HIHO 6

84 10 0
                                    

Rio melihat sang kakak yang sumringah setelah menerima telepon. Mereka berpapasan saat ia pulang kerja.

"Eh baru pulang--"

"Iya kak. Abis nelfon siapa? Kok girang banget." Tanya Rio.

"Ini, kakak baru aja nelfon Ify. Dia udah di pulau burung ternyata, kakak malah baru tau." Lagi, nama gadis itu disebut oleh sang kakak.

"Iya, Ify udah disana kak."

"Kamu tau? Sejak kapan?" Tanya Sesil.

"Udah sejak bulan lalu lah, Kak. Om Arman yang kasih tau." Jawab Rio. Dia melangkah ke dapur untuk meringankan tenggorokan nya.

Sesil melihat gerak gerik sang adik. Dia tau kalau Rio menaruh rasa sudah lama kepada Ify. Tapi sayang, perasaan itu disangkal dan beralih berhubungan dengan perempuan lain. Siapa lagi kalau bukan Amora.

"Udah hubungi Ify?" Tanya Sesil lagi.

"Udah, waktu itu tapi gak diangkat sih. Mungkin lagi sibuk."

"Ah, masa? Telfon kakak aja diangkat--"

"Mana tau dia udah gak sibuk pas kakak nelfon dia--"

"Makanya buruan di telfon, ogeb! Ah, lelet banget sih!" Dumel Sesil kepada Rio.

Rio melenggang ke kamar, dia malas mendengarkan ocehan Sesil yang secara terang-terangan menjodohkannya dengan Ify.

Padahal dulu dia sempat suka dengan Ify, ketika dirinya terpuruk ditahun pertama kuliah Ify selalu ada untuknya meskipun jarak mereka jauh. Meskipun disaat itu dirinya sudah ada Amora, tapi Ify lebih banyak ada untuknya dibanding sang pacar.

Dari situ lah benih-benih cinta mulai tumbuh dan menggoyahkan hatinya. Tapi hanya sesaat, kemudian Amora mengambil alih segala yang ada di hatinya.

"Tunggu apalagi, ayo telfon Ify!" Sesil datang bersama Sahid, keponakan nya yang masih berusia 8 bulan. Rio pun menghela nafas panjang.

Tak ingin membuat Sesil nyinyir terlalu lama, akhirnya Rio mengambil ponsel yang ada di tas dan membuka aplikasi whatsapp.

Masih diletakkannya kontak gadis itu menjadi yang paling atas. Dia melirik Sesil sekilas yang sedang menunggu bagaimana kelanjutan nya.

"Hallo, Rio." Panggilan itu bersambut. Mata bulat itu berbinar terang. Dan Sesil sangat menyadari nya.

"Hallo, Ify. Ehm...apa kabar?"

"Baik, alhamdulillah. Kamu apa kabar Rio?" Suara yang masih sama seperti dulu. Hangat dan ramah.

"Ya begini begini aja, tetap sehat dan mencoba untuk kuat." Lagi, ia melirik Sesil yang seperti nya sudah gemas dengan pembuka yang ia jalani.

"Kenapa ga bilang kalau udah ke sini? Biasanya berkabar." Ada hening yang menjadi jeda untuk Ify menjawab.

"Ehm...itu aku lupa. Lagipula aku mikirnya kamu ga disini jadi ga ada ngabarin sama sekali." Jawaban sederhana tapi mengandung banyak cerita dibaliknya.

"Berarti kalau tau aku disini bakalan ngabarin ya? Maknanya aku harus kasih tau duluan dong kalau aku disini, baru aku bisa tau kamu bakalan ke sini juga. Begitu?" Sedikit ribet menurut Rio, tapi dia yakin Ify akan memahaminya.

"Eh, itu--"

"Aku paham, Fy. Jangan dilanjutkan kalau begitu."

"Maaf Rio."

"Bukan salah kamu. Anyway, gimana kerjaan disana?"

"Alhamdulillah, lancar. Disini nyaman, ada teman-teman satu kampus juga disini." Rio tersenyum mendengar nada bicara Ify yang kembali ceria.

"Kita bisa ketemuan gak?"

"Maksud kamu?" Rio malah terkekeh pelan disini, menikmati kebingungan gadis itu.

"Kita ketemu di Pulau Burung, gimana? Aku ada agenda ke sana minggu depan."

"Agenda apa?" Praktis, Rio melirik Sesil yang juga kepo menantikan jawabannya.

"Agenda ketemu kamu lah!"

"Ngaco deh! Udah ah, aku mau mandi dulu. Kapan kapan kita telfonan lagi ya, Rio." Langsung saja panggilan itu ditutup secara sepihak.

Rio tak bisa berhenti mengukir senyumannya, ada bahagia yang meletup di ujung sanubari nya saat ini.

"Agenda ketemu kamu. Cuihh, gombal gak mutu." Ejek Sesil. Rio tak menggubris, dia menarik handuk dan masuk ke kamar mandi juga.

"Heh!! Kakak belum selesai ngomong ini--"

"Nanti aja. Aku mau mandi." Putusnya. Sesil tersenyum melihat wajah sumringah adiknya. Dia tau perasaan itu masih ada, hanya saja enggan untuk di tunjukkan.

***

Ify menatap dirinya dipantulan cermin, wajahnya bersemu merona setelah menelfon seseorang. Sudah lama mereka tidak saling bertukar kabar, apalagi berkabar lewat suara.

"Kok gue deg-deg nya begini banget ya? Padahl ngobrol nya gak sampai selama itu deh." Gumam nya heran.

"Ya udahlah, palingan euforia udah lama gak denger suara aja." Kata Ify mencoba biasa saja.

"Ify, Ify!!" Suara Rizki dari depan sudah memanggilnya. Ify melirik jam dinding ternyata sudah hampir jam setengah 8 malam. Mereka memang ada janji makan malam bersama.

"Iya Rizki. Kita berangkat sekarang?" Tanya Ify saat ia membuka pintu.

"Ayo, aku udah lapar banget." Kata Rizki sembari menepuk pelan perutnya. Ify tertawa lalu segera menutup pintu. Untung saja dompet dan handphone nya sudah ia pegang.

"Oh ya Fy, aku boleh tanya?" Tanya Rizki hati-hati.

"Boleh, apa?"

"Tadi kamu nelfon siapa? Kok buru-buru gitu." Pertanyaan Rizki membuat Ify sedikit aneh, tapi coba ia tepis begitu saja. Mungkin sikapnya yang terburu-buru tadi dipandang lain oleh Rizki. Entahlah lain dalam hal apa ify juga tak paham.

"Oohh, aku tadi ditelfon sama guru ku pas SD. Dia guru tari, sekarang sudah menikah dan punya anak. Udah lama ga telfonan sama beliau." Jelas Ify suka rela. Rizki mengangguk paham seakan lega begitu saja.

Sesampainya di kafe sederhana dekat mess mereka, Ify dan Rizki langsung memesan makanan.

"Gabriel sama Via kompak banget sama-sama lembur hari ini ya!" Imbuh Rizki yang disambuut oleh Ify.

"Iya, mereka dari dulu ga tau kenapa suka barengan gitu jadwalnya. Lucu tapi aneh. Gemes gitu kata temen-temen ku dulu." Rizki tertawa mendengar cerita Ify.

"Sayang banget kalau Gabriel gak bisa sama Via,--"

"Kenapa gak kamu aja yang sama Via? Kalian kan teman kecil bersama, kali aja jodoh."

"Kenapa harus aku dan Via, kenapa gak aku dengan kamu aja kalau gitu?"

Dan lemparan pertanyaan itu mengundang semua motorik dan sensorik Ify hanya tertuju kepada Rizki setelahnya. Terlalu cepat dan Ify hanya bisa terdiam, apa yang harus ia jawab sekarang?










****











#SalamAnakRantau

HIGH HOPESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang