membersihkan diri. Baru kemudian, aku membantu Mama di dapur, mempersiapkan makan malam.

Bel berbunyi, sehingga aku bergegas untuk membukakan pintu. Papa sudah berdiri sambil tersenyum. Aku langsung menghambur, memberikan pelukan. Mungkin umurku bukan lagi anak kecil, tetapi kelakuanku tidak mau kalah dari mereka. Bersikap menggemaskan bisa membuat jiwa lebih muda.

Aku mengajak Papa masuk, kemudian menutup pintu. Papa langsung menghampiri Mama yang sibuk di dapur, dan aku menyusul di belakang. Papa mencicipi makanan yang sudah tersaji di meja. Karena itu, ia menerima teguran dari Mama karena belum mencuci tangan terlebih dahulu. Papa bukan menuruti permintaan Mama malah memberikan senyum tak bersalah.

Aku yang silau dengan pemandangan itu, memilih menjauh dari dapur untuk melihat ponsel yang sejak tadi kuselipkan di saku celana. Kubuka web dan melihat history pencarian. Terakhir aku mencari aroma bunga yang menenangkan. Judul yang muncul tidak sesuai dengan kata kunci yang kucari, tetapi hampir mendekati. Lebih banyak berhubungan dengan stress.

Aku merasa tidak yakin dengan nama-nama bunga yang muncul sesuai dengan parfum dari Papa. Ada Mawar, Lavender, Kenanga, Melati, Chamomile, dan Geranium. Hampir semua sudah aku ketahui aromanya, memang bisa membuat tenang, tetapi sepertinya bukan bunga yang kubutuhkan.

Dari web, aku pindah aplikasi ke WhatsApp. Dari sekian chat yang belum kubaca, tidak ada satu pun chat dari Gio. Seketika bibirku mengerucut.

Untuk apa aku mikirin Gio?

Segera kuenyahkan pikiran tentang laki-laki itu yang sukses menjatuhkan moodku hari ini.

Begitu aku mendengar teriakan Mama, yang menggelegar, memanggil namaku, buru-buru kakiku bergerak menuju dapur. Papa sudah berganti pakaian tidur dan duduk di kursi. Mama juga sudah duduk, aku pun menyusul karena tidak mungkin makan sambil berdiri.

Setelah makan selesai, Papa tersenyum padaku. Melihat senyum itu, aku merasa waswas. Senyum yang dipaksakan atau dibuat-buat. Pasti ada yang tidak beres.

"Gimana hari ini, Shop? Apa anak Papa berhasil menemukan bunga yang Papa minta?"

Benar saja, pertanyaan Papa membuatku ingin cepat-cepat ke kamar. Namun, aku tidak mungkin kabur begitu saja. Aku masih bergeming. Lebih baik tersenyum, daripada harus murung. "Masih belum, Pa. Hari ini Shopie lagi banyak tugas, Pa. Jadi belum bisa pergi untuk cari," ucapku sedikit mengarang.

"Bagus begitu, Shop. Utamakan tugas dulu. Kalau bisa konsisten terus kerjakan tugas, biar nilai kamu juga bisa dipertanggungjawabkan. Papa seneng kalau lihat kamu rajin."

Rajin itu mengerjakan sesuatu dengan sungguh-sungguh. Selain rajin belajar, aku juga rajin mengoleksi parfum. Seharusnya tidak masalah untuk menggeluti hobi karena aku serius dengan kegiatan itu.

"Shopie rajin kok, Pa. Belajar, koleksi parfum, bantu Mama. Jadi, Papa gak perlu risau." Tenggorokan tiba-tiba terasa kering. Aku menyebut sesuatu yang sepertinya makruh untuk diucapkan akhir-akhir ini.

Papa masih tetap tenang dan tersenyum. "Jadi orangtua akan selalu risau, Shopie Sayang. Bagaimana kalau anaknya sudah mandiri nanti kesulitan mencari kerja? Atau saat kerja nanti anaknya tidak serius bekerja dan dipecat? Banyak faktor yang menyebabkan itu terjadi. Salah satunya orangtua yang lalai mengingatkan anaknya sejak dini."

Aku terdiam. Tidak bisa lagi aku membantah persoalan seperti ini. Masa depan memang rumit, tetapi sebenarnya untuk melalui saat ini terasa lebih rumit.

"Papa hanya ingin yang terbaik untuk Shopie. Papa tahu anak Papa satu-satunya ini anak yang luar biasa. Gunakan waktu sebaik-baiknya untuk meningkatkan prestasi. Papa tahu Shopie pasti bisa."

Tidak terasa obrolan dari hati ke hati ini mendorong air mataku hendak keluar dari persembunyiannya. Papa yang sering bersikap ceria mampu berkata serius seperti itu. Kata-katanya telak mengobrak-abrik hati dan pikiranku.

Meski begitu, tidak mudah bagiku untuk mengubah pendirian. Butuh waktu yang tidak bisa diprediksi masa berlakunya. Aku pun memeluk Papa, mengajukan permohonan,"Kasih Shopie waktu, Pa. Shopie akan tunjukkin meski memiliki hobi, Shopie tetap berprestasi. Pokoknya Papa tetep dukung Shopie dan gak akan meremehkan Shopie. Shopie gak akan mengecewakan Papa."

Papa menepuk-nepuk bahuku. "Kamu anak Papa yang pintar. Kamu akan tahu yang terbaik buat kamu. Apa pun yang terjadi, Papa akan tetap dukung kamu."

Kesempatan tidak akan datang dua kali, aku harus menggunakan sebaik-baiknya kesempatan yang Papa kasih. Aku harus segera menemukan aroma parfum itu.

Bersambung....

================================

Shopie lagi galau gaesss

Kira-kira kapan ya Shopie bisa menemukan parfumnya?

Finding Unknown Fragrance ✅ (Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang